Aku tak tahan lagi dan melepaskan diri dari pegangan Mama. Kudengar teriakan histerisnya. "Felii..!" Tetapi hal itu tak menghentikanku untuk lari menghambur masuk ke dalam gudang.
Linda tersenyum melihatku. Kedua tangannya yang semula terentang ke samping kini menyongsong ke depan menyambutku. Tepat sebelum aku menyentuh tangannya, sepasang tangan menangkapku dari belakang dan menyeretku kembali dengan kuat. Aku meronta sekuat tenaga hingga pegangan Papa di tubuhku hampir terlepas, namun beberapa tangan menyusul mendekapku hingga perlawananku sia-sia. "Lindaaa!" teriakku.
"Aaaahhh!" Linda berteriak kencang. Ia meronta dan terus melawan sia-sia.
Sosoknya berangsur-angsur lenyap, menghilang ditelan gelapnya ruangan gudang itu. Begitu juga pandanganku. Semuanya gelap. Hanya telingaku yang masih mendengar suara Eyang Sur mengucapkan kalimat panjang yang asing bagiku. Kulit tangannya yang kasar terasa mengusap wajahku mulai dari rambut di kening hingga ke dagu. "Sudah, Tom. Pakde sudah menutup indera anakmu."
"Sungguh, Pakde?" Kudengar suara Papa bertanya.
"Iya, Tom. Mulai sekarang dia sudah tidak bisa melihat makhluk-makhluk itu. Dan juga ia tidak akan ingat kejadian masa lalu yang berhubungan dengan mereka."
"Sampai seterusnya, Pakde?" tanya Papa lagi.
"Hmm. Semoga begitu." Eyang Sur menjawab datar. Jawaban terakhir Eyang Sur seolah mengakhiri rentetan kilasan kejadian masa kecilku yang sedari tadi terpampang jelas.
Aku tersadar kembali. Kini di sekelilingku kembali hanya kegelapan pekat tanpa setitik pun cahaya. Kulangkahkan kakiku perlahan. Kedua tanganku menggapai ke seluruh arah dalam gelap namun tak mendapati suatu benda apapun. Kosong dan sunyi. Hanya suara langkah dan bunyi nafas panikku yang terdengar.
SREEK..!
Tiba-tiba terdengar suara berat dari belakang tubuhku, seperti suara benda menggesek permukaan lantai atau dinding.
"Si-siapa itu? Armus?"
SREEK..!
Kini suara itu berpindah. Terdengar dekat sekali di samping tubuhku lalu mengarah ke depan. Apapun itu, ia berhenti di depanku! Aku ikut menghentikan langkah. Berdiri dalam diam. Kubuka mata selebar-lebarnya memfokuskan pandangan melihat menembus kegelapan. "Ssss. Ssss ..." Sesuatu itu mengeluarkan suara desisan kencang.
Jangan-jangan?!
"Ssss. Ssss ..." Tanpa pikir panjang aku membalikkan badan dan segera berlari sekencang-kencangnya. Suara gesekan dan desisan itu mengikuti dengan cepat di belakangku.
SREEK..!
"Ssss. Ssss ..."
Aku terus berlari menembus kegelapan.
WUUT..!
Tiba-tiba sesuatu berukuran besar berkelebat dari belakang menahan lajuku. Tak sampai sedetik kemudian kurasakan dada dan sekujur tubuhku dibelit dan ditekan luar biasa kuat. Dadaku terasa sesak dan panas. Aku tak dapat bernafas seberapa keras pun aku berusaha menghirup udara. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Tolong!
Di saat kritis itu, tiba-tiba ia muncul kembali. Sebuah bola cahaya berpendar di dadaku sejenak sebelum kemudian melayang ke udara. Belitan di tubuhku seketika mengendur dan terlepas. Magic Ray!
Diterangi sinar Magic Ray yang putih menyilaukan, tampak sesosok ular sangat besar bergelung beberapa langkah di depanku. Sisiknya berkilau keperakan. Yang mengejutkan, di pangkal tubuh ular besar itu menyatu tubuh seorang perempuan, mulai pinggang ke atas. Rambut hitam panjang menutupi tubuh bagian depannya yang terlihat tidak mengenakan sehelai kain pun. Kedua mata makhluk setengah ular setengah manusia itu menyorot tajam. Raut wajahnya menyeringai sadis mengerikan, ditambah sepasang taring mengintip di sudut bibirnya seakan hendak menyantapku. Magic Ray melayang di udara dan mulai membesar.
"Fel, Feli. Felicia!" Suara Nanta terdengar samar memanggil namaku. Nanta?!
Sesaat kemudian, perempuan bertubuh setengah ular itu menggeliatkan tubuh ularnya dan menghilang dalam kegelapan. Magic Ray turut kembali menghilang masuk ke dalam tubuhku.
"Panggil lagi, Nanta. Biarkan ia menemukanmu."
Suara Armus..?!
"Feli, Felii..!" Kali ini suaranya terdengar semakin jelas dari sisi kananku.
"Lagi, Nanta. Terus panggil dia." Suara Armus menyela di antara panggilan Nanta.
Aku berlari ke arah suaranya berasal, tak kupedulikan kegelapan yang kuterobos. "Nanta, Nanta!" teriakku.
DUUK..!
Kepalaku membentur sesuatu yang keras, tepat di keningku. "Aduuh!"
"Aduuh!" teriak seseorang di saat yang sama. Cahaya terang yang seketika menyerbu kedua mataku menimbulkan citra kepingan berwarna-warni di ujung pandanganku, membuat disorientasi berat disertai rasa pusing dan mual luar biasa. Setelah mengerjap-ngerjapkan mata kesekian kalinya, hal pertama terlihat di pandanganku adalah Nanta sedang mengelus-elus keningnya yang memerah. Lho, Nanta?
"Ya ampun. Feli kalau mau cium Nanta, pelan-pelan dong. Hahaha." Terdengar suara tawa Mbak Erin disusul tawa menggemaskan si kecil Erina meningkahi. Mereka berdiri berjajar di samping kursi bambu panjang di mana tubuhku terbaring. Rangka atap dan langit-langit berbahan bambu yang saling bersilangan terjalin ikatan tali ijuk di atas sana, menyadarkan di mana aku berada. Masih di dalam Yosh' Cafe, hanya saja hiruk pikuk keramaian kafe sebelumnya kini sudah tidak berbekas sama sekali. Kosong. Hanya ada kami berlima di dalam ruangan kafe ini.
"Syukurlah kamu sudah sadar, Fel." Armus berdiri dekat ujung kursi bambu menyapa dengan suara beratnya.
"Hai, Fel. Sakit?" Nanta duduk menyamping di sebelah pinggangku. Ia menatap teduh sembari jemarinya lembut membelai keningku.
Aku menggeleng pelan. "Nggak papa, Nan." Aku balas meremas lembut telapak tangannya di keningku. "Tapi kenapa aku bisa ada di sini?" Aku memandangi mereka satu persatu.
Armus berjalan mendekat. "Sorry. It was my fault."
"Kesalahanmu?" tanyaku tak mengerti.
"Kamu tiba-tiba menghilang dari kendaliku. Aku berusaha berkali-kali mencoba mengembalikan kesadaranmu tetapi tidak berhasil. Untung ada Nanta, cowokmu ini." Ia menepuk-nepuk pundak Nanta.
"Aku masih belum mengerti. Sebenarnya, apa yang terjadi?" tanyaku lagi.
Armus tersenyum kecil sambil mengusap kepalanya. "Tadi saat aku hendak mengakhiri sesi hipnotismu, mendadak kamu berontak dan menghilang. Setelah itu kamu sama sekali tak merespon panggilanku."
"Badanmu ambruk seperti orang pingsan, itulah kenapa kami pindahkan kamu ke kursi ini," sela Nanta.
Armus menambahkan lagi, ia sudah mencoba berkali-kali memanggil dan menyadarkanku tanpa hasil. Untungnya, keadaan di dalam kafe sudah sepi sehingga tidak membuat kehebohan para pengunjung yang lain.
"Erina juga sudah coba bantu tapi dia pun nggak bisa mendeteksi kamu ada di mana," Nanta menambahkan.
Erina, gadis kecil menggemaskan itu, berbisik-bisik dengan Mbak Erin, ketika mendengar namanya disebut. "Iya, Tante. Erina bingung Tante ada di mana. Untung Om Nanta bantuin panggil-panggil Tante Feli terus. Om keren, deh." Kedua jempolnya teracung kepada Nanta.
"Erina bisa aja. Yang penting, kan, sekarang Tante Feli udah sadar," ucap Nanta cepat, risih menerima pujian seperti itu.
"Itu yang namanya The Power of Love," celetuk Mbak Erin yang sedari tadi hanya diam mengamati.
Nanta mengedipkan sebelah matanya padaku dan berbisik, "Yes. It's true."
Thank you, Nan.
"Oh ya, kalau Nanta, tadi ikut ditanya-tanya via hipnotis juga, kah?" tanyaku penasaran.
Armus terkekeh sejenak. "Penasaran, ya? Tentu saja. Tapi dia tidak mengalami hal seperti kamu, Fel."
"Malah kata Armus, dia tidak dapat apa-apa dari aku," timpal Nanta.
Armus cengengesan. "Ya, betul. Dan itu pe-er buat kita, Nan."
"Kalau boleh aku bertanya, kamu ingat apa yang tadi kamu alami?" Armus kembali bertanya padaku beberapa saat kemudian. Aku menoleh padanya dari tempatku duduk. Kesadaran dan kondisiku telah pulih sepenuhnya.
"Perempuan berbadan setengah ular?!" Wajah Armus menegang setelah mendengar penuturanku tentang apa yang aku alami. Nanta, Mbak Erin dan Erina turut tercengang kaget.
"Iya. Magic Ray muncul lagi dari tubuhku dan aku nggak tahu ada hubungannya atau tidak, perempuan setengah ular itu lepasin belitannya dan pergi menghilang."
"Ular. Hampir mirip seperti dalam mimpi yang aku ceritakan." Nanta bergumam.
"Iya, benar. Jangan-jangan …" cetus Mbak Erin.
"Hmm. Kemampuan makhluk itu tidak main-main. Dia bisa menemukan bahkan menyerangmu di dalam dimensi mimpimu sendiri selagi ada dalam kendali hipnotisku." Armus menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Wanita bertubuh ular. Apa itu Nyi Blorong?" tanya Nanta kemudian. Semua pasti mengetahui atau setidaknya pernah mendengar legenda di tanah Jawa mengenai sosok Nyi Blorong, seorang wanita cantik bertubuh setengah ular yang merupakan panglima kepercayaan Ratu Kidul penguasa gaib pantai selatan. Tapi benarkah dia sosok yang tadi menyerangku?
"Entahlah, Fel. Aku tidak dapat mendeteksinya tadi." Armus menggelengkan kepala perlahan.
"Tunggu! Aku ingat kamu pernah menyebut nama panglima lain yang berwujud hampir sama dengan Nyi Blorong?" Mbak Erin serius menatap Armus.
"Oh, iya. Wilis, Wilis Nagani. Kok kamu ingat, Rin?"
"Waktu itu kamu bilang konon tempat kapal Brennus terdampar itu merupakan wilayah kekuasaannya, benar? Bisa jadi dia lah yang kalian temui, Fel, Nan." Mbak Erin mengutarakan pendapatnya.
"Wilis Nagani? Siapa lagi itu?" Nanta bertanya heran, mendahuluiku yang hendak bertanya hal serupa.
"Bisa jadi, Rin. Sepertinya dia juga mengincar Magic Ray. Tapi siapapun makhluk itu, kita pasti bisa mengatasinya," potong Armus sebelum Mbak Erin membuka mulut menjawab pertanyaan Nanta.
Aku terdiam menatap mereka satu per satu. Tak ada pilihan selain mengangguk pasrah. "Yah, semoga benar begitu."
"Tenang, Feli, Nanta. Kita sudah jadi satu tim sekarang. Itulah kenapa aku kumpulkan kita semua di sini," seru Mbak Erin penuh semangat.
"Armus akan membimbing kalian untuk mengenali, mengeluarkan dan yang paling penting mengendalikan kemampuan kalian masing-masing," pungkasnya.