~ Author Pov ~
Jemmy bersiul-siul saat memasuki apartemennya. Dia meletakkan tasnya di lantai lalu berjalan mendekati kamar mandi. Di sana terlihat Nathan yang sedang mandi dengan guyuran air hangat dari shower. Tetesan air dari shower seperti tetesan air hujan. Jemmy bersandar pada pintu yang terbuka. Nathan yang tahu jika Jemmy sudah pulang, hanya melihatnya sekilas. Sekarang Nathan memilih diam sambil terus melanjutkan menggosok tubuhnya. Nathan tetap menghadap ke dinding sambil membelakangi Jemmy. Wajah bahagia Jemmy yang terus terpancar di wajahnya saat pulang dari tempat kerja sangat mengganggunya.
Nathan ingin bertanya tentang Awi, tapi setiap kali ingin bertanya yang keluar dari bibirnya adalah kata-kata yang lain. Rasa cemburu membuatnya tersiksa. Perlahan-lahan rasa cemburu itu menyakiti hatinya seperti teriris oleh pisau tumpul.
Tangan Jemmy yang menyentuh punggung Nathan dan membuat Nathan tersentak kaget.
"Jem..." desis Nathan.
Nathan menengok ke belakang dan Jemmy sudah ikut basah kuyup oleh air.
Jemmy tidak berkata apa-apa, tapi kecupannya di tengkuk Nathan membuat Nathan terdiam. Dia bisa melihat jika celana yang di pakai Jemmy sudah menggelembung.
Jemmy mengecup beberapa kali tengkuk Nathan, lalu turun ke punggungnya dan berakhir di bongkahan pantatnya. Jemmy menggigit gemas pantat itu membuat Nathan terkejut.
"Hei!!!" Nathan mendorong kepala Jemmy.
Tapi Jemmy hanya menatap Nathan dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Jari jemari Nathan mengecilkan kucuran air yang keluar. Jemmy terlihat sudah meloloskan diri dari pakaian yang dia kenakan. Kini mereka berdua sama-sama polos tanpa sehelai benang. Jemmy mengambil dua kondom yang tersimpan di rak wastafel, dia memakai satu di dua jarinya dan satu lagi di kejantanannya. Dia memasukkan jarinya ke lubang milik Nathan. Nathan sedikit manahan nafas. Cukup lama Jemmy bermain-main di bawah sana dengan jari-jarinya. Dan akhirnya dia memasukkan kejantanannya pada lubang Nathan. Gerakan Jemmy nampak berirama. Pelan dan menghanyutkan.
"Hhhnnn..." desahan demi desahan terurai dari bibir Nathan.
Hatinya memang pedih tapi rasa nikmat tidak bisa dia tepis.
Jemmy terus memggoyangkan pinggulnya. Tangan kanannya mencoba memberi rangsanganĀ pada kejantanan Nathan. Saat Nathan sedikit membungkuk, Jemmy menjelajahi punggung Nathan dengan kedua matanya. Sangat berbeda dengan kulit sawo matang Awi. Nathan memiliki tubuh yang putih dan mulus. Tapi kini yang terbayang di mata Jemmy adalah sosok Awi. Dia membayangkan Awi ada di posisi Nathan. Nafas Jemmy semakin berat. Dia membayangkan Awi yang telanjang di depannya. Jemmy juga membayangkan Awi yang mengerang karena kejantanannya.
"Hhaaahh..." Jemmy menghela nafas.
Matanya terpejam. Dia mendekatkan wajahnya pada punggung Nathan, menjulurkan lidahnya lalu menyapu punggung hingga leher Nathan dengan daging yang tidak bertulang itu.
Mata Nathan melebar. Dia terkejut dengan tingkah laku tidak biasa dari Jemmy. Tapi mulutnya tetap terkunci. Saat Jemmy mempercepat gerakannya dan menanamkan dalam-dalam kejantanannya, Nathan terus bertanya-tanya dalam hatinya.
'Siapa yang kamu pikirkan saat ini? Dengan siapa kamu berhubungan badan?'
~ Awi Pov ~
"Pa...ayo bikin sesuatu," kata Dika saat aku sedang menjaga Erin.
"Bikin apa?" tanyaku.
Aku masih menggerakkan mainan untuk Erin. Anak itu terlihat senang. Dia menendang-nendang dengan kaki mungilnya. Aku tersenyum. Ini adalah pertama kalinya aku bermain dengan Erin setelah kejadian yang aku lakukan bersama pak Jemmy. Entah kenapa aku merasa tidak pantas mendekati ke dua anakku terutama istriku.
Dika duduk di tepi tempat tidur.
"Papa kan dulu pernah bilang mau bikinin rumah pohon."
Ah...iya. Aku pernah bilang begitu dulu.
"Kapan-kapan aja ya Dik," sahutku.
"Kok gituuuu??" seru Dika.
"Papa belum beli bahan-bahannya. Kan harus beli papan, paku dan lainnya juga," kataku.
Dika nampak marah. Dia pergi meninggalkanku dengan menggerutu.
"Ada apa sih?" tanya Vina yang baru berpapasan saat Dika yang keluar dari kamar.
"Dia menagih janjiku untuk membuat rumah pohon," sahutku.
Dibelakang rumahku ada pohon yang sangat besar, tapi aku takut tidak bisa bertahan jika aku membuat rumah kecil di sana. Kemungkinan aku membuat rumah di bawah saja.
"Erin badannya hangat pa tadi. Tapi sudah aku beri penurun panas sih, sudah baikan," kata Vina.
Vina menempelkan pipinya ke pipi Erin.
"Kalau besok tidak sembuh juga kita bawa saja ke dokter," kataku.
Rasa bersalah menyusup lagi ke dalam hatiku. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Melihat Vina yang begitu memperhatikan keluarga, sedangkan aku...
Mataku melebar saat Vina menatap ke arahku tajam.
Ketahuan????
Dia diam saja sambil menatapku. Lalu dia mengambil sandalnya dan...
PLAAAKKK!!!!
Dia memukul dinding dengan keras.
Aku membeku.
"Jangan bilang..." kata-kataku terputus saat Vina mengambil tissue lalu membersihkan sesuatu tak jauh dari tempatku.
Bibirnya tersenyum sambil memperlihatkan bangkai kecoa itu padaku. Aku langsung menjauh dengan perasaan was was. Dan kini dia tertawa kencang. Tangannya masih memegang benda menjijikkan itu.
"BUANG!! BUANG BUANG!!!" teriakku geli.
Aku bukan takut tapi geli. Kecoa adalah makhluk yang sangat menjijikkan di dunia ini.
"Apaan sih, laki kok takut sama kecoa. Gimana coba??" kata Vina menggodaku.
Aku mendengus saat Vina keluar dari kamar.
Aku hampir lupa kalau dia wanita yang kuat dan tidak takut apapun. Waktu sekolah, dia itu salah satu murid yang bermasalah. Dia sudah berkali-kali keluar masuk ruang BP. Cewek tomboy yang pernah menghajar kakak kelas sampai menangis. Tapi dia memiliki sisi yang lembut saat dia beranjak dewasa.
Aku berjalan menyusul Vina. Dia terlihat sedang cuci tangan.
Vina duluan yang mendekatiku dulu. Dia bilang aku manis dan imut. Dia datang ke kelasku setiap hari saat jam istirahat. Memandangku dari jarak dekat dan selalu mengekoriku. Dia tegas tapi juga seseorang yang pengertian. Dia kasar tapi juga bisa menjadi orang yang paling lembut. Dia mirip pak Jemmy yang tegas dan pengertian.
Tidak...
Pak Jemmy lah yang mirip dengan Vina.
Aku sudah mengkhianati Vina. Kalau Vina tahu...apa Vina akan sakit hati?
Aku menelan ludah.
Apa sih yang aku pikirkan?!
Tentu saja dia akan sakit hati.
Tanganku melingkar di pinggangnya. Menempelkan kepalaku pada pundak kanannya.
"Kenapa pa?" tanya Vina.
Dia sudah selesai mencuci tangannya. Tapi dia tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya.
Maafkan aku... Maafkan aku...
"Kamu ada masalah di kantor? Belakangan ini sikapmu aneh," Vina masih mencoba mencari tau.
Jantungku berdetak cepat. Aku ingin jujur tapi terlalu takut. Aku takut jika itu nanti menyakitinya.
"Kalau ada masalah bilang ya. Jangan ditanggung sendirian," kata Vina lagi.
Maafkan aku... Benar-benar... Maafkan aku.
Vina berbalik dan menatapku.
"Ada apa?" tanya Vina yang masih mendapat kebisuanku.
Aku hanya mendekatkan wajahku padanya dan mencium bibirnya. Bibir yang pernah mencium orang lain kini menciumnya.
Aku ini benar-benar...
Suami yang buruk.