Chereads / WARNA HIDUP / Chapter 7 - 7

Chapter 7 - 7

~ Author Pov ~

Nathan terlihat sedang menyiapkan tas yang akan di bawa Jemmy ke kantor pusat. Isinya baju ganti dan beberapa berkas kantor yang Jemmy bawa pulang untuk persiapan presentasi di depan bos besar.

"Nanti kamu pulang nggak?" tanya Nathan sambil memasukkan power bank ke dalam tas Jemmy.

Nathan yang bekerja di cafe hari ini sedang libur. Rencananya berduaan dengan Jemmy langsung hancur saat tau Jemmy ada rapat besar.

"Yang pasti aku pulang malam. Jadi kemungkinan bisa aku nginep di kantor pusat," sahut Jemmy tanpa menatap Nathan.

Nathan bersandar di dinding dan memperhatikan Jemmy yang sibuk mencari sepatunya. Dia ingin bertanya ke Jemmy tentang Awi. Tapi pertanyaan itu selalu gagal dia tanyakan. Alasan yang paling kuat karena dia...takut.

Saat semua sudah siap, Jemmy mengecup bibir Nathan sekilas. Tapi Nathan meraih kepala Jemmy dan kembali menciumnya. Dia menyelipkan lidahnya ke bibir Jemmy dan membawa Jemmy pada ciuman yang dalam. Jemmy meletakkan tasnya. Dia juga memegang kepala Nathan dan semakin memperdalam ciumannya. Sampai mereka berdua terengah barulah mereka mengakhiri ciuman itu.

Nathan terus menatap Jemmy.

"Jangan menggodaku..." desis Jemmy sambil membelai pipi Nathan.

Jemmy merasakan adik kecilnya memberontak di bawah sana.

"Tapi aku ingin menggodamu," sahut Nathan sebelum mempersempit lagi jarak di antara mereka.

Mereka kembali bercumbu.

Tangan Jemmy kini memegang pinggang Nathan yang ramping. Karena gatal...akhirnya tangan itu semakin turun kebawah lalu masuk ke dalam celana pendek Nathan dan meremas dua bongkahan kenyal di bawah sana.

Nafas Nathan memburu. Matanya memanas. Dia mengakhiri ciuman panas itu. Saat berciuman dia membayangkan sesuatu yang seharusnya tidak dia pikirkan. Dia menunduk mengambil tas dan menyodorkan tas itu pada Jemmy. Dia tidak bisa menatap Jemmy.

"Buruan, nanti telat," katanya sambil memutar tubuh Jemmy dan mendorongnya keluar pintu.

Mau tak mau Jemmy meninggalkan apartemennya. Dia juga takut kalau sampai terlambat rapat.

Untuk beberapa saat Nathan hanya berdiri menatap pintu yang sudah tertutup. Ada genangan air di kedua matanya. Air itu perlahan-lahan jatuh menuruni pipinya. Nathan langsung mengusap air itu. Dia mengambil nafas dalam-dalam.

"Aku...tolol..." desis Nathan sambil memegang kepalanya.

Dia mengkhawatirkan sesuatu yang belum jelas kebenarannya.

Akhirnya untuk mengusir kegelisahan di hatinya, Nathan memilih untuk membersihkan apartemennya.

~ Awi Pov ~

Rapat kali ini berjalan luar biasa hebohnya. Sedikit kacau saat ada kacab yang di pecat secara terbuka karena alasan yang simple. Terlambat. Bos besar marah karena di rapat yang penting dia terlambat datang. Tanpa ba bi bu be bo, dia menyuruh kacab itu untuk mengundurkan diri. Ya masih bisa di bilang beruntung karena dia masih disuruh menulis surat pengunduran diri. Pak Jemmy juga kena santap bos besar. Karena penjualan di tempat kami yang paling mengerikan daripada di tempat lain. Tapi dengan mulut manis pak Jemmy, kami bisa sedikit bernafas lega.

Pak Jemmy terlihat berjalan masuk ke ruangan yang kami pinjam.

Malam ini, banyak di antara kami yang memutuskan untuk menginap di kantor pusat. Karena rapatnya baru selesai jam dua pagi. Seperti kerja rodi. Gaji tidak seberapa tapi pekerjaan yang kami tanggung sangat berat.

Begitu juga dengan pak Jemmy yang terlihat kelelahan. Aku yakin beban pikirannya sangat banyak. Saat dia pertama kali memegang wilayah kami, dia datang dengan segar bugar. Tapi baru sebulan, dia sudah hampir sama seperti kami. Aku kira dia dulu adalah anak manja yang hanya menggantungkan nasibnya pada bos besar. Tapi saat melihat bos besar juga marah padanya, aku yakin hidupnya tidak semudah yang kami pikirkan dulu.

Pak Jemmy duduk di salah satu sofa panjang lalu merebahkan dirinya di sana.

Aku tidak tau bagaimana mengatakannya. Tapi dia orang yang...luar biasa.

"Kamu kenapa melihat pak Jemmy seperti itu?!" Dini menyodorkan segelas air padaku.

Aku tersenyum.

"Dia luar biasa," kataku pelan sambil menerima gelas itu.

"Aku setuju. Penilaianku tentangnya sudah berubah," sahut Dini.

Dini menyesap minumannya sebelum berbisik padaku, "kalau aku belum punya suami dan anak, aku pasti sudah mengejarnya sampai dapat."

"BROOO...." kami dikejutkan dengan suara Bowo yang menggelegar.

Dia masuk dengan membawa sesuatu di kedua tangannya. Beberapa anak langsung menutup tirai dan pintu. Membuat kami yang di ruangan itu mengerti apa maksudnya.

Ya...dia membawa minuman keras.

Aku melihat pak Jemmy yang terlihat tertarik dengan minuman yang di bawa Bowo.

"Setelah menempuh pertarungan yang panjang dan melelahkan, hanya ini yang bisa membuat hati tenang...Yaaay...!!" Bowo kelihatan heboh.

Dalam sekejap dia sudah di kerumuni anak-anak yang membawa gelas. Setidaknya seperti inilah kebiasaan kami setelah rapat besar. Aku tidak melihat Dini. Mungkin dia langsung keluar ruangan saat Bowo membawa minuman keras. Sangat tidak baik jika ada wanita di tempat ini. Apalagi dia sudah bersuami.

Kami benar-benar bersenang-senang. Banyak yang sudah tepar. Aku sangat kasihan pada Tommy yang menjadi target keusilan anak-anak. Dia itu yang paling muda di antara kami. Masih polos dan belum tau apa-apa. Dia dicekokin minuman keras tanpa henti. Dan kini si Tommy sudah terkapar di lantai. Yang lain tidur di sofa dan ada yang sudah meninggalkan ruangan. Pak Jemmy juga minum lumayan banyak. Dia tergeletak di sofa.

Aku tadi juga minum tapi cuma satu gelas besar. Sedikit pusing, dan mulutku rasanya kelu. Tadi antara sadar nggak sadar mulutku mulai melantur. Menceritakan sesuatu yang seharusnya tidak aku ceritakan. Kalau aku minum lagi, wah...aku nggak tau bagaimana nasibku nanti. Karena aku juga baru kali ini ikut minum. Biasanya aku menolak. Tapi karena tadi aku kalah taruhan...ya terpaksa.

Hmm...

Aku merogoh kantong celanaku. Mencari kunci mobil, tapi tidak ada. Aku mencari di antara tempat duduk.

"Don, minggir! Kunci mobilku di situ nggak?!" aku mengguncang tubuh besar Doni yang tengkurap di sofa.

"Hnn..." sahut Doni tanpa bergerak sedikit pun.

Tanganku merogoh sofa demi sofa tapi nihil. Tinggal satu sofa yang belum aku lihat. Sofa yang di pakai pak Jemmy.

"Pak..." panggilku pelan.

Tak ada respon.

Aku menggaruk kepalaku.

Kalau seperti ini, aku tidak bisa pulang. Jam sudah menunjukkan jam lima pagi.

"Pak...kunci mobil saya ada di situ nggak?"

Tetap tidak ada respon.

Puk...puk...

Aku menepuk-nepuk bahu pak Jemmy beberapa kali.

Mata pak Jemmy akhirnya mulai terbuka. Tapi tertutup lagi dan kembali terbuka.

"Pak..."

Sreeettt....

Tiba-tiba pak Jemmy menarik tanganku. Saat aku belum bisa berfikir, bibir pak Jemmy sudah menempel di bibirku.

Huh?