Malam itu, aku dan Fay terpaksa menemani Lia yang sesenggukan semalaman di kamarnya. Mendengar ceritanya, ia menangkap basah si Pras pacarnya itu bermain api dengan cewek lain saat secara tidak sengaja ia melihat mereka di Gramedia. "Padahal tadi Pras bilang nggak bisa kesini itu katanya mau main PS rame-rame sama anak kosnya," ucap Lia geram. Akhirnya kami bertiga jadi mengobrol ngalor-ngidul agar Lia terhibur, sampai jauh melewati tengah malam. Dan tak terasa kami tertidur bertiga di kamarnya.
Entah jam berapa aku terbangun. Dalam kegelapan, terasa kaki Lia atau Fay tak sengaja menginjak kakiku saat ia melangkah. Dengan malas aku membetulkan posisi tidurku di samping…oh, Fay, terlihat samar dari kaos putih yang ia kenakan. Kuingat Lia tidur paling tepi berdekatan dengan dinding kamar. Pantas saja kakinya tidak sengaja menginjakku saat melangkah. Dari balik bantal kudengar suara pintu kamar dibuka dan ditutup kembali, diikuti suara langkah sandal diseret ke arah kamar mandi.
Oh, si Lia kebelet.
Kutunggu beberapa menit, Lia belum kembali ke kamar lagi. Kubalikkan badanku ke arah Fay sambil membetulkan posisi guling yang sedang kupeluk. Saat sedikit mengangkat kepala, samar kulihat di sebelah Fay masih ada Lia yang tidur menyamping menghadap ke dinding.
Lho..?
Langsung kantukku hilang seketika. Aku langsung bangun dan duduk di kasur itu, kuamati mereka, terdengar nafas Fay dan Lia bersahutan dalam tidur mereka.
Lha, tadi siapa yang ngelangkahin aku terus keluar?
Kembali bulu kudukku meremang. Aku bangkit dan beringsut bermaksud menyalakan lampu kecil di dekat meja.
Bukk..!!
Terdengar suara benda berat jatuh di luar kamar mengejutkanku. Kutengok Fay dan Lia, yang masih lelap tidur tidak terbangun sama sekali. Kepalang tanggung, aku nyalakan lampu kecil.
"Feliii…" Tiba-tiba bisikan itu kembali terdengar, dekat sekali di telingaku.
Mbak Lastri..!
Dia melayang di sampingku, hanya sejengkal dariku. Sekejap kulihat dia melayang menembus pintu dan menghilang. Anehnya, detik itu pandanganku dapat melihat menembus pintu dan dinding kamar. Aku melihat sosoknya melayang diam beberapa saat di tengah koridor kos, lalu melesat keatas.
Blaaarrrr..!! Terdengar suara ledakan keras dari atas atap.
Aku masih terbengong saat kulihat lagi sosok Mbak Lastri muncul lagi di tengah koridor, kali ini menghadapku. Wajah cantiknya tersenyum. Lalu ia menghilang. Dan pandanganku kembali tertumbuk pada pintu dan dinding kamar. Kulirik Fay dan Lia di sampingku. Mereka masih tertidur pulas tak terganggu sama sekali dengan suara-suara itu.
Hiii…
Aku bergidik ngeri. Aku melompat ke atas tempat tidur dan hendak menutupi wajahku dengan guling, saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Lia muncul menyunggingkan senyum sembari mengelus-elus perutnya. "Ah, lega. Mules banget tadi. Kamu kok bangun, Fel?"
Lho..! Lho..!
Aku langsung berbalik melihat ke sebelah Fay berbaring.
Kosong!
Ω Ψ Ω
"Kamu ngapain sih, Fel? Tumben ngajak aku ke kosnya Tomas. Mana pagi-pagi gini.." protes Fay.
"Ayolah, please.. Ada yang mau aku omongin sama Nanta," rayuku.
"Emang telpon nggak bisa ya? Lagian baru semalem kamu ketemu kan?" kelit Fay malas.
"Susah deh aku jelasin Fay. Ayolah, please..." Aku memohon.
"Hmmhh, ya udah. Tapi ntar kalau Tomas nggak ada, aku pulang lho ya! Aku ngga mau jadi obat nyamuk."
"Ada.. Adaa.. Percaya deh," rayuku lagi.
Satu jam kemudian, "Janti! Jantii..!" seru kenek bus kota yang kami tumpangi. Aku dan Fay beranjak dari kursi yang kami tempati dan melangkah turun. Melewati beberapa gang tak jauh dari pertigaan Janti, sampailah kami di depan kos di mana Nanta dan Tomas tinggal.
"Tuh kan sepi, Fel.." ucap Fay lemas. Di depan gerbang kosnya yang terbuka sebagian, terlihat deretan kamar kos yang tertutup dan beberapa sepeda motor terparkir di halaman maupun selasar depan kamar. Aku langsung mengenali GL Pro hitam milik Nanta di situ.
"Padahal udah jam sembilan ya, Fay.." balasku.
Fay melangkah masuk ke kos itu dan mengetuk pintu kamar ketiga terhitung dari depan. Tok..tok..tok..!
"Mas..! Tomaass..!," panggilnya, sementara aku berdiri mengekor di belakangnya.
Fay mengernyitkan keningnya padaku. "Lha, kamu ngapain ngikut aku, Fel? Dah sana ketok pintunya Nanta!"
"Yang mana, Fay?" tanyaku balik.
"Ya ampun, lupa aku, kamu belum pernah kesini yaa.." Fay menepuk jidatnya. Ia menunjuk ke kamar yang terletak paling ujung sederetan dengan kamar Tomas tadi. "Tuh, yang depannya ada meja karambol. Ketok aja. Palingan masih tidur tuh anak."
"Fay..?! Ngapain pagi-pagi kesini?" Suara Tomas tiba-tiba mengagetkan kami. Ia muncul dari tangga menuju lantai dua sambil membawa ember. "Eh, Feli..ikut juga?" lanjutnya.
"Nganterin yang lagi kasmaran," jawab Fay meledek.
"Dih, enak aja.." sanggahku.
"Ya udah sana, buruan ketok kamarnya tuh!" ucap Fay sambil melangkah masuk kamar menyusul Tomas.
Tok..tok..tok..!
"Siapa..?" Terdengar suara Nanta bertanya dari dalam kamar.
"Feli.."
Bruk..!
Terdengar suara benda terbentur.
"Bentar yaa.." Sesaat kemudian pintu kamarnya terbuka. Ia muncul dengan rambut masih acak-acakan sambil mengelus kepalanya. "Eh, Feli?! Kamu kok bisa sampai di sini?" tanyanya terperanjat.
"Nggak boleh..? Ya udah aku pulang." Aku menatap galak dan hendak membalikkan badan.
"Eh..eh..! Ya boleh lah. Eh, bentar ya aku cuci muka dulu," ucap Nanta cepat sambil masih mengelus kepalanya.
"Kenapa kepalanya?" tanyaku heran.
"Hehehe. Kejedot tadi, kaget kok pagi-pagi dibangunin bidadari," jawabnya dengan senyum tidak jelas.
"Gombal!"
Tak berapa lama ia kembali dari kamar mandi dan mengajakku masuk ke kamarnya. "Gimana, Fel?"
"Nan, semalem kejadian lagi!" Aku membuka cerita. Kami duduk di lantai di dalam kamarnya yang cukup rapi untuk ukuran cowok. Tidak nampak baju kotor yang bertebaran atau asal digantung.
"Oh ya? Gimana, coba ceritain." Ia menjawab antusias.
"Eh iya, mau teh? Aku masak air dulu yaa.." lanjutnya.
"Dah, nggak usah. Ntar aja sekalian makan," jawabku pede akan ditraktir. Kemudian aku menceritakan secara mendetail kejadian yang kualami semalam, ditingkahi perubahan ekspresi wajahnya saat menyimak ceritaku.
"Mbak Lastri kok sampai berkali-kali gitu nampakan diri ke aku ya, Nan?" tanyaku setelah mengakhiri ceritaku. Ia terdiam, matanya menatap ke dinding di atas kepalaku kemudian beralih menatap mataku lagi. Seperti ada sesuatu yang hendak dia katakan. "Kok diem, Nan..?"
"Kamu bosen dengerin aku ya?" lanjutku.
Pertanyaanku barusan membuatnya tersenyum. "Ya nggak lah, Fel. Kan aku udah bilang kamu bisa cerita apa aja ke aku."
"Lha itu diem?"
"Kan meresapi ceritamu, Fel. Sambil mikir gimana aku bisa bantu."
Sekarang ganti aku yang terdiam.
Aku cuma butuh kamu dengerin aku dan nggak nganggep aku gila. Cuma itu aja aku dah seneng. Ohya, ada satu lagi…bisa bareng kamu kaya gini.
Oh, come on Felicia Putri..! He is not yours.
"Sorry, Fel. Nanya aja lho ya. Jangan marah," ucapnya tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
"Iya, apaan?"
"Nggak, mmm. Kamu pernah pake jimat atau ilmu gitu nggak?" tanyanya dengan nada hati-hati.
"What..?! Kok kamu bisa nanya gitu?" Sewot kujawab pertanyaannya.
"Tuh kan, aku bilang tadi jangan marah."
"Nggak marah sih, cuma aneh aja ditanya gitu," jawabku.
"Gini lho kenapa aku tanya kaya gitu. Dari yang kutahu nih ya. Mereka, maksudnya makhluk gaib, suka nempel sama orang yang punya jimat atau ilmu gaib gitu. Atau bisa juga mereka ikut dalam jimat atau benda yang dipegang seseorang." Ia menjelaskan dengan nada lembut.
Melihatnya menjelaskan dengan simpatik begitu, aku jadi menyesal tadi sempat membentaknya. "Nggak pernah sih, Nan. Nggak tahu juga aku sama hal kaya begitu."
"Atau mungkin, jangan-jangan kamu Indigo?"