"Sekarang pejamkan mata dan mendekat ke tubuh Nia. Ingat, jangan sekali-kali kamu buka mata sampai nanti aku perbolehkan. Oh ya, satu lagi, setelah ini tolong lupain aku ya, Nan. Sayangi dia seperti kamu sayang sama aku."
"Ta-tapi, Di.."
"Aku udah harus melepaskan semua urusanku di dunia ini, Nan. Aku akan ada di cahaya selamanya. Sekarang ijinkan aku membantu kalian untuk terakhir kali. Aku sayang kamu, Nan.." Kini tubuh Nia langsung melemah dan jatuh lunglai di pelukanku.
"Aku juga sayang kamu, Di.." Aku meratap.
Tiba-tiba kurasakan seperti seseorang memegang erat lenganku dan tubuhku tertarik ke atas. Dapat kulihat meja gambar, sofa dan benda-benda lain di kamar ini berada di bawah kakiku. Astaga, aku melayang di udara!
Spontan kuarahkan pandanganku dan kutemui Di melemparkan senyumnya padaku sebelum ia mengalihkan pandangannya ke atas. Aku teringat pesannya untuk memejamkan mata. Dan dalam sekejap kurasakan tubuhku melesat dengan kecepatan yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata.
Ω Ψ Ω
FELICIA PUTRI
"Ya ampun, mimpi apa lagi tadi?" Aku bergumam pada diriku sendiri. Kucoba bangkit tetapi mendadak kurasakan pedih di bagian perutku. Aku meraba ke balik bajuku dan dalam keremangan kudapati telapak tanganku berlumuran cairan berwarna merah. Dari bentuk dan aromanya aku tahu ini darah. Ya Tuhan!
Dong.. Dong.. Dong..!
Jam lonceng di rumah Tante Santi berbunyi tiga kali menandakan pukul tiga dini hari. Kutengok Lia yang masih nyenyak tidur di sebelahku. Segera aku membuka kancing piyama yang kupakai di bagian perut. Terlihat beberapa goresan di kulitku yang masih mengeluarkan darah, mirip seperti bekas cakaran hewan namun lebih dalam. Pedih sekali. Luka ini pasti karena perempuan berwajah rusak yang tadi sempat mencengkeramku.
Astaga..! Jadi tadi itu…bukan mimpi!
Tapi bagaimana aku bisa kembali kemari?
Belum habis kebingunganku, tiba-tiba tubuh Lia menggeliat lalu duduk dengan gerakan layaknya boneka tali. Masih dengan kedua mata terpejam, ia menoleh padaku. "Feli.." Ia memanggil namaku. Tetapi itu bukan suaranya!
Kembali bulu kudukku meremang. Inikah yang disebut kerasukan? Di antara ketakutanku, aku berpaling menghadapnya di sebelahku dan berkata, "Mb-Mbak Lastri..?"
Lia, atau Mbak Lastri dalam tubuhnya, mengangguk pelan. "Iya. Aku terpaksa pakai badan temanmu ini supaya aku bisa bicara sama kamu."
"Kamu harus pergi dari sini sekarang!" Ia melanjutkan dengan suara tegas.
"Pergi? Maksud Mbak?" tanyaku terkejut dan bingung sekaligus.
"Kamu ingat dua makhluk yang menyerangmu tadi? Mereka nggak akan berhenti sebelum mendapat apa yang mereka inginkan. Lingkaran pelindungku di kamar ini tidak akan bertahan."
Semua yang kualami dan kudengar ini semakin tidak masuk akal. Dan kini katanya aku harus pergi karena makhluk gaib menginginkan aku? Apa memangnya salahku? "Mereka ingin apa dari aku?"
Kedua mata Lia tiba-tiba terbuka, namun hanya bagian putih dari bola matanya saja yang terlihat. "Aku nggak bisa kasih tahu kamu lebih banyak lagi. Tenagaku sudah terkuras untuk mengusir mereka. Cepat, Feli! Sekarang juga kamu harus keluar dari sini. Aku akan lindungi kamu."
"Tapi, gimana sama temen-temen disini. Fay, Lia, dan lainnya..?"
"Tenang, temen-temenmu nggak akan diganggu. Tujuan mereka hanya kamu."
"Ta-Tapi.."
"Sekarang pejamkan matamu. Jalanlah keluar kamar dan ikuti bisikanku kemana arahmu berjalan. Jangan pernah kamu buka matamu karena sekarang kamu ada di antara dua dunia. Semua yang nanti kamu lihat akan membingungkan dan kamu pasti tersesat." Badan Lia bergetar hebat. Sesaat sebelum tubuhnya kembali jatuh ke posisi semula, ia berteriak, "Cepat, pejamkan matamu sekarang!"
Braakk..!
Tiba-tiba pintu kamar terhempas terbuka. Aku cepat-cepat memejamkan mata mengikuti instruksi Mbak Lastri. Sesaat sebelum kedua mataku terpejam, sekilas aku melihat kegelapan pekat di luar kamar.
"Sekarang jalan lurus saja!" Terdengar bisikannya dekat sekali di telingaku. Mungkin aku sudah gila atau aku masih bermimpi, entahlah, tapi aku tetap menuruti petunjuknya untuk melangkah lurus keluar kamar yang berarti aku masuk menembus kegelapan pekat di hadapanku. Aku melangkah perlahan.
"Grrrrrrhhh.. Grrrhhh…" Terdengar geraman layaknya hewan buas tengah bersiap mengoyak mangsanya. Asal suara itu dekat sekali sehingga membuatku ragu untuk tetap melangkah.
"Hiii.. Hiiii.. Hiii. Mau kemana anak manis..?" Kini ada suara tawa mengerikan seorang perempuan yang terdengar, seolah ia hanya berada beberapa langkah saja dariku. Sontak aku menghentikan langkah. Hampir saja aku membuka mataku ketika bisikan Mbak Lastri kembali terdengar, "Terus, Feli! Jangan dengar apapun selain aku!"
Aku pun melanjutkan langkahku. Geraman hewan itu masih terdengar dekat namun aku terus berjalan. "Felicia Putri..! Mau kemana kamu jam segini?!" Tiba-tiba suara khas Tante Santi saat sedang marah menghadang di depanku.
"Lompat ke kiri, Feli!" bisik Mbak Lastri cepat. Refleks aku melompat ke kiri sampai tubuhku jatuh ke lantai. Tunggu dulu, ini bukan lantai.
Aku meraba permukaan lantai di bawahku, terasa seperti memegang tanah berumput yang lembab dan basah. Sedetik kemudian kurasakan lengan kananku pedih dan panas. Sepertinya tadi sesuatu sempat mencakar atau menggores kulitku ketika aku melompat.
"Bangun! Jalan lurus ke depanmu!" Aku tertatih bangkit mengikuti bisikannya. "Aduh..!" seruku. Kakiku terbenam dalam tanah berumput yang kuinjak, mungkin sebatas lutut. Sekuat tenaga aku tetap berjalan, langkah demi langkah melalui benaman tanah ini. Biarpun susah payah begitu, aku tetap tak mau mengintip.
"Sebentar lagi sampai. Cepat!" bisiknya memburu. Tekanan tanah di kakiku berangsur ringan walaupun masih belum mencapai permukaan yang keras untuk dilangkahi. Aku semakin mempercepat langkahku. Aku tak ingin terperangkap di alam yang asing dan menakutkan ini. Tetapi beberapa saat kemudian, terdengar suara Mbak Lastri sangat lemah berkata padaku, "Maaf, aku udah nggak bisa kawal kamu lagi. Jaga dirimu, Fel!" .
"Mbak.. Mbak Lastrii..!" Aku berseru memanggil namun sepertinya ia kini sudah benar-benar menghilang. Mati aku!
Sekitar delapan sampai sepuluh langkah aku berjalan terseok-seok, dari depan sana membayang cahaya terang di antara mataku yang masih terpejam.
Ayo Feli..sedikit lagi..! Tuhan, tolong aku.
Buukk..!
Sesuatu menghantamku dari samping membuat tubuhku terpental jauh, diikuti suara geraman hewan yang sedari tadi mengikutiku. Belum sempat aku mengambil nafas, sesuatu menerjangku dan menghantam dadaku berkali-kali.
Braakk...!
Kurasakan tubuhku terlempar di udara lalu menghantam benda-benda keras sebelum akhirnya terhempas di lantai. Aku meringkuk kesakitan, sekujur tubuhku terasa remuk redam. Terasa ada yang menetes dari bibir dan hidungku. Asin rasanya. Darah..!
Aku membuka mataku, sesuatu yang sejak awal dilarang oleh Mbak Lastri. Dalam bayanganku akan melihat makhluk-makhluk mengerikan itu lagi. Namun yang ada di sekitarku ternyata lebih membuatku terpana.
Bagaimana tidak, aku kini berada di dalam sebuah ruangan sangat luas dengan dinding dan lantai berkilau keemasan dan langit-langit yang jika diukur dari bawah tingginya setara dengan gedung bertingkat tiga, beberapa kali lebih luas dari hall terbesar yang pernah kudatangi. Nun jauh di depan nampak sebuah singgasana megah berwarna merah menyala di mana di depannya tengah berdiri sesosok wanita cantik berambut panjang yang mengenakan jubah panjang serba hijau dengan dalaman berbelahan dada rendah. Wajah cantiknya menyeringai sadis.