Chereads / Leandra / Chapter 12 - curious

Chapter 12 - curious

"Aku ingin tidur ," ucapku dengan menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhku, aku berbaring membelakanginya, pelepasan tadi membuatku lemas. Kakiku terasa seperti jelly dan aku seakan kehilangan tenagu untuk melakukan apapun. Yang ingin kulakukan hanya berbaring, terlelap, dan terbangun dengan segar di pagi hari .

Aku memejamkan mataku saat kurasa sebuah tangan melingkar memeluk tubuhku, aku ingin menolak, logikaku mengatakan aku harus menjauh, namun hatiku menolak. Aku merasa aku sangat munafik saat ini. Aku terhanyut dan menikmati permainannya. Tetapi aku seakan akan berakting menolak apa yang ia berikan.

"Aku suka rasamu," bisiknya dengan mengecup daun telingaku, hembusan nafasnya membuat tengkukku meremang. Tak ada yang dapat kulakukan selain diam dan memejamkan mataku, aku benar-benar lelah dan kakiku terasa lemas.

Kufikir ia lelah dan tak ada waktu untuk melakukan hal ini padaku sebelumnya, namun Mr.Adalson tetaplah dirinya. Dapat mencari kesempatan di kondisi yang tak mungkin sekalipun. Seandainya tadi aku lebih cepat dalam membuat susu untuk Suri, mungkin aku tak terjebak dalam pelukannya saat ini.

Oh Tuhan, aku bahkan melupakan susu untuk Suri.

"Tuan, aku belum mengantarkan susu untuk Suri"

"Berikan saja dadamu"

Aku membalikkan badanku menatapnya tak percaya, mataku membulat sempurna, sementara ia terkekeh geli lalu beranjak dari ranjang. Aku ingin mengeluarkan rutukkan sebelum aku justru tersipu oleh tawa renyahnya. Akankah ia reinkarnasi dari seorang malaikat?

"Biar aku antarkan kekamarnya" Ia melangkah santai dari dalam kamarku. Aku masih terdiam. Mengingat apa yang baru saja kami lakukan.

Ia menyentuhkan dengan jemari tangannya.

Ia membuatku mendapatkan pelepasan dalam waktu yang singkat.

Apa karena aku yang terlalu lemah, atau ia memang perkasa di ranjang?

Semua ia lakukan dengan jemarinya, bagaimana dengan …. Hentikan. Otakku mulai tak beres dan aku tak mau berfikir hal yang menjijikan. Aku menggeleng, menyingkirkan berbagai hal bodoh yang terlintas di kepalaku.

"Kau memalukan Leandra," rutukku pada diriku sendiri.

Aku memakai pakaianku dengan cepat, aku yakin Mr.Adalson akan kembali ke kamarku. Maksudku, aku belum memuaskannya. Dan aku tak yakin ia hanya ingin memuaskanku malam ini. Ia pasti butuh pelepasan mengingat aku dapat merasakan bagian bawah celananya yang mengeras tadi. Ia tak mungkin mengabaikan kebutuhan biologisnya.

Aku mengunci pintu kamar, lalu meredupkan lampu kamarku. Beranjak ke atas ranjang dan menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Kuharap hari esok akan lebih baik.

.

.

.

.

.

.

"Tidak tidak, Michelle tenanglah, tak ada yang perlu kau khawatirkan, semuanya baik-baik saja" Aku berucap pelan dengan ponsel yang terhimpit di bahu dan kupingku, Michelle. Kakakku menelfon sepagi ini hanya karena ia melihat pemberitaan pada salah satu situs tentang Mr.Adalson. lebih tepatnya, pemberitaan mengenai aku dan Mr.Adalson di media sosial.

"Bagaimana aku bisa tenang? Ia menyuapimu, itu tertulis jelas, bahkan aku melihat foto kalian di sana. Ayolah Leandra, aku tak ingin ia melukaimu. Kau harus menjaga jarak darinya!"

Foto saat kami makan siang di caffe. Batinku yakin.

Aku tak tahu bila ada seseorang yang mengamati kami saat itu. Karena aku terlalu sibuk menyuapi Suri dan menerima suapan dari Mr.Adalson. lagi pula situs murahan itu tak tahu apa yang sebenarnya kami lakukan di sana. Dengan mudah ia mengatakan bahwa aku wanita kencan baru Mr.Adalson. mereka gila, aku hanya seorang babysitter.

"Michelle dengarkan aku. Aku baik baik saja, dan Mr.Adalson tak berbuat apapun padaku. Ayolah, aku masih jadi gadis manis yang perawan. Aku hanya menemani Suri makan siang dan lelaki itu menyusul begitu saja. Tak ada yang teejadi lebih dari itu. Jangan lihat situs murahan seperti itu. Sudah ya Michelle, aku harus bekerja"

"Hei! Tunggu Le—"

Tut. Aku mematikan sambungan ponselku lalu beranjak keluat dari kamarku. Michelle tak akan berhenti menasihatiku bila aku tidak mematikan sambungan telefon kami. Ia khawatir Mr.Adalson akan menyentuhku. Oh andai ia tahu apa yang telah lelaki itu lakukan padaku kemarin malam.

Lagi pula itu aneh, bisa-bisanya Michelle percaya dengan situs murahan. Bahkan situs itu tak menampilkan gambar Suri di sana. Itu memang disengaja atau bagaimana?

Aku melangkah menaiki tangga lalu berjalan menuju kamar Suri. Bocah ini sudah terbangun dan sudah kumandikan, dan aku meninggalkannya beberapa menit untuk menerima panggilan telefon dari Michelle.

"Leandra, tolong kepang rambutku, aku mau mengenakan pita merah" Aku memandang Suri yang kini tengah memegang sisir di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya terlihat sebuah pita dan ikat rambut yang lucu. Hari ini Suri akan berangkat sekolah seperti biasa, namun bedanya, ia terlihat lebih bersemangat dan ceria dari sebelumnya. Ia bahkan sudah memasang rapih pakaian seragam sekolahnya sendiri.

Sementara aku akan menyiapkan segala kebutuhannya sebelum berangkat. Bagaimanapun juga itu memang pekerjaanku.

Dan soal Mr. Adalson, aku tahu ia kembali kekamarku tadi malam, usai ia membuatkan susu untuk Suri, ia mencoba membuka pintu kamarku, aku mendengarnya, namun aku tetap melanjutkan tidurku. Lebih tepatnya, pura pura terlelap.

Toh aku yakin ia tak akan mengetuk pintu kamarku terlalu kencang. Ia pasti tak ingin bila orang lain melihat apa yang ia lakukan.

"Sudah selesai" Aku berucap usai membenarkan tatanan rambut Suri, rambutnya tebal, lembut dan halus. Warnanyapun sama dengan daddynya. Ia memang mirip, terutama dengan sikap mereka berdua yang kadang-kadang tak dapat kutebak.

"Aku akan turun, aku mau memilih sepatuku!" Ia berucap dengan lari keluar dari kamarnya. Aku menghela nafas dan menggeleng. Kini ia memang sudah terbiasa mengucapkan kata 'tolong' saat meminta sesuatu. Namun tidak dengan kata 'terimakasih' gadis itu memang perlu banyak belajar. Aku tak mau saat ia besar nanti, ia menjadi gadis egois yang tidak bisa menghargai orang lain.

Aku beranjak melangkah keluar kamar dan berjalan di lantai lorong, aku dapat melihat Mr.Adalson yang baru menutup pintu kamarnya—di tempat yang bersebrangan dengan tempatku berdiri sekarang. Kurasa pakaian kerjanya belum rapih, terlihat dari dasi yang ia genggam dan kerah yang berantakan.

Aku berjalan dengan cepat, berharap ia tak sempat melihatku dan aku tak harus berhenti karena aku yakin ia akan memanggilku.

"Leandra ... " dugaanku benar? Kakiku berhenti melangkah, aku berbalik, lalu berjalan mendekat kearah Mr.Adalson yang berdiri diam memandangku. Aku menunduk, aku selalu malu memandang wajahnya saat kami hanya berdua. Lebih tepatnya, aku malu saat mengingat apa yang kami lakukan tadi malam.

"Ya tuan?"

"Pakaian dasiku Leandra"

Aku menarik nafas dalam dengan meraih dasi yang ia sodorkan dalam diam, lalu mencoba memakaikan dasi itu dikerah lehernya, aku mungkin terlihat canggung, dan aku yakin pipiku terlihat memerah sekarang. Aku hanya berusaha fokus pada dasi dan kerahnya tanpa menggubris tatapan matanya. Netra hazzlenya memandang intens, dengan alis yang tebal dan rahang yang tegas. Dan jangan lupakan aroma tubuhnya .... dewi batinku merajuk meminta tubuhku untuk lekas memeluknya.

"Kau mengunci kamarmu tadi malamm" ucapnya pelan dengan suara rendah. Aku menggigit bibir bawahku. Tuhan. Aroma nafasnya benar-benar segar dan memabukkan. Desiran hangat hembusan nafasnya membuat sesuatu bergejolak dalam diriku. Wajahku kembali memanas, posisi kami sangat dekat, karena aku harus memakaikan dasi dilehernya dan ia yang kini menunduk menatap wajahku.

"Itu memang waktuku istirahat Tuan," jelasku setelah benar-benar menata rapih dasinya. Puft. Ini lebih berat dari merawat suri.

"Jangan kunci kamarmu lagi," tambahnya dengan mengusap punggungku. Aku menurunkan tangannya, lalu melangkah sedikit mundur. Aku bisa mati lemas bila terus berdekatan dengannya. Ia typical lelaki yang tak bisa ditolak. Ia memang memikat dan menggarahkan disaat yang bersamaan. "Kau tak perlu menjemput Suri nanti siang" tambahnya dengan memasang jam tangan di pergelangan tangannya.

Tangan itu. Tangan yang menyentuhku tadi malam.

Hentikan. Menjijikan. Aku kembali berfikir yang tidak-tidak.

"Kenapa?"

"Ia akan menginap di rumah ibunya dalam dua hari kedepan"

Ibunya? Pantas Suri terlihat sangat senang hari ini. Ia sangat bersemangat melebihi hari-hari biasanya. Aku tak tahu bila ia dijadwalakan untuk menginap di rumah ibunya hari ini. Jika seperti itu, aku akan menyiapkan perlengkapan menginapnya.

"Tapi suri sekolah dan aku belum menyi-"

"Ibunya menjemput sepulang sekolah. Dan kau tak perlu menyiapkan keperluannya Leandra, ia memiliki beberapa baju untuk menginap" Aku mengangguk memberi isyarat bahwa aku mengerti apa yang ia katakan tadi. Suri akan menemui ibunya. Kurasa hubungan antara mereka masih berjalan dengan baik.

"Daddy!" Mr.Adalson berjalan melewatiku saat mendengar suara suri yang memanggilnya

Dari bawah. Suara itu dari meja makan. Itu artinya Suri menunggu daddynya sebelum ia lekas memakan sarapannya. Kami berjalan menuruni tangga, aku berjalan di belakang Mr.Adalson karena tak sopan bila aku mendahuluinya.

"Aku tak mau daddy, aku mau yang ini saja"

Aku melangkah mendekati Suri yang tengah memilih menu sarapannya. Ia tak mau memakan roti panggangnya. Ia mau Roti milik Mr.Adalson, aku rasa karena memang Roti bakar milik daddynya lebih besar. Walau kuyakin ia tak akan mampu untuk menghabiskan itu semua.

"Suri, habiskan milikmu dahulu," ucapku dengan menyodorkan piring itu padanya.

"Makanlah sayang" Mr.Adalson menyodorkan piring miliknya pada Suri, membuat gadis bertubuh mungil itu tersenyum dengan puas. Anak kecil hanya mau diawal, belum tentu ia akan menghabiskan roti ini.

Aku memandang Mr.Adalson yang menyesap kopi ditangannya. Ia memang sosok ayah yang baik. Kuakui itu. Walau terkadang cara mendidiknya kurang tepat. Ia terlalu memanjakan suri.

"Leandra ... "

Aku mendongak saat namaku disebut, memang hanya ada aku di meja makan ini. Para pembantu lain sedang sibuk membersihkan dapur. Sedangkan aku memang harus menunggu mereka makan, melayani apa yang mereka butuhkan.

"Buatkan aku makan siang nanti, dan antar kekantorku," ucapnya dengan pandangan santai yang terpancar dari wajahnya.

Aku menautkan alisku bingung namun lekas mengangguk, tak biasanya ia memintaku mengantarkan makan siang. Dan, mengapa ia tak mengatakan hal ini dari awal? Jika seperti ini, aku bisa menyiapkannya bekal sebelumnya, dan memberikannya sekarang. Aku tak perlu mengantar bekal itu kekantornya.

"Menu apa yang kau inginkan tuan?"

"Apa saja, terserahmu," jawabnya santai dengan kembali menyesap kopinya. Aku menatap Mr.Adalson yang tengah tersenyum memandang Suri dengan lembut. Ia terlihat puas melihat nafsu makan suri yang lumayan bagus.

"Hubungi Daddy bila kau sudah bersama mommy, oke?"

"Oke Daddy" Suri berucap setelah menelan roti yang ia kunyah di dalam mulutnya. "Mengapa Daddy tidak ikut bersamaku dan mommy? Daddy tak pernah ikut"

Aku menegang mendengar perkataan Suri. Aku melirik Mr.Adalson yang tengah menjilat permukaan bawah bibirnya secara perlahan. Kurasa pertanyaan Suri sedikit membuatnya tak nyaman. Secara tak langsung, aku dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Tidak bisa sayang, kau masih bisa bersama Daddy atau mommy bila kau mau. Jadi ... apa kau sudah selesai? Kita bisa berangkat sekarang?"

Sial. Pengalihan yang bagus Justin Adalson.

Padahal aku ingin mengetahui apa yang terjadi di antara mereka. Lebih tepatnya di antara Mr.Adalson dan mantan istrinya.

.

.

.

.

.

TO BE CONTINUE…