~ Author Pov ~
Nathan tersenyum saat memperhatikan Jemmy yang tertidur lelap. Jemmy tidur dengan memeluk Nathan dengan sangat erat. Sampai Nathan harus memindah lengan Jammy yang ada di pinggangnya. Mereka baru saja meraih nikmatnya dunia. Kali ini Jemmy bermain dengan sangat ganas. Dia bahkan meninggalkan banyak bercak merah di tubuh Nathan.
"Aduh...badanku," desis Nathan saat turun dari tempat tidur dan merasakan pegal di kedua pahanya, "kayaknya aku kurang olah raga deh. Masa gini aja capek."
Dengan tubuh polosnya dia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia terdiam sejenak saat melihat pantulan dirinya di depan kaca. Dadanya penuh dengan tanda kemerahan dan itu membuatnya malu.
"Dia itu vampir atau apa sih?!" desisnya.
Tangan Nathan memutar kran air dan membuat air hangat dari shower mengalir mambasahi dirinya. Saat Nathan sibuk dengan acara berbersih diri, Jemmy terganggu dengan suara panggilan lewat Handphonenya.
Dia bergerak malas untuk meraih hp yang ada di atas meja. Tubuhnya juga sama bugilnya dengan Nathan. Yang membuat perbedaan adalah volume tubuh mereka.
Jemmy menatap layar hpnya. Dia terdiam sesaat menatap layar yang menampilkan nama Awi. Dia menggigit bibir bawahnya. Melihat ke arah kamar mandi dan kembali melihat ke layar hp yang masih menyala. Jemmy menghela nafas lalu kembali melihat kamar mandi sebelum menerima panggilan telfon itu.
"Hallo," Jemmy angkat suara.
Terdengar hening sesaat di seberang sana sebelum terdengar suara yang khas di telinga Jemmy.
"Pak, besok dan lusa saya izin cuti," kata Awi diseberang sana meminta izin.
"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Jemmy yang mengingat kejadian sore tadi.
Awi pergi dengan sedikit tergesa.
"Anak saya masuk rumah sakit jadi saya mau menjaganya," sahut Awi pelan.
Kedua mata Jemmy berkedip.
"Ah...sakit apa? Kok sampai opnam?" tanya Jemmy.
"Infeksi bakteri pak," jawab Awi.
Mulut Jemmy sedikit terbuka mendengar jawaban Awi.
"Yaudah kamu bisa ambil cuti. Lebih dari dua hari juga nggak masalah," kata Jemmy.
"Iya pak. Terima kasih," sahut Awi cepat.
...
...
Kini kembali hening.
Jemmy ingin mengatakan sesuatu tapi dia masih menahannya.
"Pak...besok...apa saya bisa bertemu sebentar dengan bapak?" tanya Awi setelah lama membisu.
Dada Jemmy sedikit bergetar. Dia juga ingin memperjelas sesuatu tapi...
"Kita lihat besok gimana? Aku juga nggak tau ada apa besok di kantor," sahut Jemmy, "kalau besok ada waktu luang, aku pasti menghubungimu."
"Iya pak. Terima kasih pak kalau gitu," sahut Awi.
Dan mereka pun mengakhiri panggilan itu. Saat Jemmy memutar tubuhnya dia sangat terkejut karena Nathan sudah berdiri di belakangnya. Dada Jemmy seperti di remas karena kaget.
"Siapa?" tanya Nathan dengan suara datar.
Itu membuat Jemmy mengalami keringat dingin dalam waktu singkat.
"Awi," sahut Jemmy tanpa berani menatap Nathan.
"Kenapa dia telfon? Ini sudah tengah malam," suara Nathan membuat Jemmy tidak nyaman.
"Dia mau ambil cuti karena anaknya sakit," jawab Jemmy cepat.
Lalu terjadi keheningan yang ganjil di antara mereka. Jemmy masih tidak berani menatap Nathan. Ada rasa bersalah yang menghantuinya.
"Terus?" tanya Nathan.
"..."
"Teruuuss???" Nathan kembali bertanya dengan tidak sabar.
"Dia ngajak ketemuan," sahut Jemmy dengan suara lirih.
Dan kembali terjadi keheningan.
Nathan menghela nafas beberapa kali. Dia berusaha menguatkan hatinya tapi rasa kesal dan rasa cemburu menyiksa batinnya.
"Kamu....mau ketemu sama dia?" tanya Nathan dengan suara yang sedikit bergetar.
"Kalau kamu keberatan, aku nggak akan ketemuan sama dia," jawab Jemmy cepat sampai membuat Nathan tertawa, "apa ada yang lucu?"
Wajah Jemmy sedikit menghangat karena malu. Nathan tersenyum saat melihat ekspresi di wajah kekasihnya itu. Dia masih merasa kesal, tapi dia berusaha untuk berfikir dengan tenang.
"Nggak. Nggak ada yang lucu, aku cuma...hahaha...aku senang kamu seperti ini. Imut aja sih," kata Nathan.
Jemmy mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Nathan kini tersenyum sambil berjalan mendekati Jemmy. Tangannya melingkar di pinggang Jemmy.
"Nggak apa-apa. Temui saja dia. Mungkin dia sedang ada masalah. Atau...ada sesuatu yang penting untuk dibahas," kata Nathan dengan suara lirih.
Sejujurnya Nathan tidak ingin mereka berdua bertemu. Tapi Nathan sadar jika itu tidak mungkin. Jika Jemmy tidak menemuinya besok, mereka berdua pasti bertemu di tempat kerja.
Jemmy mengecup pucuk kepala Nathan. Hatinya langsung lega dan seakan beban berat terangkat dari pundaknya.
"Terima kasih," kata Jemmy pelan, "karena sudah kembali percaya padaku."
Nathan mempererat pelukannya. Jemmy juga melingkarkan tangannya pada Nathan.
~ Awi Pov ~
Erin masih menangis. Tangisannya membuat aku dan Vina tidak bisa tidur semalaman. Di susuin pun dia menolak, di kasih susu formula juga dikeluarkan lagi dari mulutnya. Kata dokter sih itu wajar, karena lidahnya terasa pahit mungkin dia nggak nafsu buat menyusu. Waktu aku lihat di lidahnya ada bintik-bintik berwarna putih. Badan Erin juga selalu hangat. Tidak sampai yang panas tinggi sih tapi kata dokter itu salah satu ciri-ciri dia terinfeksi bakteri. Dan kata dokter, dalam beberapa hari kondisinya pasti membaik.
Vina sudah kelihatan capek. Dia juga yang begadang menemani Erin. Sedangkan aku memang niatnya membantu tapi waktu telentang di tikar, aku langsung tertidur pulas. Kenapa kalau aku telentang sebentar pasti langsung tertidur. Udah gitu kata Vina aku ngorok.
"Nungguin siapa sih pa?" tanya Vina saat aku bolak balik ke depan kamar.
"Bosku ma," sahutku.
Tadi pagi pak Jemmy mengirim pesan padaku, katanya dia mau datang ke rumah sakit sekalian ngobrol katanya. Tapi ini sudah sore dan sosoknya belum terlihat.
"Duh gantengnya," terdengar suara ibu-ibu dari tempat tidur sebelah kiri anakku.
Kamar anakku ini di isi empat tempat tidur. Yang artinya ada empat pasien anak-anak di tempat ini. Dan yang menjaga pastilah ibu-ibu.
"Anak Erin apa di sini ya bu?"
Jantungku seperti di remas saat mendengar suara yang tidak asing.
Detaknya semakin meningkat saat dia membuka tirai dan menunjukkan wajahnya di depanku.
Wajahku menghangat saat melihat senyumannya tapi saat mendengar suara istriku, kesadaranku seperti di tarik ke dalam kenyataan. Rasa bersalah kembali menelanku dengan segala rasa yang terasa.
"Gimana keadaannya?" tanya pak Jemmy setelah berjabat tangan denganku dan istriku.
Vina menjelaskan kondisi Erin yang masih sama karena memang masih satu malam Erin di rawat. Setelah sedikit berbincang bincang dan memberi kue dan buah-buahan, aku dan pak Jemmy pergi ke kantin rumah sakit. Aku sudah membawa beberapa barang yang aku anggap penting.
Rasanya tidak nyaman saat kami harus berbicara di tempat ini. Tapi cuma ini satu-satunya tempat yang ada di sini. Lagipula aku tidak mau mengulur-ulur waktu lebih lama untuk berbicara dengannya.
Setelah kami memesan minuman dan makanan kami hanya duduk diam di kursi. Sibuk dengan hp masing-masing. Aku membalas pesan dan panggilan dari saudara yang menanyakan kondisi Erin. Entah bagaimana dengan pak Jemmy. Yang pasti kami terlihat sibuk sendiri-sendiri. Tidak ada yang mengawali percakapan sampai pesanan kami datang. Pak Jemmy memesan teh hangat dan nasi lele kremes. Sedangkan aku juga memesan makanan dan minuman yang sama dengannya.
Aku menghela nafas pelan dan rasanya sungguh membuatku tidak nyaman. Dari dalam kantong plastik aku mengeluarkan dua kotak lalu meletakkannya di depan pak Jemmy. Pak Jemmy langsung menatapku.
"Maaf pak, saya tidak bisa menerima pemberian bapak," kataku pelan, "jujur saja saya merasa ini tidak benar."
Aku terdiam dan pak Jemmy pun juga sama. Dia tidak mengatakan apapun padaku dan hanya menatap dua kotak yang ada di hadapannya. Membuatku semakin tidak nyaman dan was was.
"Maaf jam tangannya sudah beberapa kali saya pakai. Tapi hp nya belum saya buka dari kotaknya," kataku lagi.
Selain jam tangan, pak Jemmy juga memberiku sebuah handphone android yang lebih canggih daripada punyaku. Aku masih ingat dia meletakkan begitu saja di atas mejaku saat berjalan melewatiku. Untunglah saat itu kantor sedang kosong. Aku ingin mengembalikannya saat itu juga tapi tidak ada waktu yang tepat. Karena di kantor banyak orang dan saat keluar berdua, hp pemberiannya ketinggalan di rumah atau di laci meja kantorku. Saat aku sudah membawanya, aku selalu lupa memberikannya pada pak Jemmy, karena kalau kami hanya berduaan saja aku jadi lupa segalanya.
"Kamu nggak suka pemberianku?" tanya pak Jemmy.
"Saya suka tapi...saya tidak bisa menerimanya," sahutku pelan.
"Aku mengerti," sahut pak Jemmy setelah lama terdiam, "tapi kamu harus menerima jam tangannya. Karena ini kado saat kamu ulang tahun."
Aku tersenyum.
"Kalau bapak memaksa apa boleh buat tapi yang itu saya tidak bisa menerimanya," kataku sambil menunjuk kotak berisi hp.
"Sayang sekali. Padahal aku yakin kalau kamu membutuhkan ini. Hp mu sedikit rusak kan?! Kalau telfon suaramu putus nyambung dan itu benar-benar mengganggu."
Aku terkekeh dan kami kembali terdiam. Pak Jemmy menyeruput minumannya.
"Dan satu lagi...pak," aku kembali membuka mulutku, "tolong perlakukan saya sama seperti yang lainnya."
Kali ini aku menunduk. Aku menelan ludah saat tidak terdengar apapun dari mulut pak Jemmy.
"Seperti atasan dan bawahan pada umumnya," lanjutku.
Saat mengatakan itu rasanya ada yang membuatku tidak nyaman. Nafasku perlahan-lahan menjadi berat.
Aku memberanikan diri untuk menatap pak Jemmy.
"Bagaimana bisa a..." pak Jemmy tidak melanjutkan kata-katanya.
Dia melemparkan pandangannya ke arah lain sambil menghela nafas panjang beberapa kali. Dan kini dia kembali menatapku.
"Aku mengerti," kata pak Jemmy, "aku akan memperlakukanmu sama seperti yang lainnya. Dan...aku...tidak akan...menyentuhmu lagi."
Aku masih menatap pak Jemmy dan memaksakan sebuah senyuman di bibirku.
"Ya...memang seharusnya seperti itu," sahutku.
"Apa kamu merasa tidak nyaman denganku?" pertanyaan pak Jemmy hanya mendapatkan senyumanku.
Aku memilih untuk tidak mengatakan apapun.
~ Author Pov ~
Di kantin yang tidak terlalu ramai itu ada dua orang yang duduk berhadap-hadapan sambil menikmati makanan mereka masing-masing. Tidak ada percakapan yang terjadi saat mereka bersantap ria. Hanya terdengar obrolan dari meja lain. Setelah makanpun mereka masih dalam suasana yang sama. Hening tanpa ada yang mengucapkan sepatah katapun.
"Aku sepertinya harus kembali," akhirnya Jemmy mengucapkan sebuah kata-kata.
"Iya pak. Terima kasih sudah datang dan...berbicara dengan saya," Awi menyodorkan kantong plastik berisi kotak hp.
Awi lupa di mana dia meletakkan kantong untuk hpnya. Tiba-tiba raib begitu saja. Untung saja hpnya tidak ikut raib.
"Wi..." panggilan Jemmy setelah menerima kantong itu membuat Awi menatapnya, "apa aku pernah ada di hatimu?"
Kali ini Awi tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya. Entah apa yang dipikirkan Awi saat ini, bahkan Jemmy pun tidak berani menebaknya. Hanya saja, tanpa Awi membuka mulutnya Jemmy sudah tahu seperti apa jawabannya.
"Apa bapak yakin ingin tahu jawabannya?" Awi kembali bertanya lirih.
Jemmy tersenyum biarpun senyumnya terasa pahit. Wajah Nathan membayang di ingatannya. Kemudian dia menggeleng pelan.
"Tidak usah," sahut Jemmy, "kamu tidak perlu menjawabnya."
Mereka berdua tahu jika jawaban itu meluncur dari bibir Awi, mereka berdua tidak mungkin bisa kembali seperti sedia kala. Tidak mungkin bisa kembali menjadi atasan dan bawahan seperti pada umumnya.
Awi menundukkan kepalanya dan Jemmy menghela nafas panjang.
"Tolong titip salam untuk istrimu. Sepertinya aku tidak bisa berpamitan dengannya," kata Jemmy yang melihat layar hpnya untuk mengintip jam.
"Iya pak. Nanti saya sampaikan," sahut Awi cepat.
Setelah memeriksa kantong celana untuk memastikan kunci mobil, Jemmy beranjak dari duduknya. Tapi baru satu langkah saja, dia sudah berhenti. Saat dia ingin memutar tubuhnya untuk menatap Awi, dia langsung mengurungkan niatnya. Kakinya kembali melangkah pergi.
Awi masih duduk di tempatnya. Dia menatap kotak berisi jam tangan. Akhirnya dia menghela nafas. Berat. Beberapa kali dia terus menghela nafas. Tapi perasaannya tidak kunjung membaik.
"Sejak kapan? Sejak kapan aku..." desis Awi pelan untuk dirinya sendiri, "sebenarnya dimulai sejak kapan..."
Saat Awi dihinggapi perasaan yang tidak menentu, Jemmy sudah hampir sampai di depan mobilnya. Saat dia melewati tong sampah, dia menyodorkan tangannya yang memegang kantong berisi hp. Beberapa saat dia hanya terdiam dengan posisi yang sama. Tapi pada akhinya dia membuka bagasi mobil dan meletakkan hp itu di sana. Dia tidak sampai hati membuang benda yang pernah dia berikan pada Awi.
Akhirnya Jemmy masuk ke dalam mobil, tapi dia hanya duduk diam di sana. Lengannya menyilang memegang kemudi lalu menempelkan dahinya di sana.
"Sial," desisnya.