Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 45 - Cerita Tentang Aku, Kita dan Mereka - 4

Chapter 45 - Cerita Tentang Aku, Kita dan Mereka - 4

"Fel, sadar, Fel." Nanta sayup-sayup memanggil namaku. Saat mataku terbuka, mata coklatnya yang selalu memancarkan percik kehangatan, sedang menatapku penuh kekhawatiran. Kedua tangannya memegang erat lengan atasku. "Kamu nggak papa?"

"Ng-nggak papa, Nan," jawabku seraya meraba dadaku, tepat dimana tadi keris itu menusuk. Aneh, sama sekali tidak terasa sakit.

"Syukurlah." Ia mendekat mengusap air mataku dengan belaian lembut punggung tangannya.

"Terima kasih, Nan. Memang aku kenapa tadi? Lho, kemana perempuan itu?" Aku memandang sekeliling tak mendapatinya.

"Hantu itu menghilang begitu kamu sentuh. Setelah itu, kamu cuma berdiri diam mematung gitu," jawabnya.

"Oh ya?"

"Iya. Aku udah coba goncang badanmu tapi kamu tetap nggak sadar, Fel." Ia menggamit lenganku, mengajakku duduk di sofa ruang tamu. Kulirik ke samping, terlihat Siska masih terbaring terpejam dengan nafas teratur.

"Mudita .." desisku.

"Mudita? Siapa itu?"

"Hantu tadi, Nan. Namanya Mudita." Kalimat demi kalimat mengalir dari bibirku tentang kejadian yang kualami, apa yang kulihat dan kurasakan. Ia menyimak dalam diam.

"Kasihan sekali." Ia mengucap lirih setelah mendengar keseluruhan ceritaku.

"Iya. Jahat sekali si Raden Amkaraseta itu ..."

"Hihihi ..." Suara tawa mengerikan itu tiba-tiba kembali terdengar lagi, memotong percakapan kami.

Nanta terkesiap kaget. "Fel, awas di belakangmu!" Belum sempat aku menoleh, sensasi aneh itu kembali lagi terasa di tubuhku.

"Lari! Ada Jepang!" Suara teriakan seseorang terdengar kencang di telingaku diikuti gemuruh suara orang berlari kesana kemari.

"Ayo, Sum. Lari!" Seorang pria menarik kuat tanganku hingga hampir tersungkur ke depan mengikutinya.

Sum ..?

DOR..! Suara tembakan itu terdengar dekat sekali.

"Aaarggh!" Pria yang sedang menyeret tanganku itu berteriak kesakitan. Tanganku terlepas dari genggamannya. Darah merah mengucur dari punggungnya membasahi kain baju lusuh berbahan karung goni yang dikenakannya. Setelah terhuyung-huyung beberapa langkah, ia ambruk menghujam ke tanah.

BUUK..!

Tengkukku terhantam sesuatu yang keras disusul kegelapan yang serta merta menutupi pandanganku. Sempat kudengar tawa dari beberapa orang pria dan kata-kata keras dalam bahasa Jepang, sebelum kesadaranku lenyap.

Gadis dimana aku terperangkap di dalamnya ini bernama Sumi, seorang gadis desa berusia sekitar lima belas tahun yang tinggal di desa yang tenteram dan damai sebelum Jepang mendarat di negeri ini.

Pada awalnya saat datang ke negara kita, Jepang bertindak sebagai saudara tua yang membebaskan kita dari penjajahan Belanda. Namun semudah membalikkan telapak tangan, mereka berubah menjadi penghisap sumber daya negeri ini untuk keperluan mereka berperang melawan Sekutu. Sejak itu, tentara Jepang seringkali datang ke desa dimana Sumi dan keluarganya tinggal untuk mencari penduduk pria yang kemungkinan bersembunyi, untuk dijadikan Romusha atau pekerja paksa. Dan tatkala mereka datang, selalu saja membawa malapetaka. Dengan keji mereka menangkap bahkan menembak penduduk yang menolak bergabung atau dicurigai sebagai mata-mata pihak Sekutu, walau penduduk yang dicurigai ini sebenarnya tidak tahu apa-apa.

Ayah Sumi salah satunya. Ia ditangkap Jepang karena dianggap melindungi kakak lelaki Sumi yang melarikan diri. Ia meninggalkan Sumi, ibunya dan dua orang adiknya yang masih kecil. Saat itu penguasa Jepang juga memaksa para petani menanam dan mengambil hasil panennya untuk keperluan logistik mereka dan hanya menyisakan sedikit sekali bagi para penduduk. Kelaparan dan kematian pun menjadi jamak di antara mereka. Dan hal itu diperparah dengan turut ditangkapnya banyak perempuan muda untuk dijadikan pelampiasan nafsu para serdadu Jepang. Sumi masih cukup beruntung tidak turut menjadi korban, mungkin karena postur tubuhnya yang kecil. Namun belakangan ia ikut diangkut dalam satu operasi dan dipaksa menjadi pembantu di tangsi Jepang yang dekat dengan desanya.

Di sana, hampir setiap hari Sumi melihat kekejaman demi kekejaman yang dilakukan tentara Jepang terhadap tawanan. Penyiksaan saat interogasi, eksekusi tawanan yang membangkang, dan kekerasan lainnya menjadi tontonan sehari-hari di sana. Banyaknya korban dari rakyat sebangsanya membuat darah Sumi mendidih namun ia sadar tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu. Dapat tetap hidup dan membawa makanan untuk keluarganya saja sudah cukup beruntung baginya. Hingga suatu hari, kedatangan seseorang mengubah hidupnya.

"Siapa kamu?!" Sumi hampir berteriak ketika dini hari itu melihat seorang pria mengendap-ngendap di dekat kandang ayam di belakang rumahnya.

Pria itu melompat dan menutup mulut Sumi dengan tangannya lalu memaksanya untuk berjongkok. "Sssst! Jangan berteriak!" bisik pria itu. Sumi meronta-ronta dalam sekapannya namun tak berdaya kalah tenaga. "Aku teman kakakmu, Madi. Dia suruh aku ke sini," bisiknya lagi.

Sumi terkejut. Madi melepaskan sekapannya. "Kamu kenal Mas Madi?"

"Iya. Kami satu regu. Namaku Sapto."

"Bagaimana kabar Mas Madi?"

"Dia baik-baik saja. Tapi masih belum bisa kembali ke sini," jawabnya.

Sumi langsung teringat kakaknya, Madi. Sebelum pergi, ia bercerita bahwa ia akan segera bergabung dengan para pemberontak yang terkadang melewati desa mereka. Sebagian kecil pemuda memang tidak mau bergabung dengan PETA atau Heiho seperti kebanyakan pemuda lainnya sesuai dengan strategi "soft diplomacy" yang diterapkan pemimpin bangsa kita dan mereka memilih untuk menjadi pemberontak atau disebut Jepang sebagai gerombolan pengacau.

"Mungkin aku tidak akan pulang sebelum perang selesai, Sum. Bahaya bagi keluarga kita kalau aku pulang." Itu kata terakhir Mas Madi yang ia ingat.

"Ayo masuk, Mas Sapto. Takut ada yang lihat," ajak Sumi sambil membukakan pintu dan menutupnya cepat setelah Sapto masuk ke dalam rumah.

"Begini, Sum. Jepang hampir kalah perang. Kami dengar di radio, Amerika mulai masuk ke wilayah Jepang," bisik Sapto kemudian.

"Oh. Pantas saja mereka setiap hari marah-marah setiap mendengar siaran radio." Sumi menceritakan hal-hal yang ia lihat dan dengar di dalam tangsi Jepang dimana ia sehari-hari bekerja mengerjakan tugas rumah tangga. "Lalu, apa hubungannya denganku?"

"Kamu bisa bantu kami, Sum."

"Bantu? Bagaimana caranya, Mas?"

"Ini." Sapto meraih secarik kertas yang dilipat kecil dari balik kemeja lusuh yang dikenakannya.

Sumi menerima dengan ragu. "Apa ini, Mas?'

"Berikan ini kepada seorang tahanan di tangsi."

"Apa?!" Sumi terperanjat mendengar permintaan Sapto.

"Bagaimana caranya, Mas? Pembantu sepertiku tidak boleh mendekati sel tahanan di tangsi."

"Kamu cari Kopral Samsu, orang Heiho yang bertugas di situ. Dia anggota kita juga."

"Tapi, Mas ..."

"Aku sudah tidak ada waktu lagi, Sum. Katakan, kamu bersedia atau tidak?"

Sumi terdiam bimbang dan ragu. Suara Madi terngiang di telinganya, "Jika harus mati, biarlah aku mati dengan gagah berani, bukan sebagai pengecut!"

"Baiklah, Mas. Aku akan berikan kepadanya."

"Hati-hati, Sum. Sampai bertemu lagi. Merdeka!" bisik Sapto mengakhiri pembicaraan pagi itu.

"Merdeka! Sampaikan salamku pada Mas Madi," ucap Sumi sesaat sebelum Sapto menghilang di antara kerimbunan pohon pisang di belakang halaman rumahnya.

"Celaka, Sum. Penyamaran si Samsu terbongkar. Kamu harus segera pergi dari sini!" Sapto berkata di malam hari, beberapa minggu setelahnya. Sumi dengan berbagai cara telah berhasil menyampaikan pesan yang dititipkan kepada Kopral Samsu dan keesokan harinya ia diminta menyampaikan balasan pesan kepada Sapto, yang datang dengan senyap pada malam hari.

Pada akhirnya, boleh dibilang Sumi telah menjadi seorang kurir mata-mata, sesuatu yang sangat dibenci Jepang. Mereka memiliki pasukan polisi rahasia super kejam untuk memburu mata-mata seperti itu, Kempetai.

Akhirnya, mereka terlambat menyelamatkan diri malam itu. Sapto gugur ditembak dan ia sendiri tertangkap. "Bangun, mata-mata sialan!" bentak seseorang menyadarkan Sumi dari pingsannya. Ia berlutut dengan tangan terikat di belakang, di tengah lapangan dekat tangsi militer Jepang tempatnya biasa bekerja. Baju yang dikenakannya sobek sana-sini, memperlihatkan beberapa bagian tubuh atasnya yang terbuka. Sejenak kemudian ia berteriak histeris saat melihat pemandangan di depannya. "Ibuu!"