Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 24 - Bertahanlah

Chapter 24 - Bertahanlah

Mataku tak berkedip menatap bocah kecil yang tengah bermain boneka sambil bersenandung lagu kesukaanku sore ini,

I'll be loving you forever

Just as long as you want me to be

I'll be loving you forever

All this love's for you and me, yeah..

Lirik lagu romantis itu meluncur dari mulutnya dengan pengucapan cadel khas anak di bawah tiga tahun. Sadar kuamati, ia menoleh dari tempatnya duduk bersila di lantai teras belakang rumah. "Mami kenapa diem? Biasanya ikut nyanyi sama aku?"

Aku hanya tersenyum memandangi ekspresi lucunya. Ia membalas senyumku dan kembali memainkan boneka anak kecil berambut kepang dua dari bahan kain, kesayangannya sejak ia berumur setahun. Dan kularut kembali dengan majalah yang kubaca sembari mengaduk teh dalam cangkir di meja makan depan ku duduk. "Erina, kamu mau teh juga nggak, Sayang?" tanyaku. Mataku menyelesaikan sebaris lagi dari alinea cerita pendek di majalah kemudian kulirik ke arahnya bermain boneka dan tak kutemukan dia di sana. Boneka kainnya tergeletak di lantai. "Erinaa..!" panggilku lagi. Tak mendengar jawaban, aku meninggalkan majalah yang kubaca dan mencarinya ke kamar kami yang berada tepat di sebelah ruang makan, salah satu tempat ia biasa bermain. "Ah, kamu di sini. Lagi ngapain, Sayang?"

Erina tengah berdiri menghadap dinding di samping tempat tidur kami. "Ini Mi, si Ela dateng lagi," jawabnya singkat. Kedua tangan bocah dua tahun ini menjulur ke depan seperti berpegangan tangan dengan seseorang, padahal tak ada seorang pun bersamanya. "Ayo sini, kamu mau main lagi?" ucapnya dengan mata berbinar.

Deg..!

Meskipun ini bukan pertama kali kami alami, tetap saja aku tidak terbiasa dengan hal semacam ini. Apalagi menyangkut anakku satu-satunya, alasanku bertahan menjalani hidup. "Oh, si Ela ya. Bilang sama dia, kalau ngajak main besok aja gitu ya. Sekarang kan Erina mau main sama Mami," bujukku kemudian.

Erina menyimak ucapanku dan mengangguk. "Ela, mainnya besok aja ya. Aku mau main sama Mami." Sedetik kemudian ia menoleh lagi kepadaku lalu menggeleng pelan. "Ela nggak mau, Mi. Sebentar aja katanya. Nggak papa ya, Mi."

Dan jantungku seakan berhenti berdegup ketika menatapnya menghilang menembus dinding kamar kami.

"Erina..!"

Ω Ψ Ω

Semula aku ragu hendak datang ke tempat ini tapi nuraniku memaksa untuk tetap datang. Ruang B di rumah duka yang kudatangi tampak sepi menjelang tengah malam itu. Keluarga mendiang telah kembali ke rumah untuk beristirahat, kulihat hanya ada tiga orang pria yang tinggal di ruangan menemani jenasah yang disemayamkan. Dari seragam yang dikenakan, sepertinya satu orang diantara mereka adalah petugas rumah duka. Aku mengangguk sopan dan tersenyum kecil pada kedua orang pria yang sedang duduk-duduk di bangku dekat pintu masuk ruang B. Mereka membalas anggukanku dan dengan sopan mempersilahkan aku masuk. "Maaf, Pak. Saya kemalaman sampai di sini. Bapak tidak keberatan kan kalau malam begini saya ingin memberikan penghormatan terakhir pada beliau?"

"Oh nggak papa, Mbak. Kebetulan besok pagi sudah ibadah tutup peti. Silahkan, Mbak," balas salah seorang dari mereka sembari menunjuk ke dalam ruangan di mana peti jenasah berada di antara karangan bunga dan lilin yang masih menyala. "Oh ya, maaf, Mbak ini dari mana…?" tanya seorang yang lain.

"Saya temannya, Pak. Adik kelas di kampus," jawabku berbohong. Aku melangkah perlahan menuju peti itu, membuat tanda salib dan menunduk memberi hormat di depan meja kecil di mana terdapat sebuah salib kecil dan foto mendiang semasa hidup.

Air mataku mengalir deras saat memandang wajahnya yang tersenyum cantik dengan mata terpejam seolah tertidur lelap dalam balutan gaun putih di dalam peti kayu berukiran indah. "Mbak, aku tahu aku nggak layak buat berada di sini," ucapku lirih. Bibirku bergetar menahan tangis. "Aku cuma mau bilang maafin aku, Mbak, udah bikin Mbak jadi begini. Aku benar-benar minta maaf, Mbak.." Kata-kataku terhenti oleh tangis yang tak dapat kutahan lagi.

"Mbak, aku ngga tahu lagi kata-kata apa yang bisa aku ucapin. Seandainya ada yang bisa aku lakuin buat nebus semua ini, Mbak.. Aku rela, Mbak..," bisikku pilu di tengah memandangi wajahnya yang terpejam seakan tengah tertidur. Kutahan diriku sekuatnya agar tidak roboh pingsan di tempat ini.

Ω Ψ Ω

Putih.

Langit-langit ruangan berwarna putih, itulah hal pertama yang kulihat saat membuka mata. Botol infus dengan cairan yang menetes melalui selang kecil menyadarkanku sedang berada di rumah sakit. Kurasakan nyeri pada pergelangan tangan kiriku yang diperban, tampak noda darah membekas pada perban itu.

"Erin, kamu dah sadar sayang?" Lembut sekali suara itu menyapaku. Mami beranjak dari kursi, terlihat dari wajahnya yang kusut sepertinya ia baru saja terbangun dari tidur di kursi yang ia letakkan di sebelah tempat tidur di mana aku terbaring. Sementara di sisi lain, Daddy berdiri di dekat kaki tempat tidurku. Pria Irish bertubuh tinggi kurus itu memandangku dengan matanya yang hijau kebiruan. Ia tersenyum kemudian mengedipkan mata kirinya, ciri khasnya jika sedang bercanda denganku.

"Mi, kok aku bisa ada di sini?" Kepalaku terasa pusing setelah mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi pada diriku.

"Udah, kamu istirahat aja ya sayang," bujuk Mami seraya mengelus-elus kepalaku.

"Iya, tapi Mami jawab dulu," paksaku.

"Udahlah, Sayang, yang penting sekarang kamu cepet sembuh." Air matanya menetes satu per satu dan cepat-cepat diusapnya agar aku tak melihatnya. Daddy juga mengalihkan wajahnya ke jendela. Aku sempat melihat ia juga menitikkan air matanya.

"Mami, kenapa Mami nangis? Daddy juga kenapa nangis?"

Dan saat itu kilasan kejadian yang menyebabkan aku bisa di sini, terputar kembali di ingatanku. Rasa bersalahku atas meninggalnya Mbak Lastri dan juga pria yang namanya tak ingin kuucapkan lagi, Leon, telah membuatku tertekan selama berminggu-minggu. Dan puncaknya aku coba mengakhiri hidup dengan menyayat pergelangan tangan kiriku, tepat di posisi di mana sekarang perban putih membalutnya. Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan..?

Aku kembali menangis.

"Erin sayang, udah jangan nangis lagi. Tidur lagi, ya Sayang," bisik Mami lalu memelukku.

Daddy beringsut dari tempatnya semula dan berdiri di sampingku. Tangannya mengelus lembut keningku. "Erin, please promise Daddy ya. Don't try to leave us again. We love you so much, Honey."

"Iya, Sayang. Erin jangan tinggalin Mami ya. Mami tahu selama ini nggak pernah mau dengerin kamu, Mami minta maaf. Sekarang Erin bisa cerita apapun sama Mami dan Daddy. Pokoknya apapun yang terjadi Mami dan Daddy nggak akan marah." Ucapan mereka yang belum pernah kudengar sampai aku sedewasa ini membuatku semakin larut dalam tangis.

"Iya Mi, Dad, aku janji. Maafin Erin juga ya, Mami, Daddy.."

Mami mengecup pipiku lembut dan berucap, "Iya, Sayang, sekarang istirahat ya, kasihan kandungan kamu.."

What...?!