WUUT..!
Kepalanya bergerak cepat. Mulutnya membuka lebar memamerkan taring-taring besar tajam mencuat mengerikan. Sekejap kemudian ia melesat menyerangku. "Blawu Braja!" teriak suara di kepalaku. Waktu bagaikan berjalan lambat ketika kedua kepalan tanganku bergerak menghantam rahang menganga ular raksasa yang hendak menelanku bulat-bulat itu.
DUAARR..!
Kepalanya terpental ke atas diikuti tubuhnya yang turut melayang dan meliuk di udara akibat membentur dua larik sinar biru yang membungkus lenganku. Hampir seperti seutas tali tambang yang dilempar ke udara, ia terkulai jatuh berdebum ke bumi. Selagi aku terbelalak keheranan menatap kedua tanganku, sosok ular besar itu berubah menjadi asap tebal.
Aku bersiap kembali menghadapi kejutan selanjutnya. Namun setelah asap itu menghilang, sosok ular itu turut lenyap, berganti dengan empat perempuan bersisik tadi. Mereka bangkit tertatih dengan sekujur tubuh terluka di sana-sini.
"Cukup!" Tiba-tiba seorang kakek berjanggut panjang memutih muncul dari kegelapan. Suara bentakan keras dan tegasnya menggetarkan seisi goa. Para perempuan itu menatap ketakutan. Dengan wajah gentar mereka undur serempak menghilang kedalam kegelapan. Kakek tua itu berdiri menghadapku. Tampak jubah panjang berwarna putih menutupi tubuh hingga kakinya. Rambut panjangnya yang telah memutih digelung rapi di atas kepala, mirip seperti tokoh Petapa atau Mahaguru dalam film silat kolosal. Ia memandangku dengan sorot mata yang lembut. "Salam, cucuku." Suaranya mirip sekali dengan suara yang sedari tadi membimbingku. "Kamu telah lulus dari ujian tadi," lanjutnya. Ia melangkah mendekat.
Cucu? Ujian?
Aku hanya berdiri tertegun kaku. Bibirku seolah terkunci tak dapat mengucap apapun.
"Sekarang kembali ke duniamu. Ingatlah satu hal, pergunakan kelebihan yang kamu miliki untuk kebaikan," perintahnya dengan nada bijak.
Kelebihan? Apa maksudnya?
Lalu sosok kakek itu perlahan memudar dari pandangan. Sebelum ia menghilang sepenuhnya, kuncian di bibirku mendadak terlepas. Aku mengucap pelan, "Terima kasih, Kakek …"
Ia mengangguk dan tersenyum.
"Maaf, Kek. Boleh aku tahu siapa Kakek dan bagaimana aku bisa ada di sini?"
"Aku Selo Wisanggeni." Suaranya menggema keras di ruangan gua berbarengan dengan sosoknya yang menghilang sempurna.
₡ ₡ ₡
Tok.. Tok.. Tok..!
"Nan, Nantaa ..!" Sukmaku rasanya seperti direnggut seketika dari alam di mana aku berada ketika kudengar bunyi ketukan berkali-kali di pintu kamarku diikuti suara seseorang memanggil-manggil namaku. Aku menggeliat bangkit.
DUKK..!
"Aduh!" Kepalaku dengan mantap membentur kaki meja sewaktu diriku tengah mencoba bangkit dari lantai kamar di mana aku tidur hanya beralaskan karpet plastik semalam. Kuelus-elus keningku yang baru saja beradu dengan kayu keras tadi. Mimpi yang aneh.
"Naan! Dah bangun belum?" Suara merdu itu terdengar lagi.
Feli..!
Setengah melompat aku beranjak membuka pintu dan wajahnya langsung tersenyum memandangku. Ia terlihat cantik sekali mengenakan jaket tipis berwarna biru muda berpadu dengan kaos putih ketat di dalamnya dan celana jins hitam sebagai bawahan, sementara rambut sebahunya diikat ke belakang. "Hai, Nan," sapanya riang.
"Eh, kamu, Fel. Sama siapa kesini? Naik apa?" Kujulurkan kepala keluar kamar.
"Sendiri, tadi naik bis," jawabnya merangkum pertanyaanku.
"Jam segini baru bangun?"
"I-iya."
"Udah jam sebelas, tahu?! Semalem begadang?" lanjutnya.
"Hehe. Iya, itu, tugas RAB belum kelar." Aku menunjuk tumpukan gambar dan kertas hitungan di atas meja. "Eh, masuk, Fel. Sorry, nih, agak berantakan." Kugandeng ia masuk.
"Ih, Nanta bau. Mandi dulu, gih!" Ia mendorong tubuhku pelan.
"Tapi suka, kan?" godaku sambil mendekatkan tubuhku.
Ia langsung menghindar sembari menjulurkan lidahnya.
Cepat kuambil sepasang pakaian dari lemari, meraih handuk yang tergantung pada tali yang melintang di antara tiang selasar depan kamar lalu melesat ke kamar mandi yang terletak di sudut belakang bangunan kos. Bagaikan kilat aku mandi dan berganti baju. Untung saja tidak ada anak kos lain yang sedang memakai kamar mandi. Ketika kembali ke kamar, dari sela pintu yang separuh terbuka kulihat ia duduk bersila di atas kasur busa yang belum sempat kusandarkan di dinding. Matanya menatap kosong ke depan.
Dengan berjingkat aku masuk ke kamar dan membelai rambutnya perlahan. Ia terkejut dan balas memegang tanganku. "Kok ngelamun gitu, Fel?" Aku mengambil posisi duduk bersila di sebelahnya.
Ia tersenyum kecil. "Nggak papa, lagi pengen bengong aja."
"Heh?"
"Enak aja gitu, nggak mikir apa-apa."
"Hush, kesambet ntar."
"Nggak kesambet aja bolak-balik ketemu setan," sambarnya dengan nada ngenes.
Aku tertawa kecil mendengarnya sembari menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Ada yang bisa dibantu, Tuan Putri?"
Kembali ia menjulurkan lidah. "Putri? Putri apaan?"
"Putri di hatiku," godaku.
"Nanta, iih." Kedua pipinya merona. "Nan, ada yang ngajak ketemu kita," lanjutnya sejenak kemudian.
"Oh ya? Siapa?"
Ia menghela nafas kembali. "Aku udah pernah cerita tentang Mbak Lastri, kan?"
"Mmm. Iya. Terus ..?"
"Tadi pagi ada yang nelpon ke kosan. Dia ngajak ketemu. Tahu siapa?"
Wajahnya terlihat serius sekali saat bibirnya mengucapkan sebuah nama. "Erin."
"Erin?" ucapku terkejut.
Ia mengangguk mantap.
"Erin siapa, ya?"
Kepalan tangan mungilnya mendarat pelan di bahuku. Untuk kesekian kalinya ia meninjuku lagi. Biarin, udah hobinya kali.
"Iih, kirain ngerti Erin itu siapa," ucapnya kesal dengan bibir manyun.
"Hehe, iya, sorry. Aku lupa."
"Erin itu cewek yang ngerebut tunangannya Mbak Lastri," jelasnya.
"Ooh, itu. Yang kepergok selingkuh itu?"
"Nah, itu tahu ..."
"Hehehe." Aku kembali menggaruk kepala, salah tingkah. "Eh, tapi, kenapa dia bisa tiba-tiba nelpon kamu, Fel?" sambungku.
Ia mengangkat bahu. "Nggak ngerti juga aku, Nan."
"Terus, mau ketemu dimana? Kapan?" kejarku.
"Ntar jam tujuh malem di Yosh' Cafe. Tahu tempatnya, kan?"
"Tahu. Gampang kok tempatnya."
Ia menghela nafas. "Ok. Cuma mau ngasih tahu itu aja."
"Heh, gitu doang? Kenapa nggak nelpon aja?" tanyaku.
"Nggak enak. Kos kamu kan telponnya di dalem rumah Ibu Kos."
"So ..?"
"Ribet. Apalagi kalau yang terima si Nia."
Aku mengernyitkan kening mendengar ucapannya. "Memang kenapa si Nia?"
"Nggak papa, sih. Comel aja mulutnya."
"Hayo, cemburu, ya?" godaku.
"Dih, apaan, sih?" tepisnya. Sesaat kemudian ia beranjak bangkit dari duduknya. "Aku pulang ya, Nan. Anterin, yuk!"
"Lho, ngapain pulang? Ada kuliah?" tanyaku.
"Ada, sih ..."
"Jam..?"
"Setengah sepuluh.�� Ia menjawab malu-malu.
"Wah, ini udah jam berapa? Telat, dong."
"Hihihi. Mbolos." Ia menjawab enteng. "Nggak papa, ngulang perbaikan nilai doang, kok," lanjutnya sambil cekikikan.
"Oh, kalau gitu kita makan dulu, yuk. Terus nanti ikut aku ke kampus." Hatiku tidak rela untuk berpisah dengannya secepat ini.
"Kamu ada kuliah?"
"Iya. Jam satu aku ada kelas sampai jam tiga."
"Terus, aku ngapain?" sergahnya.
"Kita ke perpus dulu. Kamu tunggu di situ."
Ia mengernyitkan keningnya. "Emang boleh masuk?"
"Boleh, kok. Yang nggak boleh itu minjem buku keluar," jelasku. "Habis itu kita jalan-jalan sambil nunggu jam tujuh, gimana?"
"Ok. Deal." Ia tersenyum. Kukecup keningnya cepat sebelum beranjak menggandengnya keluar dari kamarku.
"Nanta, iih...!" Ia tersipu. Tinjunya kembali mendarat di lenganku. Aduh!