~ Author Pov ~
"Maaf pak tadi saya terlambat," kata Awi sambil berjalan perlahan mendekati pimpinannya yang baru.
Jemmy, laki-laki berusia 28 tahun itu menatap Awi dengan seksama. Pimpinan yang masih muda itu menatap jam dinding lalu tatapannya kembali berakhir pada Awi.
"Kamu Awi?" tanya Jemmy.
"Iya pak, saya Awi."
"Kamu tahu ini sudah jam berapa?" tanya Jemmy sambil kembali menatap laptopnya.
Tangannya sibuk mengetik sesuatu.
"Tau pak. Maaf pak tadi saya ada urusan..."
"Saya nggak mau tau urusan kamu apa. Yang saya tau, hari ini ada meeting pertama dengan saya tapi kamu nggak datang," potong Jemmy yang kembali menatap Awi, "kamu terlambat."
Awi terlihat menundukkan kepala seperti anak sekolahan yang sedang di marahin gurunya. Suasana di ruangan itu terasa tidak nyaman.
"Maaf pak," suara Awi terdengar lirih.
"Wilayah yang kamu pimpin ini bertanda hijau. Artinya apa?? Artinya kalian yang ada di sini tidak memenuhi target penjualan!! Dan kamu malah telat masuk kantor. Kamu kira ini main-main apa??"
"Maaf pak. Saya akan berusaha merubah strategi penjualan dan pemasaran."
"Semua orang juga bilangnya seperti itu. Gini lo...siapa namamu tadi?"
"Awi pak."
"Awi, kita ini kan kerja ikut orang. Jangan saling menyulitkan. Saya tau tanggung jawab saya seperti apa. Kamu juga harus tau tanggung jawab mu. Ini...kalau nggak ada perubahan. Omzet mu bisa hancur. Itu juga bisa mempengaruhi saya."
"Iya pak. Saya janji bulan ini membaik."
"Saya nggak butuh janjimu Wi. Yang saya mau, itu buktinya."
Laki-laki yang lebih tua 6 tahun Itu mengangguk lalu menyahut, "ya pak."
Jemmy terlihat menghela nafas.
"Ya sudah kamu boleh keluar," Jemmy kembali sibuk dengan laptopnya.
Dia mencoba mengecek semua data yang ada di kantor cabang ini. Awi juga nampak berjalan keluar ruangan. Pintu ditutupnya pelan. Jemmy melirik sekilas ke pintu yang tertutup itu lalu menghela nafas.
~ Awi Pov ~
Saat pintu tertutup, semua mata langsung tertuju padaku. Aku hanya bisa tersenyum kecut.
"Demagenya lumayan," kataku yang membuat mereka tertawa pelan.
Daripada kacab yang lain. Pak Jemmy termasuk yang paling lunak. Kenapa aku bisa bilang begitu, terbukti dari marahnya tadi. Tidak terlalu arogan seperti yang lain. Aku ini korban murkanya para kacab karena memang cara kerjaku yang kurang baik. Mengatur para Sales dan supir itu bukan hal mudah. Apalagi aku harus mengatur lebih dari lima orang. Dan lagi, istriku selalu memintaku pulang jam lima sore. Padahal jam segitu ada Sales dan admin yang belum pulang karena harus mengejar omzet. Dan akhirnya hasilnya tidak terlalu memuaskan.
"Din, cetakin faktur buat toko Rezeki dong," pintaku pada Dini sang admin, "kalau bisa dia harus terima dua ribu karton ya."
"Banyak banget pak. Apa bisa?"
"Dicoba aja dulu. Namanya juga usaha."
Seperti biasa hari inipun aku bekerja dengan keras. Beberapa masalah juga ikut membuat pusing. Ada tagihan toko yang nyantol beberapa minggu padahal sudah jatuh tempo, ada yang tokonya bangkrut, ada pemilik toko yang kabur.
Tuk...
"Istirahat dulu Wi."
Aku terkejut mendapati pak Jemmy ada di belakangku. Tangan kanannya terulur ke meja untuk meletakkan segelas kopi panas.
"Oh...ah...iya pak. Terima kasih," kataku yang langsung menggeser pantatku.
Rasanya tidak nyaman saat ada atasan yang tiba-tiba datang mendekat. Untung aku tidak bermain hp saat sedang bekerja.
Saat aku melihat ruangan kerja, ternyata kosong. Hanya ada aku dan pak Jemmy. Jam istirahat sih. Mungkin mereka sedang mencari makan siang.
Pak Jemmy tidak langsung kembali keruangannya, tapi dia bersandar pada ujung mejaku sambil mulai merokok. Tanpa diperintah aku segera mematikan AC.
"Kenapa kamu tadi terlambat?" tanya pak Jemmy.
Padahal seingatku, dia tidak mau tau alasanku terlambat.
"Tadi saya ke sekolah anak saya pak. Ada rapat orang tua," sahutku.
Aku melihat pak Jemmy manggut-manggut.
Gila...kadang dunia itu nggak adil bro. Orang semuda itu sudah jadi atasanku. Kata Dini, dia adalah keponakan bos besar. Jadi wajar di usia yang masih muda, dia sudah menjadi atasan. Kalau di bandingkan denganku jebolan dari universitas tak ternama, mendapat posisiku yang sekarang adalah berkah. Aku menikah dengan Vina karena desakan orang tua Vina. Mempunyai anak saat masih menimba ilmu di kampus bukan hal yang gampang. Apalagi harus menahan malu pada orang tua Vina karena belum bisa membiayai hidup Vina dan anak yang di kandungnya.
Aku tidak menyesali masa lalu. Apalagi sekarang aku sudah punya dua anak. Aku cukup bahagia dengan kehidupan yang sekarang.
"Bapak sudah menikah?" tanyaku kembali membuka percakapan.
Mataku kembali fokus pada faktur-faktur di atas meja.
"Belum," jawabnya singkat.
Itu membuatku kembali menatapnya. Pak Jemmy ini biarpun masih muda tapi umurnya juga sudah matang untuk membina rumah tangga. Tapi kenapa dia belum menikah?! Padahal dia mendapatkan pekerjaan yang bagus, yang lebih penting dia itu good looking. Jangan dibandingin sama aku yang terlihat dekil hahahaha... Itulah kenapa aku bilang dunia itu nggak adil.
"Yang sabar pak. Mungkin bapak belum ketemu jodoh yang tepat. Biasanya jodoh itu datangnya secara tiba-tiba kok pak," kataku tanpa pikir panjang.
Pak Jemmy langsung menatapku. Tatapannya datar.
Apa aku salah bicara?
"Seingat saya, saya nggak bilang kalau nggak punya pacar."
!!
"Eh...." seperti orang bodoh aku menyesali kata-kata bodohku tadi, "itu...maaf...saya kira tadi..." kata-kataku terputus saat melihat pak Jemmy menahan senyumnya.
Wajahku menghangat karena rasa malu.
Aku langsung kembali pada faktur-fakturku.
Mulutku benar-benar tidak bisa dijaga.
Aku menggigit bibir bawahku.
"Ya sudah kamu lanjutin saja pekerjaanmu, biar nanti pulangnya tidak terlalu malam," kata pak Jemmy sambil menepuk bahu kananku dua kali sebelum beranjak pergi.
Aku langsung menghela nafas panjang setelah sosok pak Jemmy menghilang.
Ya...ampuuuunn..malunya.