~ Author Pov ~
Hp Jemmy berdering. Nada panggilannya adalah suara imut sepenggal lagu dari jepang. Itu hanyalah untuk satu orang. Nathan. Dia menelfon dari apartemen dengan hati yang tidak menentu. Sejak pagi Nathan terus menatap jam dinding dan hpnya secara bergantian hanya untuk menunggu panggilan dari Jemmy. Tiap detik sungguh membuatnya tersiksa. Dia sudah bersabar dan menunggu Jemmy yang menghubunginya tapi nyatanya sampai matahari tenggelam tak ada panggilan masuk.
Nafas Nathan terasa berat. Dia juga sudah mondar mandir kesana kemari untuk menghilangkan pikiran negatifnya. Tapi nampaknya itu tidak berhasil.
Saat pintu apartemennya terbuka, nafasnya terasa tercekat. Dia menatap takut dan was was ke arah pintu yang terbuka. Jemmy muncul dengan senyum sehangat matahari. Di tangannya membawa kantong plastik berisi makanan. Ada minuman keras juga di dalamnya.
Nathan langsung memeluk Jemmy.
"Kamu kenapa?" tanya Jemmy yang terhuyung karena dorongan tubuh Nathan.
Jemmy meletakkan belanjaannya di lantai lalu memeluk Nathan.
"Kenapa??" tanya Jemmy lagi sambil tersenyum.
Saat seperti ini yang membuat Nathan terlihat imut dan menggemaskan. Tangan Jemmy mengelus kepala Nathan. Warna rambut Nathan mulai pudar. Sudah banyak warna hitam yang terlihat.
"Kamu lama. Nggak ada kabar juga," kata Nathan yang masih memeluk Jemmy.
"Aku tadi sibuk. Terus pulang kerja belanja kebutuhan sehari-hari," sahut Jemmy.
Nathan menatap Jemmy dengan kesal.
"Seharusnya kamu tetap menghubungiku," protes Nathan.
"Iya iya sayang. Sorry...nggak keulang lagi deh," kata Jemmy sambil terkekeh.
"Kamu belanja apa sih?" tanya Nathan yang kini beralih pada kantong plastik besar yang ada di atas lantai.
"Banyak. Aku juga beli pewarna rambut untukmu," kata Jemmy sambil memegang ujung rambut Nathan.
"Bantuin ya," kata Nathan yang mendapat anggukan kepala Jemmy.
Sebenarnya bukan itu yang ingin di tanyakan Nathan, tapi rasa takut itu kembali. Jemmy tahu itu dan dia tersenyum samar.
"Awi..." baru saja Jemmy menyebut nama Awi, Nathan langsung menatapnya.
Tangan Nathan mendingin dan hatinya kembali tidak tenang.
Kini Nathan menundukkan kepalanya.
"Aku sudah mengakhirinya," kata Jemmy pelan.
Dada Nathan seolah berdesir. Ada perasaan lega disana dan bercampur dengan rasa haru.
"Benarkah?" tanya Nathan untuk memastikan.
Dia menggenggam tangan Jemmy. Jemmy kembali tersenyum. Tangan Jemmy yang bebas menyapu pipi Nathan.
"Iya. Maaf sudah membuatmu khawatir. Aku tidak bisa melihatmu sedih lagi. Maaf... Aku benar-benar bodoh," kata Jemmy pelan.
Wajah Nathan menghangat. Dia ingin sekali menangis saat ini juga tapi dia berusaha menahan air mata harunya itu.
"Jangan pernah diulangi lagi," kata Nathan.
"Iya," sahut Jemmy pelan.
"Jangan pernah mencoba menggoda laki-laki lain," kata Nathan lagi.
"Iya," sahut Jemmy.
"Jangan menyentuh tubuh orang lain selain aku," kata Nathan dengan penuh penekanan di setiap katanya.
"Siap," sahut Jemmy.
"Jangan pernah memberi apapun pada orang lain baik itu hadiah ataupun kado," kata Nathan saat ingat Jemmy memberi kado kepada Awi.
Itu membuatnya cemburu.
"Itu sih..."
"Hheeemmm??!!!"
"Oke aku nggak akan memberi kado ke orang lain lagi."
"Jangan coba-coba bermain di belakangku lagi."
"Aku berjanji."
"Jangan pernah memberi hatimu pada orang lain," kata Nathan lirih, "Jangan pernah biarpun cuma secuil."
Jemmy terdiam. Nathan pun ikut terdiam. Tanda ada penjelasan mendetail mereka berdua tahu bahwa ada ruang kecil di hati Jemmy yang sudah terisi oleh orang lain selain Nathan. Nathan memeluk Jemmy erat seakan takut jika dia menghilang dari sisinya.
Jemmy juga mempererat pelukannya.
~ Awi Pov ~
Hari ini Erin boleh pulang ke rumah dan melanjutkan rawat jalan. Dia sudah kembali seperti Erin yang dulu. Yang penuh senyum dan sudah mau minum susu. Dika langsung memeluk Erin saat mereka bertemu. Aku melarang Dika ke rumah sakit karena rumah sakit bukan tempat yang perlu di kunjungi oleh anak kecil.
"Papa mau kemana?" tanya Dika saat melihatku mengganti bajuku.
"Kerja sayang," sahutku.
"Kok udah kerja sih pa? Erin baru pulang. Harusnya papa di rumah aja," kata Dika meluncurkan protes.
"Nggak bisa nak. Papa banyak pekerjaan di kantor. Sudah beberapa hari papa nggak masuk," sahutku menjelaskan.
"Tapi kan...."
Aku menghela nafas lalu mendekati Dika yang mulai terlihat marah.
"Kerjaan papa lebih penting dari aku ya? Setiap hari yang dipikirin papa tuh kerjaan. Terus kapan punya waktu buat aku sama Erin. Sampai Erin sakit pun papa masih sibuk kerja," seru Dika kesal.
Aku menggigit bibir bawahku. Itu semua salahku sampai seorang anak seperti Dika mempunyai pikiran seperti itu. Dan yang lebih membuatku tidak enak hati adalah saat Vina sibuk dengan Erin yang sakit, aku sedang bercumbu dengan seorang pria.
Aku benar-benar bodoh.
"Kalau Erin sudah benar-benar sembuh, papa ajak kalian ke luar kota, kita liburan. Gimana?" tanyaku.
Dika nampak antusias. Dia menatapku dengan semangat.
"Yakin pa?" tanya Dika memastikan.
Aku menggangguk.
"Nggak bohong kan?" tanya Dika lagi.
"Nggak nak," sahutku.
Senyum lebar Dika terlihat.
Akhirnya aku bisa pergi ke kantor dengan perasaan lega.
Aku harus bisa memutuskan sesuatu dengan benar kali ini. Keluargaku adalah yang utama. Aku akan belajar memulainya lagi dari awal. Menata hatiku dengan benar. Mengembalikan semuanya seperti semula. Mungkin tidak akan mudah tapi aku sudah bertekat. Aku tidak akan menjadi laki-laki bodoh lagi yang tergiur hawa nafsu.
Hpku bergetar. Nama pak Jemmy tertera di sana.
"Ya pak gimana?"
'Dimana kamu?'
"Saya di jalan pak."
'Nanti sebelum ke kantor kamu mampir tokonya pak Sam ya.'
"Kenapa? Nagih?"
'Iyalah Wi. Sama nanti kamu urus faktur yang tertunda bisa kan?'
"Bisa pak."
'Ya udah gitu aja.'
"Ya pak."
Telfon kamipun terputus. Aku menghela nafas. Menurunkan kaca jendela sampai angin masuk ke dalam mobil. Tanganku mengambil sesuatu di samping pintu mobil. Satu butir permen mint aku masukkan kedalam mulutku.
Manis.
Kakiku menginjak pedal gas sedikit lebih dalam dan membuat mobilku melaju dengan cepat.
...Tamat...