~ Author Pov ~
Jam 11 malam jalanan masih bisa dibilang ramai. Setelah menyelesaikan pekerjaan di kantor, seperti biasa Jemmy melanjukan mobilnya menuju tempat istirahatnya. Dia melirik sekilas tempat duduk yang ada di sampingnya. Hanya ada kotak kecil berisi mainan. Gundam yang dulu dia beli di Jepang itu duduk diam manis di sana. Karena kejadian tak terduga membuatnya lupa untuk memberikannya kepada Awi.
Saat dia sudah sampai di apartemen pun, pikirannya masing melayang entah kemana. Dia berjalan pelan menyusuri lorong dan berakhir di pintu apartemennya. Saat Jemmy hendak membuka pintu tangannya berhenti. Dia menelan ludah saat ingat dia mencengkeram lengan Awi. Keningnya berkerut dan dia membuka pintunya.
Saat pertama kali pandangannya beredar di dalam apartemen, yang dia lihat adalah Nathan yang sedang menyiapkan makan malam.
"Udah makan belum? Aku masakin telur dadar aja ya," kata Nathan tanpa melihat ke arah pintu.
Setelah melepas sepatu, Jemmy berjalan mendekati Nathan. Laki-laki berparas imut itu terlihat sedang mengaduk telur beserta bumbunya. Jemmy berjalan mendekati Nathan. Saat tangannya hampir menyentuh lengan Nathan, dia terdiam sejenak. Dia mengingat kembali kejadian di dalam mobil. Saat tangannya secara reflek memegang lengan Awi dan saat mereka tanpa sengaja hampir berciuman.
Jemmy akhirnya memegang lengan kiri Nathan dengan tangan kirinya lalu dia berjalan lebih dekat padanya. Dia mengecup tengkuk Nathan.
"Hei!!" Nathan yang terkejut memukul kepala Jemmy.
Tapi Jemmy tetap mengecup tengkuk Nathan dan meninggalkan tanda kemerahan di sana.
"Kamu harum..." kata Jemmy yang bibirnya kembali mengecup pundak Nathan yang sedikit terekspos karena kaos yang dia kenakan menunjukkan kedua pundaknya.
"Aku baru mandi. Kamu juga mandi sana! Bau. Bau badaann."
Jemmy memutar tubuh Nathan sehingga mereka saling berhadapan. Dia mendekatkan wajahnya pada Nathan lalu mengecup bibir Nathan. Dia memandang Nathan begitu dalam. Kekasihnya selama 7 tahun itu. Tidak banyak yang berubah pada diri Nathan. Wajah, tubuh serta sifatnya masih terlihat sama di mata Jemmy.
Wajah Nathan menghangat. Setelah mengecup singkat bibir Nathan, Jemmy langsung masuk kedalam kamar mandi. Nathan menghela nafas melihat tingkah laku kekasihnya itu.
"Dasar," desis Nathan.
~ Awi Pov ~
"Pa, besok aku disuruh bayar uang buat..."
"Buat apa?" tanyaku saat Dika tidak melanjutkan kata-katanya.
Saat ini aku sedang mengupas mangga untuk cemilan nanti siang. Ini hari minggu. Aku mau bersantai sambil menikmati buah segar.
"S...SPP."
Aku langsung menatap Vina. Vina juga menatapku.
"Bukannya sudah mama kasih uang kemarin buat bayar SPP?" tanya Vina ke Dika.
Aku menatap lagi anakku yang berdiri tak nyaman di dekatku. Dika meremas-remas kedua tangannya. Dia juga terlihat menggigit bibir bawahnya.
"Pasti kamu pakai kan uangnya?!" suara istriku mulai meninggi.
"Aku...aku cuma pakai sedikit kok," ternyata Dika mencoba membela diri.
"Kamu itu..."
"Ssttt...udah. Udah. Itu Erin kamu liat dulu. Takutnya jatuh dari tempat tidur," aku berusaha menghentikan Vina yang terlihat siap mau mengomeli Dika.
Vina berjalan pergi sambil memukul pantat Dika dengan kain lap.
Aku menatap kembali jagoan kecilku itu.
"Nah...bilang sama papa. Uangnya kamu buat apa?"
"..."
"..."
"..."
Masih tidak ada jawaban. Aku memegang kedua lengan Dika. Anak seumuran Dika ini ada di dalam fase memberontak. Sebagai orang tua aku selalu takut jika kata-kata yang keluar dari mulutku bisa membuatnya salah paham dan berbuat nekat.
"Kamu buat apa? Kalau kamu jujur, papa nggak marah. Jadi..."
"Buat game," jawabnya pelan.
Mulutku terbuka.
Game...
Aku menggaruk kepalaku lalu kembali memegang lengan Dika.
"Kenapa uang SPP kamu pakai buat game?"
Setahuku memang banyak game-game yang harus top up. Entah itu untuk membeli perlengkapan atau apa pun lah itu. Karena aku tidak terlalu suka bermain game jadi cuma sekedar tau dari teman-teman kantor.
"Habisnya aku..."
Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Ya ampun....
"Papa mau tanya game sama sekolahmu lebih penting mana?" tanyaku.
Dika tertunduk.
"Sekolah," sahut Dika lirih.
"Kamu pakai uang SPPmu buat main game, itu perbuatan benar atau salah?" tanyaku lagi.
Dia sudah besar jadi pasti bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Aku cuma ingin menekankan saja jika perbuatannya itu memanglah salah.
"Salah," suara Dika hampir menghilang.
"Papa nggak marahin kamu lo nak. Cuma sebelum kamu memutuskan sesuatu, kamu harus bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah," aku mengusap kepalanya, "kamu sudah SMP, kamu bukan anak kecil lagi."
"Aku masih kecil," kata Dika dengan suara lirih.
Aku terkekeh.
"Kata siapa hahaha..."
"Kata orang-orang."
"Adikmu itu yang masih kecil, kamu sudah besar. Kamu harus jadi contoh buat adikmu. Kamu mau adikmu menyontoh sikap burukmu?"
"Nggak! Erin nggak boleh kebanyakan main game. Nanti matanya rusak."
Tuk...
Aku menyentil dahinya.
"Bukan itu yang papa maksud...ah sudahlah! Gimana kalau nanti sore kita jalan-jalan ke mall? Sudah lama kan kita nggak ngemall?!"
Mata Dika nambak berbinar-binar.
Ha ha ha...
Sejak Vina mengandung anak ke dua dan mengalami pendarahan karena adanya plasenta previa, kami tidak pernah keluar rumah bersama bahkan untuk sekedar cuci mata. Apalagi setelah Erin lahir, perhatian kami lebih banyak tercurah ke Erin. Mungkin itu yang membuat Dika mencari kesenangan lain lewat dunia game dan mulai memakai uang untuk game yang seharusnya untuk membayar biaya sekolah.
Ya... Kalau mertua tau aku nanti mengajak keluarga ke mall pasti akan mengomel. Karena Erin masih kecil. Tapi...satu kali saja, rasanya nggak akan ada masalah.
Iya kan?