Aku tersentak tak percaya dengan kata-kata yang baru saja kudengar. Aku menatap kedua matanya untuk mencaritahu apakah ia serius dengan ucapannya. Ia menatapku balik dan dari sinar matanya aku tahu ia mengatakan hal sebenarnya.
"Kena serangan jantung," lanjutnya.
"Meninggal..?! Dia udah meninggal?" desisku.
"Iya, udah lama sih kejadiannya. Tujuh tahunan yang lalu."
Aku mengelus pangkal lenganku yang merinding tidak karuan. Rasanya seperti dirambati ribuan semut. Mbok Jum menengok ke arah kos di belakang dapur. "Itu memang dulu kamarnya dan setelah dia nggak ada lagi yang betah di kamar itu."
"Terus..?"
"Yah, udah tiga tahunan ini kosong."
"Tapi.. Kata Lia, semua kamar penuh. Cuma memang ada kamar yang orangnya jarang pulang ke kos," protesku.
"Iya, itu Ibu yang suruh Mbok bilang begitu, biar nggak pada takut.."
Aku semakin merinding.
Berarti…
Hantu wanita itu, yang mirip Mbak Lastri itu…beneran dia.
Mbak Lastri..!
"Ya udah, Mbak, nggak usah dipikirin. Mbok ambil kunci dulu yaa.."
Kini tinggal aku yang berdiri sendirian di ambang pintu penghubung rumah utama dan dapur. Antara takut dan penasaran, aku menjulurkan kepala dan menengok ke arah kos melalui pintu dapur yang terbuka. Kamar yang kami bicarakan itu terlihat cukup jelas dari tempatku berdiri. Entah karena pengaruh perasaan takutku atau sungguh terjadi, kulihat gorden penutup jendela kamar itu tiba-tiba bergerak. Muncul pula sesosok bayangan seperti ada seseorang tengah berdiri di dalam kamar!
Aku berlari secepat kilat mencari Mbok Jum. "Mbook! Mbok Juum..!"
"Ada apa to, Mbak? Pakai teriak-teriak gitu?" Tergopoh-gopoh ia menuruni tangga dari lantai dua. "Mbok ngambil kunci sampai hampir jatuh ini..," lanjutnya.
Aku mendekatkan tubuhku yang menggigil ketakutan. "Takut, Mbok."
"Takut kenapa, Mbak? Jangan bikin Mbok serem gini..."
"Itu, Mbok. Barusan aku lihat gorden kamar itu gerak, terus kelihatan ada bayangan di dalam..."
"Yang benar, Mbak? Duh, Mbok jadi ikut merinding ini.."
Kini kedua tanganku semakin rapat memegang lengannya. Lalu ia mengajakku duduk di sofa depan televisi tempat kami anak kos biasa bercengkrama dengan Tante Santi sambil menonton TV. "Takut, Mbok. Kok jadi serem begini di sini?" ratapku.
"Udah, Mbak, jangan mikir begitu. Mungkin gara-gara cerita tadi, Mbak jadi takut terus salah lihat, kan bisa..," jelasnya perlahan.
"Iya sih, Mbok. Mungkin ya..," gumamku.
"Lagian siang-siang begini mana ada hantu sih..?" kekehnya.
Seorang temanku pernah bilang kalau seseorang bisa saja mengalami halusinasi saat berada dalam kondisi tertekan atau berada dalam suasana baru yang asing baginya. Apakah mungkin saat ini aku mengalami hal itu? Aku jadi ragu pada kewarasanku sendiri.
"Mbok, boleh ceritain nggak?" lanjutku. Sepertinya rasa penasaranku jauh lebih besar dari rasa takutku. Wanita tua di depanku ini menatapku dengan pandangan bingung. Mungkin ia tidak yakin dengan apa yang kukatakan.
"Cerita apa, Mbak? Yang tadi?"
"Iya. Soal Mbak Lastri.."
Dia menatapku dalam. "Yakin mau Mbok ceritain?"
Aku mengangguk. Rasa penasaran ini harus dituntaskan.
Setelah menghela nafas sejenak, ia menuturkan kisahnya, "Dulu tahun sembilan satuan, Mbak Lastri itu kos di sini sampai hampir lulus, sedang proses skripsi. Anaknya cantik dan baik, ramah lagi."
"Dia punya tunangan, namanya Leon, sudah kerja waktu itu. Orangnya tinggi gagah, hitam manis gitu. Rencana mereka akan menikah setelah Mbak Lastri lulus." Mata Mbok Jum terlihat berkaca-kaca.
"Nah, waktu itu di sini juga ada anak kos yang cantik dan keturunan bule, namanya Erin. Masih tingkat satu, kalau nggak salah. Anaknya lincah dan ceria, cepat akrab sama orang, kesayangan mbak-mbak yang lain di kos ini. Apalagi sama Mbak Lastri, akrab sekali," jelasnya sebelum ia meneruskan ceritanya tentang bagaimana kehidupan sehari-hari Mbak Lastri dan teman-temannya ketika itu.
Kisah ini semakin membuatku penasaran. "Terus, Mbok.."
Raut wajah Mbok Jum berubah mengeras. "Nggak tahu bagaimana, suatu hari Mbak Lastri ke kontrakan Mas Leon dan memergoki Leon sedang selingkuh sama si Erin ini. Uuh, heboh sekali waktu itu pokoknya!"
Wow, tragis sekali kisah yang dialami Mbak Lastri ini. Aku turut merasakan sesak di dadaku. Tak terbayangkan bagaimana hancurnya jika aku yang mengalaminya sendiri. "Duh, kasihan banget ya.."
"Iya, Mbok aja ikutan nangis ngelihat Mbak Lastri diselingkuhi. Temen-temennya apalagi, udah mau dihajar si Erin itu," ucap Mbok Jum geram.
"Terus, Mbok..," kejarku lagi.
"Habis itu, ya udah putus mereka. Mbak Lastri nggak mau ditemuin Mas Leon lagi, nerima telepon aja sudah nggak mau sama sekali."
Sudah pasti itu yang akan terjadi. Wanita normal manapun akan melakukan hal yang sama. Untuk apa pria brengsek seperti itu diladeni. "Oh, berarti gara-gara itu Mbak Lastri sampai sakit, Mbok?"
Mata Mbok Jum menerawang jauh. "Mbok kurang tahu juga sih. Tapi puncaknya pas malam itu, kalau nggak salah dua minggu atau sebulan setelah kejadian yang Mbok cerita tadi."
Aku turut terdiam, dapat kubayangkan perasaan yang dialami Mbak Lastri.
"Malem itu, tiba-tiba Mbok dengar Mbak Sinta teriak-teriak."
"Sinta? Siapa itu, Mbok?"
"Anak kos juga. Kamarnya dulu di kamar Mbak Fay. Dia teriak-teriak minta tolong, sampai kedengeran dari kamar Mbok."
Aku menggeser dudukku semakin mendekatinya. "Memang yang lain pada kemana?"
"Waktu itu seperti sekarang ini, anak-anak kos semua pulang liburan. Cuma tinggal bertiga di sini, Mbok, Mbak Sinta dan Mbak Lastri."
"Terus..terus...?"
Mbok Jum menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan. "Waktu Mbok buka pintu dapur, Mbok lihat Mbak Sinta memeluk Mbak Lastri di lantai. Mbak Lastri sudah nggak bergerak, mukanya pucat sekali."
"Mbok langsung lari keluar, minta tolong ke wartel sebelah," lanjutnya menahan sedih.
"Mas yang jaga di wartel juga pada lari ke sini, temannya ada juga yang telepon ambulan. Tapi sayang, sampai di sini Mbak Lastri udah nggak tertolong."
Ya Tuhan, tragis sekali kisah Mbak Lastri ini. Biarpun hanya mendengarnya dari kisah yang diceritakan Mbok Jum. Air mataku terasa mulai menggenang di pelupuk mataku. "Duh, kasihan banget ya."
"Iya, tragis. Nggak lama setelah itu, Mbok dapat kabar kalau Mas Leon juga meninggal!"
Astaga!
"Hah.!? Meninggal juga?" Aku semakin merinding.
"Iya, ada yang telepon ke sini, polisi. Kata polisi itu, dia sempat telepon Mbak Lastri, tapi tiba-tiba terputus. Mbak Sinta bilang, mungkin itu bertepatan waktunya saat dia dengar Mbak Lastri jatuh di lantai." Ia melanjutkan.
Perasaanku kini benar-benar tidak karuan setelah mendengar penjelasan dari Mbok Jum mengenai apa yang terjadi dengan seseorang bernama Mbak Lastri ini. Bayangan sosoknya yang menjumpaiku malam tadi benar-benar tak dapat kuhilangkan dari pikiranku. Rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya.
Pindah kos adalah satu-satunya yang kuinginkan sekarang. Namun aku teringat, Mama sudah membayar kos ini enam bulan ke depan dengan sisa-sisa tabungannya. Kasihan sekali jika uang yang sangat berarti itu sampai kusia-siakan.
Aku sendiri tak memiliki uang lebih, pasti tidak cukup untuk membayar kos di tempat lain. Dan aku hanya bisa sesenggukan di pelukan Mbok Jum.