Aku menahan tubuhnya saat ia berusaha melumat bibirku, Mr. Adalson tak berhenti untuk mengecupi daun telingaku, membuatku mati matian menahan desahanku. Nafasnya memburu dan aku bisa menghirup aroma bir dari bibirnya. Aku berontak semampuku, namun ia hanya mengerang saat aku menjambak rambutnya dengan kasar, tenagaku tak cukup kuat untuk membuatnya menjauh dari tubuhku.
"Lepaskan Tuan!"
Apa yang akan kami lakukan Tuhan? Aku bahkan belum genap tujuh hari kerja di sini. Aku tak mau kehilangan keperawananku, belum. Maksudku, tidak begini seharusnya. Aku seorang babysitter yang akan ditiduri majikanku sendiri. Aku tak mau, aku terlihat seperti perempuan murahan yang melakukan hal ini hanya demi uang. Lagi pula, bukankah Mr.Adalson bilang ia tak tertarik padaku? Apa ia hanya tertarik karena aku mengatakan bahwa aku masih perawan?
Jika hal itu benar, Mr.Adalson memang seorang bajingan. Bajingan dingin yang tertutup oleh perangainya yang tampan.
"Kau tahu kau membuatku gila hanya karena wajahmu yang memerah saat bertatap mata denganku? Kau takut menatapku dan menghindari kontak mata denganku, namun di sisi lain kepolosanmu saat berpakaian membuat hasratku memuncak. Kau seperti menjauhiku, namun tubuhmu meminta untuk kusentuh" Ia meracau panjang lalu meremas dadaku yang hanya terbalut kaus panjang yang menutupi pahaku.
Aku mendesah, menahan tangannya yang mencoba mengangkat baju yang kukenakan. Aku menepis tangannya yang meraih bajuku, menampar wajahnya keras dengan telapak tanganku.
Aku tak mau ia berlaku lebih, aku masih memiliki harga diri.
"Aku bisa berlaku kasar Leandra," ucapnya menatapku dengan pandangan tajam, nafasnya memburu, dan ia terlihat sangat kacau sekarang. "Jangan mencoba untuk melawanku," tambahnya dengan netra yang menggelap.
Nyaliku menciut, aku jelas kalah jika dibandingkan dengan dirinya. Ia begitu kuat dan mendominasi. Bahkan hanya dengan tatapan tajamnya, aku takut. Aku merasa tak berkutik.
"Tuan!"
Aku memekik saat kausku dirobek dengan kasar, aku menutupi dadaku yang tak terbungkus apapun. Menutupi tubuhku yang hanya berbalut underwear. Aku tahu aku terlalu bodoh untuk mengabaikan perkataan yang di lontarkan Michelle sebelumnya. Kakakku benar, Mr.Adalson memang lelaki sialan.
Aku menendang perutnya dengan dengkulku, ia mengerang, memejamkan matanya selama beberapa detik sebelum memuntahkan cairan hangatnya di atas perutku. Aku menjauhkan dadanya.
Ew. Ia memuntahi perutku.
Aku berlari ke kamar mandi kamarku, lalu membersihkan sisa cairan bening muntahnya yang berbau bir. Tak lengket dan berwarna memang, tapi aku tetap kesal.
Aku memungut pakaianku, lalu memakainya kembali dengan membiarkan Mr.Adalson yang berbaring dengan mata terpejam di ranjangku. Apa ia gila? Apa ia sadar apa yang ia lakukan?
"Leandra ... " Ia berucap dengan mata yang terpejam. Aku mendekat kearahnya, duduk disisi ranjangku dengan menatapnya bingung. Matanya tetap terpejam namun mulutnya terus meracau. Apa ia mengigau sekarang? Apa sih yang ia fikirkan? Aku benar benar bingung dengan kondisinya.
"Payudara" gumamnya sekali lagi.
Sialan. Jika ia sadar dan dalam kondisi baik baik saja, aku ingin menyumpal mulutnya dengan kaus kaki. Aku bergerak mendekat lalu memijat pelipisnya perlahan. Aku memang kesal dengan apa yang ia lakukan, namun melihatnya seperti ini, tentu aku tak tega. Seseorang yang mabuk pasti merasa kepalanya pusing sekarang.
Aku terus memijit pelipisnya yang lekas membuatnya berhenti meracau, nafasnya mulai teratur walau wajahnya masih memerah, aku menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Apa yang harus kulakukan? Aku tak mungkin meminta bantuan orang lain memindahkan Mr.Adalson ke luar dari kamarku. Situasi sudah malam, dan semua orang telah tertidur.
Lagi pula, orang akan salah paham mengenai 'bagaimana Mr.Adalson dapat berada di dalam kamarmku?'
Tidak, tidak, semua akan menjadi semakin rumit. Aku tak bisa melakukannya.
Aku beranjak untuk menjauh, lalu berbaring di kursi kamarku dengan memeluk tubuhku. Kejadian ini benar benar berlangsung cepat. Aku harap Mr.bieber tak sadar dengan apa yang ia lakukan. Karena aku takut bila ia memang berniat menyetubuhiku secara sadar. Aku harap ia lupa apa yang ia lakukan saat ini.
Tapi, bukankah orang mabuk melakukan apapun diluar kendalinya? Apakah kata kata yang ia lontarkan memang apa yang selama ini ia tahan?
.
.
.
.
.
.
Mataku kembali terbuka saat aku menatap Mr.Adalson yang tengah duduk di atas ranjangku dengan menatap dinding kamarku. Rambutnya acak acakkan, namun wajahnya sudah tidak memerah.
Ia memang tampan, kuakui itu. Bibirnya merah dengan rahang yang tegas, alisnya tebal, dan sorot matanya tajam seperti harimau. Namun aku tak akan melupakan siapa ia sebenarnya, lelaki sialan yang mencoba menyetubuhi kemarin malam.
Aku beranjak untuk duduk dari kursi panjangku, merenggangkan tubuhku dengan memandang dirinya yang masih terdiam tanpa lekas berucap.
Aku fikir ia telah pergi dari kamarku, ini sudah pukul enam pagi. Seharusnya ia lekas pergi sebelum semua orang bangun dan melihatnya keluar dari kamarku. Oh, aku pasti akan mendapat cemohan dari beberapa pelayan lain disini.
"Tuan ... ini sudah pagi, sebaiknya kau kem-"
"Kemarilah Leandra," ucapnya memotong perkataanku.
Ia menoleh padaku dengan wajah datar, aku bangkit dari dudukku, mendekat ke arahnya lalu duduk disisi ranjangku dengan menunggu apa yang akan ia katakan.
Sejujurnya aku masih sedikit takut, namun menghindar darinya tentu bukan pilihan yang tepat.
"Tuan ... " ucapku memberi isyarat agar ia lekas berucap. Ini sudah pukul enam. Seharusnya aku lekas bersiap siap untuk memulai pekerjaanku saat ini.
"Aku tak pernah meminta maaf akan apa yang aku lakukan pada siapapun. Tapi terimakasih telah meredakan mabukku dan pening di kepalaku semalam. Walau aku tak akan menyesal bila 'itu' memang terjadi," ucapnya datar dengan raut wajah yang tak dapat kutebak.
Aku meneguk salivaku. Ia sadar semuanya. Ia sadar apa yang ia lakukan namun ia hanya kehilangan kendali dalam menahan nafsunya. Itu artinya ia memang berniat menyentuhku, ia berniat menikmati tubuhku.
Aku hanya diam dan menatapnya yang kini beranjak dari ranjang kamarku, ia menundukkan tubuhnya cepat lalu melumat bibirku, aku tersentak berusaha menjauh dari lidahnya yang menghisap bibirku. Tanganku mendorong dadanya perlahan untuk melepaskan pagutan bibir yang ia berikan. Ini terlalu cepat. Dan aku seakan tak berdaya untuk melawannya. Maksudku, aku menolak seakan aku tak bisa menolak.
"Temui aku di ruang kerjaku pukul 5 sore nanti," ucapnya cepat lalu beranjak keluar dari kamarku. Ia berhenti sesaat, memutar tubuhnya sebelum kembali berucap. "Aku akan datang kembali ke kamarmu bila kau tak datang menemuiku" tambahnya sebelum menutup pintu kamarku.
Aku terdiam, memandang pintu kamarku yang telah tertutup dari luar. Mr.Adalson menciumku. Aku. Seorang babysitter yang dicium oleh seorang majikan. Ayolah, apa itu terdengar wajar? Aku hanya melayani anaknya, bukan dirinya.
Aku mendongak menatap pantulan diriku didepan cermin. Wajahku memerah. Sial. Pantas Mr.Adalson selalu mengatakan hal itu. Jemariku bergerak menyentuh bibirku yang mendapat ciumannya pagi ini. Aku harus mengakuinya meski aku menolaknya, ciuman itu terasa…
Lembut.
Ciumannya amat lembut.
Sial, apa yang aku fikirkan?
.
.
.
.
.
Bersambung…..