Aku memotong bagian puding yang kubuat ke atas piring, memotongnya menjadi potongan yang lebih kecil untuk dimakan. Aku membuat puding coklat dengan siraman fla yang manis. Aku tak tahu Suri menyukainya atau tidak. Namun biasanya anak kecil suka makanan manis.
Aku memandang pudding yang telah kuletakkan di atas piring. Selesai. Aku hanya tinggal menuangkannya dengan fla saja ketika Suri kembali. Aku tak perlu menjemputnya karena ia akan pulang dengan Charlos. Supir Mr.Adalson.
"Leandra, ada telefon untukmu"
Aku menoleh menatap salah satu pelayan berambut pirang yang tak kuketahui namanya. Aku jarang melihatnya. Ia hanya terlihat saat jamuan makan pagi dan malam. Gadis ini melirik ke telefon rumah yang di letakkan terbuka, memberi isyarat agar aku lekas menjawab dan mengangkat telefonnya.
"Terimakasihm" ucapku dengan sedikit tersenyum, ia hanya berlalu tanpa berekspresi apapun di hadapanku. Cih, tipikal gadis sombong. Tapi aku yakin ekspressinya ketika berhadapan denganku dan Mr.Adalson berbeda. Sepertinya ia penjilat.
Aku berjalan mendekat untuk menjawab panggilan itu, aku heran ... siapa yang menghubungiku menggunakan nomor rumah ini? Seingatku Michelle tak tahu nomor telefon rumah ini. Atau mungkin Taylor? Tapi bukankah mereka memiliki nomor ponsel pribadiku?
"Halo?"
"Leandra ... datang kekantorku sekarang"
Alisku menyeringit bingung, hanya ada satu orang yang suka memerintahku tanpa basa basi. Justin sialan Adalson.. Itu jelas suaranya.
"Tu ... tuan?" ucapku memastikan walau aku yakin ini memang dirinya. Aku dapat mendengar hembusan nafas kasarnya di sebrang sana. Dasar lelaki yang tidak sabar.
"Ya, apa terdengar aneh? Ke kantorku sekarang ... ganti seragammu dengan pakaian yang lebih sopan. Charlos akan mengantarmu."
Ke kantornya? Apa yang akan kulakukan di sana? Tak ada alasan jelas mengapa ia memintaku ke sana. Tapi di sisi lain aku tak dapat menolak. Aku pembantu dan ia majikkan, aku harus ingat itu baik-baik.
"Sekarang tuan?"
"Ya sayang. Aku memintamu ke kantorku sekarang, apa aku kurang jelas?"
"Ti ... tidak, aku berangkat sekarang," ucapku dengan mematikan sambungan. Aku meletakkan telepon itu kembali pada tempatnya. Panggilan sayangnya malah membuatku bergedik ngeri, dasar sialan. Ia malah membuatku takut dengan godaannya.
Kakiku berjalan menuju kamar untuk lekas mengganti pakaianku. Aku tak mungkin memakai seragam babysitterku. Aku masih cukup waras untuk tidak mempermalukan diriku sendiri.
.
.
.
.
.
Aku berdiri di depan gedung kantor Mr.Adalson dengan pandangan takjub. Kantornya sangat besar dan mewah, beberapa pilar berwarna perak terlihat menghiasi sudut sudut tempat. Aku membenarkan pakaianku agar kembali rapih, aku tak mungkin terlihat kampungan di tempat ini.
Kakiku melangkah menuju sebuah meja resepsionis di dekat pintu masuk. Aku melangkah mendekat, menanyakan letak ruangan tuan bieber pada wanita dihadapanku. Kantor ini sangat besar, tak mungkin aku dapat menemukannya seorang diri.
Wanita dihadapanku sangat cantik, rambutnya pirang dengan lipstik merah yang tebal. Namun kurasa ia sedikit sombong. Ia terlihat menilai penampilanku saat ini.
"Leandra" Aku menoleh pada suara seorang lelaki yang mengalihkanku dari wanita di hadapanku, Mr.Adalson? Huft, bersyukur ia ada di sini. Aku tak perlu repot-repot mencari ruangannya. Ia berdiri dengan jas yang terpasang rapih ditubuhnya. Pandangan matanya tajam namun juga memikat. Kerja bagus Mr.Adalson, semua wanita yang melihat pasti akan bertekuk lutut padamu.
"Ikut aku," ucapnya dengan berlalu dari hadapanku. Aku memberikan senyum tipis pada wanita berambut pirang dihadapanku dengan mengabaikan raut wajah aneh serta terkejut yang terpasang di wajahnya. Mungkin ia tak menyangka bahwa aku mengenal bos besar meraka. Mr.Adalson.
Pintu Lift tertutup yang membuat kami berdua berdiam diri di ruangan ini. Mr.Adalson menatapku melalui kaca dinding lift. Sedangkan aku mencoba mengalihkan pandanganku darinya. Aku tak suka ia menatapku seperti itu. Itu menyebalkan. Aku hanya memandang jemari kakiku dengan meremas jari tanganku satu sama lain.
"Bagaimana bila Suri mencariku di rumah tuan?" ucapku mencoba membuka pembicaraan. Aku tak tahan dengan tatapannya. Jujur aku kesal. Lagi pula aku kasihan bila Suri pulang dan aku tak ada. Aku sudah mengabaikannya tadi pagi.
"Ia ada di ruanganku, tak ada yang perlu kau khawatirkan."
Aku mengangguk tanpa berniat membalas perkataannya. Mungkin ia memintaku ke sini untuk menjaga suri. Aku yakin orang sepertinya pasti sibuk. Tapi mengapa ia tidak mengantar Suri pulang saja? Akan lebih mudah bila aku mengurusnya di rumah.
Aku memasuki ruangan besar dengan tulisan CEO ROOM di bagian depan pintunya. Pantas ia sangat kaya, ia CEO. Itu artinya ia pemilik tunggal perusahaan ini. Ayolah, ini baru satu kantor. Bagaimana dengan cabangnya yang lain? Huh, aku yakin seluruh gadis akan dengan mudah bertekuk lutut dengannya. Bahkan saat aku berjalan mengikutinya tadi, Beberapa mata pegawai wanita tak lepas darinya. Aku sangat yakin, ia akan sangat mudah mendapatkan apa yang ia mau.
Dan aku harap ia lekas mendapatkana wanita yang ia inginkan. Wanita perawan yang lebih cantik dariku. Aku tak mau menjadi bahan pelampiasannya lagi.
"Leandra! Leandra! Kau di sini?" Aku menoleh pada seorang gadis kecil yang melompat-lompat di hadapanku. Ia tersenyum, demi Tuhan ... mulutnya berlumuran cokelat, ia makan ice cream dan sayangnya lelehan ice itu mengotori mulutnya. Kini pipi dan bibirnya penuh cokelat.
"Bersihkan wajah Suri. Ia sangat jelek." Mr.Adalson berucap dengan duduk di meja kerjanya. Suri merengek, berlari ke arah Mr.Adalson, memukul paha daddynya dengan genggaman tangannya yang kotor. Mr.Adalson bangkit dari kursinya, melangkah menghindar karena tak ingin pakaiannya kotor.
"Jangan kotori pakaianku sayang. Baik-baik, kau cantik. Selalu cantik. Maafkan aku sugar." Mr.Adalson tertawa kecil lalu kembali duduk di meja kerjanya saat suri berhenti memukul.
Aku merogoh tasku untuk mengambil beberapa helai tisu basah. Membersihkan mulut dan tangan gadis kecil ini dari noda cokelat. Ia memelet sesekali saat pandangannya bertemu dengan Mr.Adalson. Aku yakin lelaki itu menggoda Suri. Dasar jahil.
"Leandra, lebih jelek aku atau daddy?" Suri berucap dengan tangan yang bersidekap, bos kecil ini sepertinya ingin balas dendam dengan daddynya.
"Daddymu," ucapku pelan. Sejujurnya aku ingin berucap lebih. Daddymu. Daddymu jelek. Menyebalkan. Bajingan. Bla bla bla. Rutukku dalam hati.
Mr.Adalson menaikkan sebelah alisnya padaku. Ia menyeringai. Apa yang ada difikirannya? Aku mengalihkan pandanganku dengan mengabaikan godaannya yang menyebalkan.
"Suri, kau belum makan siang bukan, Mana janjimu?" Mr.Adalson berucap tanpa mengalihakan pandangannya dari laptop. Jemarinya mengetik sesuatu yang tidak aku mengerti. Ia terlihat membagi waktu antara pekerjaannya dan Suri.
Maksudku, ia terlihat ... sangat serius dengan pekerjaannya, namun di satu sisi ia tidak mengabaikan keadaan suri di sini. Aku mengulum senyumku dalam diam. Setidaknya bajingan ini masih memiliki sisi baik.
"Nanti saja ya daddy?"
"Sekarang sayang, kau mau spagetti atau burger? Pilihlah makanan yang kau suka, banyak caffe di dekat kantor"
"Biar aku yang mengantar tuan," ucapku bangkit dari dudukku. Mr.Adalson mengangguk. Mengeluarkan dompetnya lalu menyodorkan kartu kreditnya padaku.
"Gunakan ini. Makanlah sepuas kalian. Kau juga leandra," ucapnya dengan menyodorkan benda tersebut padaku. Aku meraihnya, lalu berjalan dengan menggandeng tangan suri keluar dari ruangannya.
Lelaki itu sangat kaya, bahkan ia memberikan kartu kredit hanya untuk makan siangku dan suri.
Kami berjalan memasuki Lift menuju lantai bawah, aku terus menggenggam tangan Suri, aku takut gadis ini terpisah dan aku kesulitan mencarinya. Kantor Mr.Adalson cukup ramai.
"Leandra, kita makan di sana saja ya." Suri berucap dengan jemari yang menunjuk pada restourant pasta cepat saji. Aku mengangguk, sebenarnya lebih baik ia makan di rumah karena aku akan memasakkannya makanan sehat. Makanan cepat saji tak baik untuknya.
Aku mengangguk menyutujui perkataannya. Menuntun tangannya untuk berjalan menyebrang bersamaku. Kami memasuki restourant yang suri tuju, lalu duduk di sebuah bangku yang menghadap ke jalan. Terletak di sudut ruangan.
Suri memilih pesanannya saat seorang pelayan datang menghampiri kami, ia memilih sebuah pasta dengan strawberry milkshake sebagai minumannya.
Sedangkan aku hanya memesan sebuah lemon tea, aku belum lapar, aku hanya sedikit haus dan aku tak terbiasa makan sebelum aku merasa lapar.
"Leandra, apa kau akan ikut ke pesta bersamaku dan daddy besok?" Suri berucap dengan kedua tangan yang ia tumpukkan di atas meja. Kami duduk berhadap hadapan, dengan kaki suri yang bergoyang goyang di bawah meja. Aku dapat merasakannya, karena sesekali ia menendang dengkulku secara tak sengaja.
"Tidak, acara itu hanya untukmu dan daddymu sayang," jawabku semampuku. Aku bahkan tak tahu jika besok malam mereka akan datang ke sebuah pesta.
Aku menyuapi Suri saat pesanan pastanya datang gadis ini membuka mulutnya lebar lebar saat aku menyuapinya. Ia tak sulit makan, ia cenderung mudah untuk disuapi.
"Besok bantu aku memilih bajuku ya?" ucapnya sambil mengunyah makanannya.
Aku mengangguk, tanpa ia mintapun aku akan melakukannya. Itu memang pekerjaanku mengurusnya, memenuhi kebutuhannya.
Kami menoleh saat kursi sampingku ditarik, aku tersentak saat menyadari Mr.Adalson yang mengambil tempat tepat di sisi kiriku. Aku tak menyangka ia akan menyusul kami, aku fikir ia masih terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku bahkan berniat membawakannya makan siang karena aku takut ia tak sempat makan siang.
"Daddy!" Suri berucap girang dengan menepuk-nepuk meja di depannya. Mr.Adalson tersenyum lembut, ia melirik piring yang terletak di atas meja, lalu kembali menjatuhkan pandangannya padaku.
"Kau tak makan?" tanyanya dengan alis yang bertautan erat.
Aku menggeleng, memberi isyarat bahwa aku tak makan ataupun berniat untuk makan.
"Aku belum lapar tuan."
Mr.Adalson mendengus kasar lalu menjentikkan jarinya untuk kembali memesan sebuah pasta, aku melirik pelayan yang datang kemeja kami. Gosh. Bisakah ia sedikit diam dan tidak menggoyangkan bokongnya berlebihan ketika berjalan?
Aku rasa wanita ini berniat menggoda Mr.Adalson. cih, andai ia tahu seperti apa sifat asli lelaki di sampingku ini.
"Aku mau ini dan ... " Mr.Adalson membuka lembaran selanjutnya untuk memilih minuman yang ia pesan. "Expresso, jangan terlalu banyak gula" tambahnya dengan kembali menyodorkan buku menu pada wanita pelayan ini. Wanita itu melirikku melalui sudut matanya sesaat, sebelum menjauh berlalu dari hadapan kami.
Tuhan, andai wanita ini tahu bahwa aku juga hanya seorang pembantu yang sedang menemani majikanku makan. Aku hanya seorang babysitter.
"Enak sayang?" Mr.Adalson bertanya dengan pandangan yang tertuju kepada suri. Aku kembali menyuapi suri dengan garpu ditanganku. Anak ini kesulitan bila makan sendiri. Ia bisa, namun akan berantakan.
"Ya daddy" ucapnya masih mengunyah pasta yang ia makan.
"Pesanan anda tuan ... "
Sebuah pasta kembali disuguhkan diatas meja, Mr.Adalson menyesap Coffenya perlahan. Aku baru tahu Mr.Adalson juga menyukai Coffe, Expresso mengandung kafein yang cukup tinggi. Aku kira ia tak suka minuman seperti ini.
Mr.Adalson meraih garpu yang tersedia di atas meja lalu melilitkan pasta itu dengan garpunya. Menggulungnya menjadi satu gulungan. "Makanlah!" ucapnya dengan menyodorkan garpunya padaku.
Aku menggeleng menolak, alisku mengernyit dan kepalaku sedikit mundur. Aku belum lapar dan lagipula ... apa ia gila melakukannya di depan umum? Banyak orang yang berlalu lalang di sini. Lagi pula posisi kami benar benar terlihat oleh orang yang berlalu lalang di luar. Aku melirik suri melalui sudut mataku. Gadis ini tersenyum menggoda dengan kedua alis yang dinaikkan ke atas. Oh tuhan ... mengapa suri ikut menggoda?
"Aku belum lapar tuan," ucapku menggeleng dan menjauhkan tangannya dari mulutku.
"Makan. Atau aku yang memakanmu," bisiknya dengan suara rendah di dekat kupingku.
Aku menatapnya yang tengah menatapku datar. ia kembali menyodorkan pasta itu padaku. Membuatku lekas menerima suapan yang ia berikan.
Aku mengunyahnya dengan mengalihkan pandanganku darinya. Tuhan, aku dapat merasan tatapan beberapa pengunjung yang jatuh pada kami.
"Daddy! Lihat, Leandra merah seperti tomat!" Suri berucap keras dengan tertawa di tempatnya. Aku melirik Mr.Adalson melalui sudut mataku. Ia menarik seringai tipis diujung bibirnya. Sialan.
Aku menggeleng menyembunyikan wajahku, sudah cukup. Aku sangat malu. Wajahku terasa panas sekarang. Dan aku yakin pipiku semakin memerah.
.
.
.
.
.
.
Bersambung …
Jangan lupa vomment cerita ini juga yak.