"Ya, Michelle. Aku baik-baik saja, bagaimana dengan dirimu? Apa rachel membuatmu lelah?" tanyaku dengan mengapit ponselku di bahu dan kupingku. Michelle menelfonku malam ini.
Aku tahu ia khawatir, bagaimanapun aku satu-satunya kelauraga yang ia milikki saat ini. Orang tua kami meninggal saat Michelle berusia 19 tahun.
"Aku baik-baik saja. Rachel menanyakanmu, ia rindu padamu, namun sekarang ia sudah tertidur," balasnya dengan menghembuskan nafasnya lembut.
"Aku juga rindu padanya, anak majikanku yang kuasuh sedikit nakal, amat berbeda dengan Rachel yang manis dan pendiam," ucapku menggeleng-gelengkan kepalaku pasrah.
Suri dan Rachel bagaikan bumi dan langit, Suri cerewet, bawel, dan terkadang menyebalkan. Sedangkan Rachel lebih pendiam, penurut, dan tidak banyak bertingkah.
"Omong-omong tentang majikanmu, aku harap kau menjaga jarak dengannya. Aku melihat melalui tabloid minggu lalu bahwa ia salah satu pengusaha yang senang bermain perempuan, aku takut ia genit padamu. Kau cantik dan manis. Jauhi dia"
"Tenanglah Michelle, ia bahkan selalu terlihat mengintimidasi dan memandangku dengan pandangan merendahkan. Ia tak akan mendekatiku, tertarik saja tidak. kau tidak perlu khawatir," ucapku dengan menggedikkan bahuku. Benarkan? Mr. Adalson selalu menatapku tajam dan bertutur kata kasar, aku bahkan sempat berfikir bahwa ia tidak menyukaiku.
Dan aku baru tahu ia seorang lelaki yang suka bermain perempuan. Ia terlihat dingin dan jarang tersenyum, namun mengingat penampilannya yang sangat menarik, penjelasan Michelle cukup masuk akal. Ia bisa mendapatkan wanita manapun dengan mudah.
"Entahlah, aku hanya takut. Kau polos dan cantik," ucapnya terkekeh dengan pasrah.
"Baiklah, aku mengerti, aku akan menjaga diriku sebaik mungkin. Sampaikan salamku pada gadis kecil itu, aku ingin istirahat dulu, kuputus sambungannya, 'ya?" ujarku dengan mengakhiri panggilan ponsel yang kami lakukan sekarang.
Aku merasa lelah dan aku perlu istirahat.
"Oke, maaf aku mengganggu waktu istirahatmu Leandra. Hubungi aku bila terjadi sesuatu. Bye Leandra"
"Bye Michelle," jawabku memutus panggilan ponselku, aku menyimpan ponselku di laci kecil samping tempat tidurku. Melepas ikatan rambutku lalu merebahkan tubuhku dan menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Aku lelah. Aku ingin istirahat sekarang.
.
.
.
.
Aku terbangun di malam hari saat tenggorokanku terasa kering. Aku mengusap kelopak mataku untuk memperjelas penglihatanku, lalu beranjak bangun dari ranjang tidurku. Pukul dua pagi. Mungkin aku terbangun cepat karena aku terlalu banyak tidur kemarin siang.
Aku mengikat rambutku menjadi satu gulungan di atas kepala. Membuka pintu kamarku lalu beranjak kedapur untuk mengambil segelas air putih. Situasi sangat gelap dan sunyi, tak ada suara apapun, mengingat semua orang telah terlelap saat ini.
Kakiku melangkah perlahan tanpa suara, mataku menyipit memandang cahaya remang dari arah dapur. Siapa yang berada di dapur dini hari seperti ini? Seingatku, para pelayan dan juru masak baru akan menyiapkan sarapan pukul setengah lima pagi, dan mereka pasti tengah terlelap sekarang, mereka memerlukan waktu istirahat mengingat pekerjaan mereka cukup menguras tenaga.
"Tu ... tuan?" Kakiku berhenti melangkah menatap sosok lelaki berambut emas yang tengah membelakangiku menghadap kesebuah meja bar kecil.
Aku sangat hafal perangai tubuhnya, tatto sayap di belakang lehernya menjelaskan siapa dia. Ia hanya mengenakan celana putih pendek tanpa kaus yang menutupi bagian atas tubuhnya. Membuat otot di lengannya terlihat jelas olehku.
Mr. Adalson. Apa yang ia lakukan di sini? Bila boleh berkata jujur, aku masih merasa tak nyaman bertemu dengannya, atau lebih tepatnya aku takut. Aku menamparnya dengan keras! Menampar majikanku sendiri! Demi Tuhan!
Aku meneguk salivaku gugup, kejadian di kamarku tadi siang masih terekam jelas. Aku takut ia marah dan memecatku, aku masih membutuhkan pekerjaan ini, tetapi perkataannya siang tadi memang keterlaluan. Aku merasa sangat terhina karena ucapannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Ia berucap tanpa menoleh sedikitpun padaku, nada suaranya masih sama. Dingin dan penuh keintimidasian.
Ia menenggak sesuatu dari gelas kaca yang ia genggam. Membiarkan cairan itu larut dalam kerongkongannya.
Aku menggeser tubuhku dan menatap beberapa botol bir kosong diatas meja bar, ia ... mabuk? Apa ia gila mabuk di rumah seperti ini? Aku tahu ini malam hari, namun bagaimana bila suri terbangun dan melihatnya melakukan hal ini?
"Jika kau tak ada urusan, kembali ke kamarmu. Berhenti menatap botol birku seperti itu," ucapnya dengan masih membelakangiku.
"A ... aku hanya ingin mengambil segelas air putih Tuan."
Aku melangkahkan kakiku meraih sebuah gelas di sudut ruangan, menuangkan air putih lalu meneguknya untuk membasahi kerongkonganku. Aku dapat merasakan tatapan Mr. Adalson yang terjatuh padaku, apa ia sebenci itu hingga tak memalingkan wajahnya dari tubuhku? Atau apa?
Mungkin, mungkin ia dendam karena aku menamparnya kemarin sore.
"Berkeliaran tanpa bra," gumamnya terkekeh kecil. Aku menoleh padanya dengan pandangan bingung. Mengapa ia selalu tahu apa yang aku kenakan dan tidak? Ya. Aku tak pernah memakai bra ketika tertidur, menurut penelitian hal itu merupakan hal yang baik. "Berani sekali," tambahnya, mencemoh.
Aku mengalihkan wajahku yang memerah, aku meresa tatapannya benar benar menghina dan mengintimidasiku.
"Mr. Adalson ... aku--aku minta maaf atas perilaku kasarku tadi siang padamu. Aku tahu itu keterlaluan. Tapi kumohon, berhenti mengintimidasiku seperti ini, aku sama sekali tak berniat menggodamu, aku bukan jalang, aku tak pernah bercinta, aku bukan gadis murahan yang menggoda lelaki kaya sepertimu," terangku, berusaha mengumpulkan keberanianku.
Ia menatapku lekat, lalu menjilat bagian bawah permukaan bibirnya. Sedangkan ku masih diam, menunggu kata kata yang akan ia lontarkan. "Kau bilang ... kau belum pernah bercinta?" tanyanya dengan nada suara yang rendah, terdengar tertarik dan sedikit seduktif di saat yang bersamaan.
"Aku, aku hanya ingin menyatakan pernyataan maafku Mr. Adalson, selamat malam." Aku sedikit berlari menuju kamarku, aku tak suka topik yang dibahas Mr. Adalson. Apa ia ingin menghinaku karena aku tak pernah bercinta?
Aku tahu, aku terlalu kampung untuk tidak merasakan sex di kota besar seperti ini, bukan karena aku tak mau, aku hanya menunggu lelaki yang benar-benar kucintai untuk melakukannya.
Namun aku pernah berciuman, aku tak seculun itu. Aku membuka pintu kamarku, melangkah masuk ke dalam, lalu bergegas menutup pin ... hei, mengapa pintu kamarku tak dapat tertutup?
Aku bergeser dan menemukan Mr. Adalson yang menahan pintuku dengan kepalan tangannya.
Apa yang ia lakukan di sini?
Mr. Adalson masuk, lalu mengunci pintu kamarku dengan jemarinya. Ia menatap tubuhku dengan menjilat permukaan bibirnya. Aku menegang, ini malam hari, apa yang akan ia lakukan di dalam kamarku?
"Pergi tuan, ini kamarku. Ka-"
"Dan ini rumahku," ucapnya dengan menarik sudut bibirnya membentuk sebuah seringai.
Aku meneguk salivaku, merasa takut dengan Mr. Adalson. Nafasnya tercium aroma alkohol, ia minum sebanyak itu, namun mengapa ia masih bisa terlihat sadar dan tidak mabuk? Walau tak kupungkiri wajahnya sedikit memerah.
Aku mencoba mendorong tubuhnya namun tubuhku malah ia himpit ke sisi dinding. Aku menahan dadanya yang tak terlapisi apapun dengan tanganku, menahan dadanya agar ia menjaga jarak dariku. Namun ia lebih kuat, kedua tangannya mengurung sisi tubuhku. Membuatku tak berkutik di bawah genggamannya.
"Aku bisa ber-"
"Silahkan. Teriaklah semaumu. Dan aku akan menyetubuhimu di bawah tangga jika perlu, Agar semua orang dapat melihat apa yang dapat kulakukan padamu," ancamnya.
Aku menggeleng dengan kasar. Tidak. Aku tak mau kehilangan keperawananku di tangan bajingan sepertinya. Aku tahu ia tampan, kaya dan bahkan aku jatuh hati saat melihatnya. Namun aku tak akan memberikan tubuhku begitu saja. Aku tak ingin dianggap rendah oleh lelaki sepertinya. Aku tak mencintainya.
Aku memekik kecil saat tubuhku ia banting ke atas ranjang, ia menindih tubuhku dengan tubuhnya yang kekar, lalu mengecup wajahku berkali-kali dengan bibirnya.
"Tu- tuan ... hentikan!"
.
.
.
Bersambung .....
jangan lupa add story ini ke library kalian yaaaa!