"Aku mau lagi Leandra, aku akan nambah lagi!" Suri berucap dengan melahap sup ayam yang tengah ia santap.
Aku tak menyangka ia menyukai masakanku, walau aku tak pernah belajar memasak atau mencotek buku masakan manapun. Aku hanya memperhatikan ibuku memasak dulu. Mungkin Suri merindukan masakan seperti ini, masakkan rumahan yang sederhana.
"Kau bisa menghabiskan semuanya, pelan pelan ... aku membuatkannya memang untukmu," ucapku terkekeh dengan menatapnya yang masih lahap memakan soup buatanku.
Ini sudah mangkuk ke dua, dan bocah ini meminta nambah. Kurasa perutnya seperti karet, aku saja kenyang makan satu mangkuk.
Suri belum mengganti bajunya, ia bahkan masih mengenakan seragam tknya. Sejujurnya ia sudah pulang sedari tadi, namun aku harus menemaninya les balet di salah satu sanggar di pusat kota. Hingga kami baru sampai rumah pukul tiga sore.
Dan soal Mr. Adalson, aku tak tahu akan menemuinya nanti atau tidak, ia tak terlihat sejak meninggalkanku di kamar tadi pagi. Ia bekerja, dan kuharap ia pulang larut malam sehingga aku tak perlu repot repot menemuinya diruang kerjanya nanti sore.
"Leandra, dengarkan aku!" Aku kembali memusatkan perhatianku pada Suri, memandang gadis itu dengan alis terangkat guna menunggu apa yang ia akan sampaikan. "Besok buatkan aku seperti ini lagi ya?"
Aku mengangguk lalu tersenyum, sup ayam tak buruk untuk anak seusianya, justru itu lebih baik ketimbang ia makan makanan cepat saji, atau makanan yang kurang sayur. Aku tahu, Suri sebenarnya gadis manis yang baik, hanya saja ia terlalu dimanjakan, Mr. Adalson terlalu menyayanginya tanpa sedikitpun mengajarinya mana yang baik dan mana yang salah.
"Aku sudah kenyang." Ia bersendawa kecil yang lekas membuat kami tertawa bersama. Tangannya mendorong mangkuk itu menjauh dari hadapannya, mengisyaratkan bahwa ia tak sanggup lagi untuk menampung sup itu di perutnya.
"Tidak jadi nambah?" tanyaku tersenyum menggoda.
"Tidak, tapi jangan dihabiskan. Jangan ada yang meminta soupku leandra, aku akan memakannya lagi jika aku sudah tidak kenyang" Ia meraih gelas yang berisi air putih lalu menenggaknya hingga habis.
Suri melompat turun dari meja makan, membuatku lekas membereskan mangkuk yang telah ia makan.
"Temani aku ke kamar Leandra" Ia berucap dengan menarik tanganku agar mengikutinya, aku mengangguk, bocah ini memang sangat manis jika sedang baik, namun terlihat seperti iblis kecil jika sedang mengamuk.
"Kau akan tidur?" ucapku mencoba menebak. Ia mengangguk, lalu merebahkan dirinya di ranjang kamarnya. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, mungkin ia lelah karena aktivitasnya yang padat hari ini. Walau nanti malam ia pasti terbangun karena tidur saat masih sore.
"Usap punggungku, daddy jarang mengusap punggungku lagi," ucapnya dengan memiringkan tubuhnya menghadap padaku yang duduk disisi ranjang.
"Daddymu sibuk sayang" ucapku dengan mengusap punggungnya lembut, aku rasa ia senang dengan perlakuanku saat ini. Matanya langsung terpejam begitu saja.
Aku tersenyum, ia mirip sepertiku saat kecil. Aku selalu meminta ibuku untuk mengusap puncak kepalaku sebelum aku tertidur, karena aku merasa nyaman dan akan terlelap dengan cepat. Aku rasa Suri bukan hanya membutuhkan perbaikan perilaku, namun juga kasih sayang, ia membutuhkan daddy dan ibunya.
Aku dapat melihat, seberapapun usaha Mr. Adalson untuk membahagiakan Suri, tak akan sepenuhnya berhasil, gadis seperti ini masih membutuhkan sosok ibu yang menemaninya. Aku mengecup puncak kepala Suri lalu beranjak keluar dari kamarnya, menutup pintu kamarnya tanpa menimbulkan jejak suara apapun.
Aku mendesah saat suara mobil terparkir dihalaman depan. Oh, itu pasti Mr. Adalson. aku masih bingung apa aku akan menemui- hei? Bukankah aku hanya harus menemuinya, berbicara dengannya dan keluar dengan tenang? Apa yang harus kutakutkan? Tak ada yang harus kutakutkan. Ini masih sore dan Mr. Adalson tak akan berbuat yang tidak tidak padaku.
Pintu utama terbuka dengan menampilkan seorang lelaki berbalut jas abu abu yang melangkah masuk. Derap langkahnya tenang dan mendominasi ruangan ini. Ia menjatuhkan tatapan matanya padaku yang tengah berdiri diujung tangga, memandangku dari ujung kakiku hingga ke seragam yang kukenakan. Aku rasa ia sudah cukup puas sekarang, aku sudah mengganti bajuku seperti permintaannya
.
"Keruanganku," ucapnya dengan melangkah melewati tubuhku. Aku memutar tubuhku, lalu berjalan mengikuti dirinya yang kini tengah membuka pintu ruang kerjanya dengan mudah. Membiarkan aku masuk terlebih dahulu, lalu menutup- sial. Ia menguncinya lagi.
Mr. Adalson berjalan dengan melepas jas abu abu yang ia kenakan. Melemparkan jas itu padaku yang membuatku lekas menangkap jas itu agar tidak terjatuh keatas lantai. Oh tuhan ... aroma tubuhnya! Itu bahkan tercium tanpa aku harus mengendus jas yang ia kenakan.
Mr. Adalson melonggarkan dasinya lalu duduk di meja kerjanya. Ia memandangku yang kini tengah memandangnya. Matanya memandangku seakan menelanjangi tubuhku, aku hanya terdiam ditempatku. Menunggu Lelaki dihadapanku agar lekas berucap.
"Aku punya sebuah penawaran," ucapnya dengan menjilat permukaan bibirnya perlahan.
Aku masih diam, aku tak akan banyak bicara, aku hanya ingin mengetahui tujuannya dan apa hal penting yang harus kuurus.
"Aku akan menaikkan gajimu tiga kali lipat" ia berucap dengan beranjak dari kursinya, aku menyimak baik baik perkataannya.
Tiga kali lipat? Ayolah apa ia sedang bergurau? Tiga kali lipat dari gajiku sebelumnya? Itu artinya satu bulan aku bekerja disini, sama dengan sembilan bulan aku bekerja di caffeku sebelumnya. Gila. Aku mau.
"Dengan tambahan pekerjaan tentunya ... " Ia mendekat kearahku, berdiri di hadapanku dengan bersandar pada meja kerjanya. Aku mendongak menatapnya, aku menatap dagunya yang ditumbuhi bulu halus, dan ... bibir itu. Bibir yang menyentuh bibirku tadi pagi.
"Tambahan pekerjaan?" tanyaku mengulang pernyataannya. Ia mengangguk. Aku menahan nafas saat merasa hembusan nafas mintnya menerpa wajahku, ia benar benar menggoda.
"Tak sulit, kau hanya harus mengurusku .. "
Mengurusnya?
Memang dia apa? Anak kecil? Orang tua yang jompo?
"Siapkan keperluanku, pakaian yang harus kupakai sehari hari ... tidak, kau bukan pembantu, kau tak harus mencuci dan menyetrika pakaianku. Hanya siapkan stelan yang akan kupakai setiap harinya. Bangunkan aku, siapkan air mandiku, bereskan kamarku, buatkan kopi untukku," ucapnya menjelaskan dengan tegas padaku.
"Pekerjaanku dengan suri?"
"Tetap lakukan. Aku bilang pekerjaan tambahan, bukan mengganti pekerjaan. Mengerti?"
Aku mengangguk, ini mungkin akan lebih melelahkan namun bukan masalah, uang yang kudapat dapat kugunakan untuk kuliahku nanti dan kebutuhanku dan kakakku Michelle.
"Kau mengurus kebutuhanku dan Suri, dengan gaji yang kunaikan tiga kali lipat, deals?"
Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku menggigit bibirku sesaat, apa aku akan menerimanya? Kurasa ia. Aku membutuhkan uang dan mengurusnya bukan pekerjaan yang sulit kurasa. Tanganku terangkat untuk lekas menerima uluran tangannya dengan cepat.
"Deals," ucapku dengan keyakinan.
Ia tersenyum- tunggu, apa itu sebuah seringai? Mr. Adalson melepas dasi yang sebelumnya telah ia longgarkan, membuka kemejanya lalu memberikan benda tersebut padaku. Aku menerimanya tanpa banyak membantah, tugasku melayaninya. Aku harus ingat itu.
"Dimana anakku?" Ucapnya dengan melepas kaus yang ia kenakan. Tuhan, ia benar benar terlihat seperti patung yunani. Lekukkan tubuhnya yang berotot ditambah dengan tatto salib yang terpampang di dada bidangnya. Banyak tatto ditubuhnya, aku tak menyangka ia menyukai seni.
Lebih tepatnya, ia semakin tak terlihat seperti seorang duda yang telah mempunyai anak, ia terlihat seperti seorang dewasa yang mapan.
"Ia tidur setelah makan dua mangkuk soup ayam tuan. Sepertinya ia lelah" ucapku dengan membenarkan letak pakaian Mr. Adalson di tanganku.
Ia tersenyum kecil, senyumannya menampilkan raut wajah geli dan aneh disaat yang bersamaan. "Soup? Iya tidak menyukai masakan itu setauku" ucapnya dengan kepala yang menelah kesatu sisi.
"Aku tak tahu tuan. Aku membuatnya dan iya suka begitu saja" aku berucap dengan jujur. Ya, aku hanya mencoba memasak soup ayam untuknya, awalnya ia memang menolak. Namun saat Suri menyicipinya, ia malah ketagihan. Aku rasa bukan karena masakanku yang enak. Tapi karena Suri rindu masakan rumah sederhana.
Bagaimanapun manusia pasti
punya rasa bosan.
"Kau bisa memasak?" Ia sedikit menyipitkan matanya menatapku, aku mengangguk.
"Sedikit, hanya masakan rumah."
"Siapkan untukku juga, antar keruang kerjaku." Mr. Adalson berucap dengan mendudukkan tubuhnya di kursi kerjanya.
Aku mengangguk kemudian membungkuk memberi hormat, lalu melangkahkan kakiku keluar sebelum ia kembali membuka suara.
"Leandra ... " Aku menoleh, berhenti bergerak untuk menunggu apa yang lekas ia katakan. "Letakkan pakaian kotorku dalam keranjang di kamarku, dan bawakan aku sebuah kaus saat kau kembali"
Aku mengangguk mematuhi segala perkataannya. Itu memang pekerjaanku. Mengurus kebutuhannya, melayaninya, ya ... itu memang pekerjaanku.
.
.
.
.
.
Bersambung...