Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 36 - Perjumpaan

Chapter 36 - Perjumpaan

Bulan telah menampakkan sosoknya ketika Nanta membawaku melaju di atas sepeda motornya menyusuri jalan Ring Road utara menuju Yosh' Cafe. Betapapun kejadian siang tadi cukup mengejutkan kami berdua, tetapi ia meyakinkanku untuk memenuhi janjiku bertemu dengan Mbak Erin.

"Kenapa aku melihat sosok hantu lagi, Nan? Aku pikir semua udah berakhir," keluhku tadi.

"Aku pikir juga gitu," jawabnya tak kalah bingung. "Mungkin aja indera kita sekarang jadi lebih peka sama mereka, makhluk tak kasat mata," lanjutnya.

"Terus, kita mesti gimana, Nan?"

"Aku juga nggak tahu. Tapi apapun yang terjadi, aku akan selalu ada buat kamu, Fel."

"Sungguh?"

"Iya. Sungguh!" jawabnya mantap. "Mmm. Kecuali…," sambungnya.

"Kecuali apa?"

"Lagi tidur." Ia terbahak.

"Uuh, dasar!"

Sinar lampu depan sepeda motornya menyorot beberapa meter ke depan menggantikan sinar dari lampu jalan yang seolah tak mampu menembus kegelapan lajur lambat sepanjang jalan yang melingkari kota Jogja ini. Deru angin yang terbelah oleh laju motor kami terdengar berdesir di telinga, membawa serta hawa dingin menembus jaket tipis yang kukenakan. Kerlap-kerlip merah tampak melayang lurus nun jauh di depan, kadang ke kiri dan ke kanan, jejak dari lampu belakang kendaraan lain yang sama-sama melaju jauh di depan kami.

Aku melingkarkan kedua lengan di pinggang Nanta dan telapak tanganku menyatu di depan tubuhnya. Kurebahkan kepala di punggung kokohnya, memejam menghadap ke samping. Sesekali tangan kirinya lepas dari setang kemudi meremas lembut tanganku. Dadaku berdesir tiap kali genggaman itu merengkuh jemari, membangkitkan getar-getar rasa yang lama terdiam jauh di dasar hati. Thank's God, You give him to me.

"Kita udah mau sampai, Fel. Bentar lagi." Angin menghantarkan suaranya ke telingaku. Ada terselip sesal di hati mengapa perjalanan ini begitu cepat sampai di tujuan selagi anganku sedang bermain dengan khayal dan asa.

Sedikit berbelok dari jalan raya, setelah melewati perkerasan halaman yang tersusun dari ribuan keping batu alam, ia menghentikan laju sepeda motornya. Kafe yang kami tuju itu berdiri kokoh di depan kami. Cukup besar dan luas untuk ukuran kafe sejenis di seputaran daerah ini. Bahan pembentuk dinding bangunannya mayoritas terdiri dari kayu bundar berdiameter segenggaman tangan orang dewasa yang disusun bertumpuk ke atas, disela oleh pintu dan beberapa jendela di beberapa tempat.

Sebidang teras dengan bahan serupa nampak menjorok ke depan, menjadi alas beberapa set meja dan kursi berwarna broken white. Permainan kilau vernis yang membalur, mempercantik warna asli kayu. Semua itu diperindah oleh cahaya lampu taman bergaya klasik di beberapa tempat. Papan kayu bertuliskan "Yosh' Cafe" tergantung di atas teras, terayun perlahan oleh hembusan angin.

Memandang sekeliling, rupanya seluruh kursi di teras telah penuh oleh pelanggan. Denting sendok beradu dengan piring meningkahi suara obrolan dan tawa mereka yang kebanyakan anak muda, sepertinya mahasiswa dan mahasiswi kampus dekat situ.

Harga menu di kafe ini pasti murah atau bersahabat dengan kantong kami, para mahasiswa. Soal rasa nomer sekian, apalagi jika menikmati santapannya bersama kekasih tercinta. Ada yang bilang, kalau cinta sudah melekat, tai kucing pun berasa coklat. Sorry, not me.

Aku menggamit lengan Nanta. Kemudian ia mengikuti langkahku melalui keriuhan di teras dan masuk ke ruangan dalam kafe. Hiruk pikuk di dalam ternyata tak kalah dengan di teras tadi. Para pelayan berseragam putih hitam sibuk lalu-lalang mencatat pesanan, membawa makanan dan minuman pada nampan yang mereka bawa, dan sebagainya.

Mataku berkeliling menyapu meja demi meja hingga ke sudut kafe mencari sosok Mbak Erin. Aku teringat percakapan tadi pagi. "Nanti gimana aku nyari Mbak Erin di sana?"

"Cari aja meja nomer delapan belas, aku tunggu di situ."

Ya, itu dia! Terletak di sudut belakang ruangan, meja itu agak terpisah dari meja lainnya terhalang oleh sebuah pilar bangunan berbahan sebatang pohon kelapa berdiameter besar.

Seorang wanita cantik yang duduk di salah satu kursi langsung menatapku dan Nanta. Mengenakan setelan kasual berwarna krem, kulit yang putih dan mata berwarna hijau kebiruan, wajah mixed blood nya sekilas mengingatkanku pada artis tahun delapan puluhan, Phoebe Cates.

"Hai, Feli, ya?" Ia bangkit menyongsongku.

"Mbak Erin?" Aku balik menjabat tangannya.

Cantik banget! Pasti dulu dia jadi rebutan cowok sekampus.

Wajahnya berseri ceria lalu beralih menatap Nanta yang berdiri di belakangku. "Kamu pasti Nanta."

Aku menyikut perut Nanta yang sedang terbengong-bengong. Pasti karena terpesona oleh kecantikan Mbak Erin. Dasar!

"Eh. I-iya, Nanta." Ia tergagap sejenak sebelum membalas uluran tangan Mbak Erin.

Seorang gadis kecil turun dari kursi di sebelah Mbak Erin duduk. Ia berdiri memandangi kami. Matanya mirip sekali dengan mata Mbak Erin. Senyum cantiknya mengembang. "Tante Feli, Om Nanta."

"Erina! Kamu kok ada di sini?!" Aku mengerjapkan mata beberapa kali, tak percaya gadis kecil yang telah menolong kami di alam lain beberapa waktu lalu itu ada di hadapanku saat ini. Masih dengan senyum lucunya, ia melangkah mendekatiku. Aku tak tahan untuk tidak memeluknya erat. Ia memandangku lagi sejenak lalu berpindah menatap Nanta yang masih berdiri di belakangku.

"Ayo, silahkan duduk semuanya." Mbak Erin berkata memecah keheningan.

"Mmm, maaf, Mbak. Erina ini…" Nanta tak meneruskan perkataannya terpotong oleh isyarat anggukan kepala Mbak Erin.

"Iya, Erina ini anakku tersayang."

Mmm, benar dugaanku. Tapi, apakah ini anak dia dan Leon?

"Nah, semua sudah duduk. Kalian udah aku pesankan minuman jeruk hangat. Suka, kan?" Seorang pelayan muncul menyajikan dua gelas jeruk hangat beserta sepiring dim sum di meja. Erina duduk tenang di samping Mbak Erin, menyeruput segelas iced chocolate.

"Kalian pasti heran kan, kenapa aku tiba-tiba ingin bicara dengan kalian?" Mbak Erin membuka pembicaraan. Raut wajah cantiknya berubah serius.

"Iya, Mbak." Aku balik menatapnya tak kalah serius. Nanta di sebelahku malah sudah asyik mengunyah siomay di mulutnya.

"Aauww!" jeritnya tertahan saat kuinjak kakinya. "Laper."

"Sebelum aku jelaskan, ada baiknya aku cerita sedikit tentang hal lain dulu, ya."

"Hal lain? Apa itu, Mbak?"

"Nanti juga kalian mengerti."

"Ok, silahkan, Mbak."

Aku dan Nanta duduk manis menyimak ibu muda cantik di depan kami memulai ceritanya. Kisah ini bermula pada sekitar tahun seribu empat ratusan di Irlandia Utara. Di masa itu ada lima orang ksatria pengawal Druid yang dipimpin oleh ksatria pilihan bernama Brennus, diutus salah satu klan Druid dimana mereka mengabdi untuk mencari dan membawa kembali artefak kuno bernama Magic Ray, peninggalan leluhur mereka yang dicuri oleh seorang ksatria pembelot.