"Mas Nanta, bangun!"
"Mas ..." Suara cempreng Nia yang menyusup masuk ke dalam rongga telinga, seketika mengejutkanku. "Iih, gimana, sih? Bukan bantuin malah ikutan tidur?!" lanjutnya, masih dengan frekuensi dan amplitudo yang sama.
Hah, tidur?
BRAAK..!
Tubuhku terjengkang ke lantai bersama kursi kerja beroda, yang kududuki. Tawa Nia pecah selagi aku terkapar di lantai. Beberapa saat aku hanya bisa memandang sekeliling dengan perasaan bingung terdisorientasi. "Di, Feli..."
Mata bulat bola ping-pong Nia tiba-tiba muncul di depan wajahku. "Hayo, habis mimpiin Mbak Feli, ya?"
Jujur, aku sendiri bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Aku masih belum mengerti kejadian demi kejadian yang barusan kualami itu hanyalah mimpi semata atau kenyataan menyeramkan? Atau malah kombinasi keduanya?! Entahlah.
"Hmm, pantesan tidurmu enak banget, Mas. Sampai ngiler di kalkir," lanjutnya.
"Enak aja. Kamu, tuh, ngiler di sofa." Dengan bersungut-sungut kuangkat tubuhku dari lantai. "Jam berapa, nih, Ya?"
"Udah hampir jam empat pagi, Mas."
What?!
"Mas, mbantuinnya terusin, dong. Dikit lagi, kan." Sorot mata Nia redup mengiba. Aku menatap sekilas gambar konstruksi di meja gambarnya. Astaga, ternyata belum selesai deritaku.
"Nia, sekarang itu giliran kamu. Tuh lihat, gambar detail toilet yang tinggal kurang sedikit aja belum kamu sentuh." Aku memencet hidungnya gemas.
"Please, Mas. Please."
Rupanya gelombang suaraku tadi tak dapat menembus masuk ke dalam telinganya. Dasar!
"Tapi ada syaratnya …," jawabku kemudian.
"Apaan?"
Aku menunjuk pipiku.
"Ok, siapa takut? Sini, deh, yang penting tugas kelar." Ia langsung memonyongkan bibir. Gawat!
Tepat pukul tujuh pagi, aku sudah meluncur di atas sepeda motorku membelah ramainya lalu lintas pagi kota Jogja. Tak kupedulikan protes Nia akan tugas gambarnya yang belum selesai.
"Udah jam setengah tujuh. Terusin sendiri, Ya. Aku mau mandi, ada perlu."
"Mas Nanta, tanggung kurang dikit doang."
"Nah, kurang dikit, kan. Berarti kamu bisa selesaiin sendiri." Tanganku bergerak mencolek ujung hidungnya. Selarik garis noda tinta rapido pun menghiasi wajahnya yang cemberut.
Felicia, aku harus ketemu kamu sekarang.
Kutarik gas dalam-dalam, meliuk-liuk mendahului barisan mobil dan motor yang memadati jalanan di depanku. Tidak sampai lima belas menit kemudian, aku sudah tiba di depan gerbang kosnya. Baru saja jariku mendarat pada tombol bel yang menempel di tembok pagar, mendadak pintu depan rumah itu terbuka. Sosok cantik mungil yang semalaman tadi bersamaku itu muncul dari balik pintu. Ia memicingkan mata sejenak sebelum melangkah melewati halaman menemuiku.
"Nanta?" Tatapnya terkejut melihatku.
"Mmm. Hai, Fel."
"Tumben, pagi-pagi?"
"Pengen ketemu kamu."
"Oh ya? Kok sama? Eh ..." Ia tersipu menutup bibirnya dengan sebelah tangan.
Segera dibukanya pintu gerbang dan mengajakku masuk ke teras. Kursi teras berbahan anyaman rotan menjadi saksi canggungnya suasana kami berdua.
Wajahnya menyiratkan hendak mengucapkan sesuatu yang tertahan. Demikian pula aku yang bingung hendak berkata memulai dari mana. Kami hanya terdiam saling mencuri pandang.
Setelah beberapa helaan nafas, "Nan, semalam aku ..."
"Fel, tadi malam aku ..."
Ucapan kami keluar hampir bersamaan. Tangannya bergerak cepat menutup mulutnya dengan alis mata terangkat. Begitu pun aku, sama terperanjatnya. Jantungku berdegup semakin cepat.
"Nan, apa kamu mau ngomong kalau semalam itu, kita …"
Aku mengangguk cepat memotongnya. "I-Iya, Fel. Itu juga yang mau aku bicarain sama kamu."
"Oh, My God!" Kedua tangannya memegangi pipi dengan ekspresi tak percaya.
"Jadi..," Ia mengerjapkan mata beberapa kali, "Yang kita alami bukan mimpi?"
Aku menatap lekat wajahnya. "Aku juga nggak tahu, Fel."
"Jika itu mimpi, berarti kita memimpikan hal yang sama," tambahku.
Kami saling bertatapan dalam kebingungan yang sama. Detik berikutnya kusadari ia telah memeluk erat tubuhku. "Terima kasih ya, Nan." Ia menengadah menatap wajahku.
"Terima kasih? Buat apa?" Agak ragu kubalas pelukannya.
Kedua bola mata coklat itu menatapku hangat. "For being there for me."
Susunan kata demi kata yang meluncur dari bibirnya barusan terdengar seperti suara bidadari di telingaku. Entah setan atau malaikat mana yang menggerakkanku, sesaat kemudian kudapati bibirku telah mendarat lembut di bibirnya. Matanya terbelalak sesaat, lalu terpejam kembali. Ia membalasku, lebih …
₡ ₡ ₡
FELICIA PUTRI
Nanta! Dia menciumku!
Di antara ketertegunanku, tiba-tiba kusadari bibirku telah menyambut ciumannya, bagai mesin otomatis.
Feli! What are you doing?!
Ah, come on. He kissed me first, right?!
Sepuluh detik, waktu yang berlalu saat kami berciuman. Kurasa. Mungkin lebih. Aku tidak tahu bagaimana rupaku ketika ia perlahan mengangkat wajahnya dari wajahku dan menatapku. "Maaf ya, Fel," ucapnya perlahan.
"Maaf? Maaf kenapa?"
"Nggak ijin dulu."
"Apaan sih?"
"Yang barusan."
Gubraak! Pake dibahas lagi.
"Nanta, iih..!" Kutinju lengannya gemas.
₡ ₡ ₡
Hawa panas di udara terasa membakar kulit, menembus kemeja biru tipis yang kukenakan. Keteduhan dari dedaunan yang memang tidak begitu rindang di atas warung hampir tidak menolong memberi kesejukan bagi kami yang duduk di bawahnya. Semangkuk mi ayam bergelimang saus dan sambal di hadapanku semakin menambah gerahnya siang ini. Mungkin inilah rasanya jika menjadi ayam yang diungkep di dalam loyang penggorengan. Nanta mengajakku makan siang di warung langganannya sehabis acara "penembakan" tidak resmi di teras kos tadi pagi. Dan saat ini ia sedang menghabiskan porsi keduanya.
Ajaibnya di tengah-tengah kegerahan ini, sepasang sejoli di meja seberang tampak cuek saling menyuapi. "Kenapa, Fel? Pengen disuapin juga?" Nanta cengengesan di depanku.
Aku hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan tidak pentingnya itu. Sedari pagi kami berdua bercerita silih berganti tentang peristiwa aneh bin ajaib yang kami alami semalam. Dan hasilnya sampai sekarang aku tetap masih tidak mengerti bagaimana kami berdua bisa ada di sana, dan dapat kembali di tempat kami semula. Aku yakin Nanta pun merasakan hal yang sama.
"Nan, kamu inget nggak anak perempuan yang nolong kita semalam?"
Ia mendongak. Beberapa lembar mi masih menjulur di antara mangkuk dan mulutnya. "Eh, hmm. Iya."
"Siapa namanya, eh, Erina?" lanjutku.
"Iya, Erina. Siapa ya anak itu? Anak betulan atau jadi-jadian?"
"Aku juga penasaran, Nan."
"Memang kamu nggak bisa nerawang gitu, Fel?" bisiknya, khawatir terdengar oleh pengunjung lain.
"Heh? Nerawang?" balasku turut berbisik.
Matanya berbinar menatapku. "Iya. Ingat, kan, kekuatanmu? Sinar itu?"
"Kurasa kamu punya bakat istimewa, Fel," lanjutnya.
"Maksudmu?"
Bola matanya menatapku tajam. "Semacam cenayang gitu, Fel."
Aku terdiam merenungi ucapannya. "Cenayang? Bisa aja kamu, Nan. Sampai sekarang aja aku masih nggak ngerti gimana bisa ada di alam itu dan ketemu kamu pula."
"Aku bener-bener nggak merasa punya bakat apa-apa, Nan," lanjutku.
Ia tiba-tiba meraih dan menggenggam tanganku. "Kamu punya, kok, Fel."
"Punya apa maksudmu?" kejarku.
"Ya itu, bakat …" Genggaman tangannya semakin erat. "Berbakat jadi someone special in my heart."
Gombal! Namun tak urung aku tersipu mendengarnya walau kutahu ia hanya menggodaku. "Kamu, Nan, gombal banget. Paling gitu juga rayuanmu ke temen-teman cewekmu yang banyak itu, ya?" sindirku kemudian. Ia tersenyum salah tingkah. Dari gelagatnya kutebak ia tidak berani menjawab sindiranku. Atau mungkin lebih tepatnya tidak mau memperpanjang masalah. Tahu sendiri kan jika berurusan dengan kaum wanita soal masa lalu pria. Sampai dunia kiamat pun masih akan diingat terus kesalahan si pria. "Awas aja kalau masih berani gitu!"
"Siap, Tuan Putri." Wajahnya sumringah.
Dasar!