~ Author Pov ~
"Pak..." Awi berusaha menjauh dari Jemmy yang terus menjamah tubuhnya.
Tangan Jemmy kini sudah ada di tengkuk Awi. Membuat wajah Awi menghangat. Tapi Awi masih menolak Jemmy dengan berusaha menjauh darinya. Awi juga mencoba menjauhkan tangan Jemmy dari tubuhnya.
Awi menelan ludah saat Jemmy mencium ujung hidungnya. Bau segar mint langsung tercium. Awi masih menghindari sentuhan Jemmy. Tapi sepertinya Jemmy tidak mendengar kata-kata Awi sedikitpun. Kini Jemmy semakin berani menyentuh Awi. Dia mencium bibir Awi bagai orang yang haus akan ciuman.
"Pak...mmhh.."
Awi masih berusaha mendorong tubuh Jemmy tapi nampaknya setiap usahanya tidak ada ketegasan.
Jemmy semakin memperdalam ciumanannya dengan memasukkan lidahnya ke dalam mulut Awi.
Kini Awi terdiam.
Awi bersandar pada dinding. Menerima setiap kecupan demi kecupan. Tangan Jemmy semakin berani dengan mulai membuka kancing kemeja Awi satu demi satu. Awi terlihat memejamkan kedua matanya saat kecupan Jemmy dengan perlahan turun ke dadanya. Jilatan lidah Jemmy pada puting Awi membuat Awi tersentak kaget.
"Paak..."
Jemmy kembali mengecup bibir Awi saat tangan kanannya menyentuh sesuatu yang membumbung di bawah sana. Jemmy menurunkan perlahan releting Awi. Awi menahan nafas. Tegang, panik, takut dan perasaan yang sulit dijelaskan membuat Awi tidak bisa berfikir dengan cepat.
Tiba-tiba saja tangan dingin Jemmy sudah terasa di kulitnya. Celana dalam dan celana panjang Awi nampak turun sepinggul. Tubuh Awi bergetar. Keringat dingin Awi rasakan di ruangan berAC itu. Awi langsung mencengkeram lengan Jemmy kuat-kuat dan saat Jemmy menatapnya, Awi menggeleng pelan. Mata Jemmy melebar saat melihat ekspresi wajah Awi yang terlihat seperti ingin menangis. Tatapan matanya dipenuhi oleh kesedihan.
Seakan menyadari sesuatu yang akan berakibat fatal, Jemmy langsung menarik diri.
Kini Awi nampak terduduk lemas di lantai yang dingin. Hasratnya hilang bersama munculnya rasa takut yang menghantuinya secara tiba-tiba. Saat tangan Jemmy menyentuh miliknya, yang ada dibenaknya saat itu adalah wajah Vina yang sedang menangis.
"Maafkan saya pak," kata Awi pelan dan hampir tak terdengar.
Jemmy menyipitkan kedua matanya. Nampak tak setuju dengan kata-kata Awi.
"Bukan kamu tapi aku yang harus minta maaf," kata Jemmy sambil membantu Awi berdiri, "maaf."
Awi menatap Jemmy yang sedang menghindari tatapan matanya.
Wajah Awi kembali menghangat. Dia baru sadar jika barang pribadinya masih terekspos dan dia langsung marapikan bajunya.
"Pak. Sebetulnya hari ini saya ingin bicara empat mata sama bapak. Apa bapak bisa meluangkan waktu?" tanya Awi yang membuat Jemmy menatapnya, "saya..."
Sebelum Awi menyelesaikan kata-katanya, hpnya berdering. Awi mengangkat telfon itu. Raut wajahnya nampak panik setelah berbicara dengan seseorang di seberang sana.
"Pak, maaf saya harus pulang. Saja izin pulang cepat hari ini," kata Awi sambil memakai sepatunya.
Kunci mobil Jemmy dia letakkan begitu saja di atas meja.
"Kamu bisa memakainya kalau itu hal yang mendesak," kata Jemmy saat mengetahui raut wajah Awi yang tidak seperti biasanya.
Awi menggeleng lalu membuka pintu. Saat pintu terbuka, mereka berdua terkejut karena sudah ada orang yang berdiri di depan pintu. Kini Jemmy yang membatu. Di depan pintu apartemennya, berdiri dua laki-laki. Dia tidak kenal dengan laki-laki berkuncir tapi dia sangat mengenal siapa laki-laki yang bersamanya.
Nathan.
"Nathan..." desis Jemmy.
"Permisi," kata Awi sebelum beranjak pergi.
Awi masih mengancingkan kancing bajunya yang paling atas saat melewati mereka.
Nathan yang awalnya memperhatikan Awi dari atas hingga bawah kini langsung menjatuhkan pandangannya ke Jemmy. Dia menuntut penjelasan atas apa yang baru saja dia lihat.
"Kamu...pulang," itulah yang bisa Jemmy ucapkan.
"Apa seharusnya aku tidak pulang?" pertanyaan Nathan seperti menyindir.
Wajah Nathan memanas. Emosinya membumbung. Saat Nathan ingin pergi dari sana, Robby langsung mencengkeram salah satu pergelangan tangan Nathan.
"Lepasin aku mau pergi," pinta Nathan yang hampir tidak bisa menahan diri lebih lama.
"Apa dia yang kamu goda saat kamu bersama Nathan?" tanya Robby pada Jemmy.
Kedua orang itu saling melemparkan tatapan benci satu sama lain.
"Ituuu...bukan urusanmu," sahut Jemmy yang juga mulai terpancing emosinya.
Dia melihat Nathan yang bersembunyi di belakang Robby.
"Apa kamu senang karena sudah berhasil merayu orang yang sudah beristri? Apa kamu gila?"
Jemmy menghela nafas saat mendengar Robby berbicara lagi.
"Aku bilang itu bukan urusanmu. Dan Nathan... Ayo masuk!"
"Apa orang itu seperti sebuah piala bagimu? Senang dengan piala yang sudah kamu rebut?" suara Robby mulai meninggi, "saat kamu senang dengan pialamu, apa kamu tidak tahu bagaimana perasaan Nathan? Apa kamu pura-pura tidak tahu??"
"Rob, sudah...jangan diteruskan!" Nathan berusaha menghentikan Robby.
"Ah...bajingan ini..." Robby memegang keningnya, "lihat...dengan mudahnya mempermainkan hati orang seperti ini. Aku memang nakal tapi bukan bajingan sepertimu."
"ROBBY!!" bentak Nathan yang menilai kata-kata Robby mulai keterlaluan.
Nathan mencengkeram kuat-kuat lengan Robby.
"Tanpa kamu beritahupun, aku sudah tau kalau aku bajingan. Jadi biar aku yang mengurus semuanya. Kamu jangan ikut campur!"
Kali ini Jemmy langsung menarik tangan Nathan dan membawanya masuk kedalam. Jemmy juga menutup pintunya keras-keras di depan Robby yang hanya bisa geleng-geleng kepala.
Nathan terdiam saat melihat isi kamarnya. Tidak ada yang berubah, kamarnya masih rapi dan tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Di tempat sampah juga tidak ada kondom bekas pakai. Tapi mengingat apa yang dilihatnya membuat Nathan mengedipkan ke dua matanya beberapa kali lalu menghela nafas panjang.
"Aku tidak melakukannya," kata Jemmy yang seakan tahu apa yang dipikirkan Nathan, "aku...benar-benar tidak melakukannya."
"Siapa yang tahu..." desis Nathan.
Untuk beberapa saat mereka terdiam dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Jemmy memberanikan diri menyentuh jari jemari Nathan.
"Jem?!" Nathan terkejut saat melihat Jemmy tiba-tiba berlutut di depannya.
Dia ingat saat Jemmy berlutut di depan ayahnya setelah menerima bogeman mentah. Ini kedua kalinya Jemmy berlutut di depannya. Membuat luluh hati Nathan. Sentuhan Jemmy pada jari jemari Nathan kini berubah menjadi sebuah genggaman. Tapi tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan kata maafpun tak terucap. Nathan langsung memeluk Jemmy. Jemmy memang tidak mengatakan apapun saat dia berlutut, tapi Nathan tahu jika Jemmy sedang meminta maaf padanya. Sama seperti dia meminta maaf pada ayahnya dengan cara berlutut selama berjam jam.
~ Awi Pov ~
Aku sampai di rumah sakit dengan naik angkutan umum. Sesampainya di rumah sakit aku mendapat telfon dari Vina. Dia bicara dengan suara lesu yang tidak seperti biasanya. Aku berjalan sesuai arahannya dan sampailah di salah satu kamar kelas dua. Vina terlihat duduk di kursi sambil menggendong Erin yang menangis terus menerus.
"Apa kata dokter?" tanyaku sambil melihat anakku yang semakin rewel.
Tangannya sudah di pasang infus dengan pengaman papan kayu sebagai penyangga ditangan.
"Kata doktet dia kena infeksi bakteri jadi harus rawat inap," sahut Vina.
"Terus Dika dimana?" tanyaku lagi.
"Aku titipin ke mama," sahut Vina.
Wajahnya nampak lesu dengan lingkaran mata panda yang terlihat jelas. Aku yang sekamar dengannya, tidak pernah memperhatikannya dengan seksama. Jujur saja aku telah gagal menjadi seorang suami. Bagaimana bisa aku memperlakukan istri dan anakku seperti ini. Rasanya hatiku menjadi sakit sekali saat mengingat apa yang telah kuperbuat selama ini.
"Sini ma, biar papa gendong," kataku sambil bersiap menggendong Erin.
"Nggak usah pa. Papa kan baru pulang kerja. Yang ada papa masih capek. Nanti makin capek," sahut Erin yang membuat dadaku semakin sakit.
Rasa bersalah menyusup dengan cepat. Membuat dadaku bertambah sakit. Seperti luka bakar yang menganga, luka yang di siram dengan air garam atau alkohol. Perihnya benar-benar terasa. Aku sampai tidak berani menatap wajahnya. Aku tidak bisa menatap Vina dengan kedua mataku.
"Bi..biarkan aku saja yang menggendong Erin. Kamu istirahat saja," aku masih berusaha untuk membantu Vina.
"Tapi apa papa nggak capek?" tanya Vina.
"Nggak ma, papa nggak capek sama sekali," sahutku.
Vina nampak menatapku dengan seksama lalu tersenyum.
"Ya udah sini. Bisa kan pake gendongan instan ini? Ada ringnya nih," kata Vina.
Vina melonggarkan ring gendongannya. Aku membantunya menahan tubuh Erin. Selama memindah Erin, aku tetap menghindari kontak mata dengannya. Aku merasa tidak pantas.
"Hehehehe..."
Aku mendengar Vina tertawa pelan. Tapi aku masih tidak berani menatapnya.
"Kenapa tertawa? Aneh ya?" tanyaku sambil menggoyangkan sedikit tubuhku untuk membuat Erin berhenti menangis.
"Nggak kok. Aku cuma senang sekali punya suami seperti papa. Sudah perhatian, bertanggung jawab," sahut Vina.
Aku menghela nafas panjang.
Aahh...tolong jangan mengatakan sesuatu yang membuatku semakin buruk.
"Mama tu cinta sekali sama papa," bisik Vina yang membuatku memejamkan kedua mataku.
Sakit sekali.