Yogyakarta, menjelang akhir sembilan puluhan.
Aku sebenarnya ragu dengan rumah kos ini, biarpun besar dan dekat dengan kampus. Kesan pertama yang kurasakan hanyalah muram dan kurang terawat. Mungkin karena pohon besar itu, yang meninggalkan ratusan atau bahkan ribuan helai daunnya berserakan di halaman yang luas. Juga lapisan cat berwarna krem kusam yang menutupi sebagian dinding bangunan itu yang keadaannya telah berlumut dan sebagian lagi terkelupas. Di depanku, sebuah angka empat berbahan besi sebagai penanda nomor rumah yang menempel pada pilar pintu gerbang pun bertengger dalam keadaan terhuyung miring, hanya tinggal menunggu jatuhnya.
Tapi apa daya, aku tak punya pilihan lain. Bisnis Papa yang tengah mengalami kesulitan sejak enam bulan lalu membuatku kini harus meninggalkan nyamannya kamar mewah di asrama putri ternama yang sebelumnya kutempati sejak awal berkuliah di Jogja. Mama sudah tak sanggup meneruskan membayar sewanya. Bahkan, aku masih cukup beruntung tetap bisa meneruskan kuliah, dengan berhemat sana sini tentunya. Dan sampailah aku di tempat ini.
"Cari siapa, Mbak?" Seorang nenek tua tiba-tiba muncul mengejutkanku. Aku bertanya heran dalam hati bagaimana mungkin aku tak melihatnya berjalan menyusuri halaman itu. Aku mengamati sejenak nenek tua di hadapanku ini. Perawakannya pendek dan gempal dengan rambut beruban yang digelung. Sinar matanya teduh bersahabat. Mengingatkanku pada Mbok Dar, pembantu di rumah kami di Jakarta yang sudah ikut keluarga kami sejak Papa masih remaja.
"Mbak, cari sia-?"
Aku tergagap menjawab, "Ma-maaf, Bu. Apa betul ini kos-kosan Bu Santi?"
"Iya. Betul, Mbak. Ada apa ya?" jawabnya sopan lalu balik bertanya.
"Saya anak temannya Bu Santi. Kemaren ibu saya sudah telpon kalau saya mau kesini."
"Oh. Ayo mari masuk, Mbak. Kebetulan Bu Santi ada." Dengan terbungkuk-bungkuk ia membuka kunci gerbang dan mempersilahkan aku masuk ke halaman rumah. "Maaf, Mbak ini namanya siapa? Biar Mbok kasih tahu ke Ibu," lanjutnya setelah mengunci gerbang kembali.
"Saya Feli, kalau Nenek..?" Kuulurkan tangan hendak menjabatnya. Dia menatap tanganku, kemudian beralih ke wajahku. Sekilas kulihat perubahan di raut wajahnya.
"Mbok Jum. Maaf, tangan Mbok kotor." Ia menampik halus jabatan tanganku. "Ayo, mari Mbok Jum antar ke dalam."
Ah, rupanya ia kurang suka dipanggil Nenek. Kusampirkan tasku di bahu, melangkah memasuki halaman mengikuti Mbok Jum melewati pohon besar tadi. Beberapa helai daun kering melayang jatuh dan mendarat di rambut dan bajuku.
Dan dari dekat, penampilan rumah ini semakin membuatku ragu. Sebuah bangunan rumah dua lantai bergaya klasik—atau mungkin memang sudah berumur—dengan balkon besar di lantai dua yang menjorok ke depan dan ditopang dua pilar besar berprofil garis-garis vertikal yang diakhiri beberapa lengkungan melingkar di ujungnya. Tampak megah namun sayangnya kusam. Di lantai dasar, dua buah jendela besar berornamen kaca patri berdiri mengapit pintu utama berdaun ganda yang tak kalah besarnya. Langit-langit teras bercat putih tampak terkelupas bahkan berlubang di beberapa tempat, pertanda kurang terawat. Mama kok punya temen yang rumahnya serem gini ya?
Mbok Jum membuka salah satu daun pintu depan dan mempersilahkanku masuk, "Silahkan, Mbak."
Wooww...gilaa..!
Berbeda sekali dengan kondisi bagian luar tadi, di dalam rumah keadaannya tampak bersih dan cukup mewah. Lantai marmer berwarna krem kekuningan yang mendominasi luasnya ruangan—yang sekilas kulihat merupakan ruang utama— ditambah perpaduan meja oval besar dan beberapa sofa kayu yang mengitarinya, ditambah guci-guci porselen berukuran setinggi pinggang orang dewasa yang tersusun rapi di salah satu sudut ruangan, langsung menghilangkan kesan burukku akan rumah ini. Ada satu benda yang semakin membuatku tertegun yaitu sebuah jam lonceng besar yang berada di sudut lain ruangan itu, mirip seperti di rumah Opa.
"Ada siapa, Mbok?" Seorang wanita setengah baya berjalan menuruni tangga berbentuk setengah lingkaran—tipikal model tangga rumah mewah tahun delapan puluhan— yang berada di sisi ruangan utama.
"Ini, Bu, yang kemaren Ibu bilang mau ada tamu," jawab Mbok Jum.
Sesampainya di bawah, sembari merapihkan kimono tidur yang dikenakannya wanita itu menatapku dan tersenyum. Ia terus lekat menatapku selama beberapa saat hingga membuatku salah tingkah.
"Ah, kamu Feli, kan? Masih inget nggak sama Tante?" Ia memotong ucapanku dan langsung menjabat tanganku erat. Sekejap kemudian ia merengkuhku masuk dalam pelukannya.
"Eh.. I-iya, Tante. Saya Feli."
"Dulu sekali, kamu pernah beberapa kali kesini sama mama papamu, waktu kamu masih kecil. Masa nggak inget?" tanyanya lagi setelah melepaskan pelukannya. Kucoba mengingat-ingat, tapi tak menemukan sedikit pun kenangan akan wanita di hadapanku, juga rumah ini.
"Mmm. Maaf, Tante. Aku nggak inget," jawabku kemudian.
Ia kembali tersenyum mendengar jawabanku. Digamitnya lenganku dan setengah menyeretku untuk duduk di sebelahnya di sofa. "Ya udah, nggak papa. Gimana Mama, Papa, sehat?"
"Sehat, Tante."
"Syukurlah semua sehat. Papa masih usaha kontraktor?" lanjutnya.
"Mmm. Masih, Tan. Tapi kantornya udah tutup, sekarang Papa ngantor di rumah," jawabku pelan.
Kekacauan politik, ekonomi dan tragedi bulan Mei lalu benar-benar memukul usaha yang telah dirintis Papa sejak muda. Satu demi satu asetnya harus dijual untuk menutupi kerugian beberapa proyeknya yang ikut terkena imbas kerusuhan. Bagaimana tidak, para pemilik perusahaan klien Papa banyak yang lari keluar negeri menghindari kerusuhan, bahkan menjadi korban kerusuhan, sehingga tagihan proyek tidak terbayar sedangkan upah pekerja, material dan hutang bank tetap harus dilunasi.
Wanita setengah baya berparas cantik yang duduk di sebelahku itu turut menghela nafas. Mungkin ia merasakan kekurangnyamananku dalam menjawab pertanyaannya. Dan aku yakin Mama juga sudah menceritakan keadaan kami yang sebenarnya kepadanya.
Ω Ψ Ω
Tak terasa sudah lebih dari satu minggu aku tinggal di tempat ini. Tak terlihat dari luar, ternyata di dalam rumah ini ada sepuluh kamar berukuran sekitar tiga kali tiga meter yang disewakan sebagai kamar kos. Terletak di belakang bangunan rumah utama dan dipisahkan oleh dapur sehingga satu-satunya akses masuk ke kos dari rumah utama adalah melalui dapur demikian pula sebaliknya jika hendak keluar. Sebenarnya ada satu pintu samping rumah tetapi digembok rapat dan tidak difungsikan.
"Dulu pernah Tante buka biar anak kos nggak wira-wiri di dalem rumah, tapi ternyata banyak yang diem-diem masukin cowok. Jadi akhirnya Tante gembok aja." Tante Santi terkekeh ketika menjelaskan hal tersebut padaku.
Setahuku semua kamar sudah terisi atau sudah ada penyewanya. Karena pertemanan baiknya dengan Mama, Tante Santi memberikan potongan harga khusus buatku untuk tinggal di kos ini. Malah sebenarnya ia hendak menggratiskan uang kos namun Mama menolak saking sungkannya kepada Tante Santi, padahal lumayan kan untuk jajan. Hehehe.
Beruntungnya lagi, posisi kamar yang kutempati berada paling dekat dengan dapur, ibarat hanya tinggal koprol jika ingin memasak Indomie atau mengambil minum di lemari pendingin. Tante Santi memang memperbolehkan penghuni kos memakai kompor dan perlengkapan makan minum di dapur, asalkan dicuci bersih setelah memakai. Air mineral pun ia sediakan gratis untuk kami semua. Mungkin pada dasarnya aku tergolong mudah akrab dengan teman baru sehingga tak memerlukan waktu lama aku telah mengenal teman-teman penghuni kos lainnya. Lia—asli Semarang— yang kos tepat di sebelah kamarku, kemudian berurutan di sebelah kamar kami adalah Devi, Mita dan Maria. Sedangkan di deretan seberang adalah Fay—asli Banyumas—dan Rita yang kukenal. Sementara tiga penghuni lainnya aku belum pernah melihat mereka, sepertinya mereka jarang berada di kos.