Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 12 - Aku Mulai Melihat Mereka

Chapter 12 - Aku Mulai Melihat Mereka

"Mbok, setelah kejadian itu, Mbok pernah ngelihat penampakan Mbak Lastri lagi nggak?"

Seharian itu, aku ikut kemana saja Mbok Jum berada kecuali saat ia masuk kamar ujung itu, juga kecuali naik ke lantai dua. Tante Santi memang tidak pernah mengatakan larangan bagi anak kos untuk naik ke lantai dua tetapi aku dengar dari Fay dan Lia bahwa selama ini sudah menjadi aturan tak tertulis bahwa kami anak kos tidak boleh naik ke sana. Lagian juga aku ogah, kalau ada yang ilang ntar ketempuhan.

Mbok Jum sempat terdiam, tak langsung menjawab pertanyaanku tadi. "Kalau Mbok jawab, Mbak Feli janji nggak takut?"

Waduh..!

"Iya, janji." Aku menyilangkan jari telunjuk dan jari tengah di balik tubuh. Biar ngga dosa.

"Terus, satu lagi ya, Mbak."

"Apa, Mbok?"

Ia menatapku serius. "Janji ya, jangan ada anak kos lain yang tahu. Mbak Feli juga jangan cerita-cerita apa yang Mbak alamin. Nanti pada takut semua.."

"Iya..." Kali ini jari tangan kiriku yang kusilangkan seperti tadi.

"Pernah. Mbok pernah lihat dia." Ia berbisik, padahal tak ada orang lain selain kami berdua.

"Mbak Lastri...?" Tanpa sadar aku ikut berbisik juga.

"Iya.."

Duh..

"Tapi udah lama. Beberapa bulan setelah kejadian."

"Ceritanya gimana, Mbok?"

"Beberapa kali, Mbak. Pertama waktu Mbok dan keluarganya sedang beres-beres barang di kamarnya. Waktu itu yang datang bapak dan saudaranya." Ia mengingat-ingat.

"Ibunya?" tanyaku.

"Nggak datang. Menurut bapaknya, ibu Mbak Lastri masih terpukul sekali."

"Nah, Mbok ngelihat Mbak Lastri berdiri di deket lemari baju. Cantik sekali." Ia melanjutkan, masih dengan berbisik.

Glek…

"Terus, Mbok. Ngomong apa dia?"

"Nggak ngomong apa-apa, Mbak. Cuma berdiri diam aja."

Ia mengelus lengan kirinya sebelum melanjutkan. "Mbok takut sekali dan langsung lari keluar kamar, sampai-sampai bapaknya tanya kenapa Mbok lari."

"Mbok jawab ngelihat Mbak Lastri?" tanyaku.

"Nggak, Mbak. Kasihan kalau Mbok bilang begitu, nanti mereka tambah sedih. Mbok cuma jawab ada tikus."

Aku manggut-manggut sembari membayangkan kejadian sebenarnya.

"Beberapa hari kemudian, waktu Mbok bersih-bersih ruangan tengah, Mbok lihat Mbak Lastri sedang duduk di kursi depan telepon itu. Rambutnya panjang diurai dan pakai baju putih panjang." Kini suara Mbok Jum semakin pelan.

Mamaaa...!

Tiba-tiba kurasakan bulu kudukku kembali berdiri dan tubuhku seketika terpaku tak dapat bergerak namun telingaku masih jelas mendengar Mbok Jum meneruskan ceritanya. "Terus, nggak lama dia hilang..."

"Lho, Mbak, Mbak Feli kenapa..?" Ia menatapku bingung.

Aku meraih tangannya, menggenggamnya erat. Aku mencoba memanggilnya namun bibirku seolah terkunci.

"Mbak Feli jangan nakut-nakutin Mbok, ah! Mbak.. Mbak.." Kudengar ia panic memanggilku sembari mengguncang-guncang tubuhku yang berdiri mematung.

Sementara, aku menatap sosok di belakang Mbok Jum. Ia berdiri hanya selangkah di belakang tubuh Mbok Jum. Gaun putih panjang yang dikenakannya menjuntai ke bawah. Kakinya tampak melayang tak menyentuh lantai.

Dan kini ia tersenyum padaku, cantik sekali, lalu menghilang begitu saja dari pandanganku. Sedetik kemudian. "Feli..." Bisikan itu terdengar jelas dan dekat di samping telingaku. Sudut mataku pun menangkap sosoknya. Pipiku terasa dingin sedingin es, ketika ia menyentuhku. Mbak Lastri..!

"Mbak.. Mbak Feli..!" Suara Mbok Jum menyadarkanku, bersamaan dengan sosok Mbak Lastri yang turut lenyap. Kugerakkan leherku melihat ke kiri dan ke kanan namun sosoknya sudah benar-benar menghilang. Kuraba pipiku, masih terbayang jelas rasa dingin tadi. Seketika tubuhku terasa sangat lemas, seolah tenagaku terbuang habis. Kutarik nafas panjang berkali-kali.

"Mbak Feli kenapa?" Mbok Jum kembali mengguncang tubuhku.

"Eng-Nggak papa, Mbok."

"Barusan Mbak tiba-tiba diam aja kaya patung. Buat Mbok bingung aja."

"Jangan-jangan, Mbak ngelihat...," lanjutnya seraya menengok ke sekeliling.

Kuputus kata-katanya. "Ssst...iya, Mbok. Barusan aku lihat dia."

"Dia senyum, cantik sekali," lanjutku.

Mbok Jum mengelus lenganku dan menepuknya pelan. "Astaga! Tapi Mbak baik-baik, kan?"

Aku mengangguk. Definisi baik-baik saja ini sebenarnya patut diperjelas. Kalau baik secara fisik, memang tak ada bagian tubuhku yang disakiti atau cidera. Tapi rasa takut dan seram yang melandaku bisa dikategorikan sebagai tidak baik-baik saja. Entahlah.

"Doain aja dia, Mbak, biar damai di sana." Mbok Jum menunjuk ke atas.

"Iya, Mbok. Aku udah nggak papa. Tapi malam ini Mbok temenin aku tidur ya di kamarku. Sampai anak-anak pulang ke kos," tambahku.

"Iyaa...tenang aja Mbak. Mbok juga takut." Ia terkekeh.

Ω Ψ Ω

Sesungguhnya, aku kangen kamu

Dimana dirimu

Aku nggak ngerti

Dengarkanlah

Kau tetap terindah, meski tak mungkin bersatu

Kau slalu ada

Di langkahku...

"Busyet, Kahitna, rapuh amat sih lagunya pagi-pagi?" ledekku ke Fay pagi ini.

Fay yang diledek hanya nyengir kuda. "Kan radio, bukan aku yang milih lagunya."

Hari demi hari telah berlalu sejak kejadian yang kualami bersama Mbok Jum. Dan sejak itu aku tak pernah melihat sosok Mbak Lastri lagi. Rasanya cukup lega walaupun sebenarnya benakku bertanya-tanya. Why me..? Kenapa aku yang baru di kos ini malah diliatin penampakan seperti itu. Kenapa bukan anak-anak kos yang lain?

Ya, aku tidak tahu persis sih apakah ada anak kos lain atau tidak yang pernah mengalaminya, tetapi setidaknya aku belum pernah dengar mereka bercerita tentang hal yang menyeramkan di kos ini.

"Fel.." Fay memanggil, membuyarkan lamunanku. "Kamu punya pacar?"

Halahh, pertanyaan paling malesin.

"Enggak. Eh, belum. Memang kenapa tiba-tiba nanya gitu?"

"Mau kukenalin sama temenku? Anaknya cakep lho, cuma agak bad boy, cocok lah sama kamu."

Gubraakk..!

"Dih, memangnya aku nggak bisa cari cowok sendiri? Pakai dikenal-kenalin..," jawabku sewot. "Bad boy lagi yang mau kamu kenalin..!"

Fay nyengir lagi.

"Oh ya, kok kamu bisa nyimpulin dia bakal cocok sama aku?"

"Makannya banyak. Sama kaya kamu. Hahaha…," jawab Fay ngakak.

Asem...

Ω Ψ Ω

Sore ini kelas kuliah yang kuikuti berakhir jam setengah enam sore. Sepanjang kuliah aku kurang bisa berkonsentrasi. Perutku keroncongan karena tidak sempat makan siang. Begitu keluar kelas, secepat kilat aku berlari menuju warung di sebelah kampus. Sudah terbayang nikmatnya menyantap sepiring..eh..dua piring nasi ditambah lele goreng, plus teh manis panas. Sedaapp..

Namun hasratku sepertinya sulit terpenuhi secepat yang kuinginkan sebab sesampainya di depan warung langganan yang terdekat dengan kampus, warung tersebut dipenuhi pembeli sampai-sampai banyak yang berdiri mengantri. "Mas, masih banyak yang antri?" tanyaku pada salah seorang pelayannya.

"Eh, Mbak Feli, isih lumayan akeh iki Mbak. Setengah jam-an lah," jawabnya sambil menata gelas dan piring.

"Wah, suwi yo. Yo wis, matur nuwun, Mas." Dengan lesu aku melangkah meninggalkan warung itu. Baru sepuluh meter melangkah di trotoar, tiba-tiba ada suara seseorang memanggil. Sangat akrab di telingaku.

Saat kutengok, kulihat Fay tengah duduk di boncengan sepeda motor yang dikendarai seorang pria berhelm half face. Wajah pria itu samar tertutup kaca helm berwarna agak gelap. Tubuhnya dibalut jaket jins biru yang sudah memudar warnanya, kontras dengan kaos Fay yang berwarna pink menyala. Fay turun dari motor dan menghampiriku.

"Fay, lho kamu kuliah sore juga? Bukannya hari ini pagi ya?" sapaku.

"Nggak kuliah aku. Ke perpus doang nyari buku buat bikin paper."

"Eh iya, ini kenalin temannya Tomas, yang kemarin aku ceritain..." lanjutnya. Tangannya memberi isyarat memanggil pria tadi. Ia menyetandarkan motor sebelum turun dari motornya. Tangannya menggeser kaca penutup helmnya ke atas. Ia tersenyum. "Kenapa, Fay?"

Ih, ada lesung pipinya. Manis juga.

"Ini, kenalin temenku."

Ia mengulurkan tangannya kepadaku dan berucap pendek. "Nanta."

"Feli." Aku membalas jabatan tangannya.