Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 48 - Pemburu dan Mangsa - 1

Chapter 48 - Pemburu dan Mangsa - 1

Gemuruh derap langkah pasukan berkuda terdengar dekat sekali melewati perbukitan dimana aku dan sisa-sisa anggota pasukanku bersembunyi. Untungnya prajurit yang bertugas mengamati di mulut lembah sempat memergoki pergerakan pasukan itu dan segera memberikan laporan kepada kami di atas bukit untuk segera bersembunyi masuk kedalam lorong gua yang banyak terdapat di bukit ini.

Beberapa purnama sudah kami melarikan diri menyingkir dari berdarahnya perang saudara di bumi Majapahit, perang antara sesama penguasa kerajaan yaitu Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi yang memakan banyak korban. Pasukan kami dipimpin Bekel Kripala terdesak dalam satu pertempuran di pesisir dan hancur lebur hingga dari kekuatan lengkap dua ratus orang hanya menyisakan aku sebagai Lurah Prajurit dan tiga puluhan prajurit yang sebagian terluka parah.

Sebelum gugur, Kripala pernah menceritakan padaku penyesalan di hatinya mengapa harus ada perang saudara ini dan betapa menyakitkan terpaksa membunuh atau dibunuh sesama saudara hanya akibat perebutan tahta penguasa kerajaan.

"Wisanggeni, aku tidak akan menyalahkanmu jika kelak kau memutuskan untuk menyingkir dari perang sia-sia ini. Tetapi tolong kau bawa juga mereka yang terluka," ucap Krispala malam hari sebelum gugur keesokan paginya. Nadanya suram dan putus asa.

Aku tertegun mendengar ucapan yang tidak biasa itu. "Apa maksud Bekel berkata seperti itu?"

Ia mengeluarkan keris dari sarungnya lalu menatap nanar memandangi senjata andalannya itu. "Sudah banyak darah saudara kita yang membasahi keris ini. Demi apa? Kekuasaan? Kekuasaan siapa? Sementara rakyat menerima deritanya."

"Maaf, Bekel. Jangan sampai ucapanmu ini didengar orang lain, kita bisa dihukum mati."

Tatapannya beralih kepadaku. "Biarlah jika memang darahku bisa menghentikan perang jahanam ini."

Kata-kata Krispala, Bekel atau Kepala Pasukan yang kuhormati dan menjadi panutanku selama mengabdi pada kerajaan, malam itu terngiang-ngiang sepanjang mundurnya aku dan sisa prajuritku dari medan pertempuran. Beberapa hari kemudian akhirnya kuputuskan untuk membubarkan pasukan agar mereka dapat kembali kepada keluarganya masing-masing, walaupun kutahu itu hal yang tidak mudah. Pantang bagi prajurit untuk tidak mematuhi perintah Senopati apalagi Tumenggung sebagai pimpinan dan hukuman untuk pembangkangan atau melarikan diri dari perang adalah mati. Begitu juga nasib yang akan kami alami jika bertemu dengan pasukan musuh.

Merasa tidak ada pilihan yang lebih baik, sebagian prajurit memutuskan tetap mengikutiku bersembunyi berpindah-pindah menghindari perang hingga akhirnya kami menemukan bangunan padepokan terbengkalai di tengah hutan yang menjadi tempat perlindungan sementara kami.

Lamunanku terhenti oleh bisikan seseorang di belakangku. "Sudah aman, Lurah. Pasukan itu hanya lewat saja."

"Ssst. Partha, sudah berapa kali aku katakan jangan panggil Lurah atau jabatan keprajuritan selama kita bersama. Kita sudah bukan prajurit kerajaan lagi," hardikku dengan berbisik.

Partha, lelaki bertubuh gempal mantan juru masak pasukan yang kini menjadi orang kepercayaanku terkekeh menerima hardikanku. "Baik, Ki Selo."

"Bagaimana dengan kedua orang asing itu? Sudah kalian antarkan ke saudagar kapal asing di bandar?"

"Sudah, Ki. Semoga mereka selamat kembali ke negerinya," jawabnya.

Aku menghembuskan nafas lega. "Baiklah. Sampaikan pada yang lain, suruh mereka berkemas. Begitu burung malam berbunyi kita segera kembali ke padepokan."

"Secepat itu, Ki? Kita baru saja sampai di sini. Masih banyak tumbuhan obat yang masih harus kita kumpulkan."

"Aku punya firasat kurang baik. Lebih baik kita segera kembali secepatnya."

"Laya ..!" Suara Mbakyu Ratri keras memanggilku sore itu. Sosoknya memang belum terlihat dari balik gundukan pasir pantai tempatku bersandar di bawah pohon kelapa tetapi aku menyadari sudah terlambat untuk bersembunyi dari kakak seperguruanku yang memiliki ilmu kanuragan setingkat di atasku.

Aku pun bangkit berdiri pasrah menerima hukuman darinya atas kenakalanku melarikan diri dari tugas mengisi tempat penyimpanan air di padepokan Guru Wasa tempat kami tinggal bersama puluhan murid lainnya. Sesaat kemudian ia muncul dan langsung melangkah mendekatiku. Air mukanya masam. "Laya, apa yang engkau lakukan di sini? Belum cukupkah Mbakyu menghukummu kemarin?"

"Ampun, Mbakyu." Aku menunduk tak berani menatap wajahnya.

"Laya, engkau sudah Mbakyu anggap adik sendiri sejak kecil dan Mbakyu selalu ajarkan budi pekerti kepadamu. Tapi, mengapa engkau selalu saja berbuat kenakalan seperti ini?" Air mata menetes di sudut matanya membuatku semakin merasa bersalah.

Aku menghambur memeluk tubuhnya dan memohon ampun telah mengecewakannya. "Ampun, Mbakyu. Maafkan adikmu ini telah kembali mengecewakanmu."

"Coba jelaskan apa yang membuatmu belakangan ini seringkali meninggalkan tugas dan berada di tempat ini sendirian?"

Hatiku sesak menahan gejolak yang seolah dapat meledak sewaktu-waktu. Sungguh kuingin menjawab pertanyaan Mbakyu Ratri namun bibirku terkunci.

Maafkan aku, Mbakyu. Aku tidak bisa menjawab walaupun ingin.

"Aku. Aku lelah, Mbakyu. Itulah sebabnya aku beristirahat di sini," jawabku berbohong untuk kesekian kalinya. Dan kembali ia menggelengkan kepala mendengar jawabanku itu.

"Laya, Mbakyu tahu ada yang engkau sembunyikan dari Mbakyu. Tapi sudahlah, mari kita kembali ke padepokan dan terima hukumanmu."

"Nggih, Mbakyu." Aku memberi hormat lalu mengikuti langkah cepatnya.

Ah, untung saja Mbakyu tidak memergokinya.

"Ada apa, Laya? Kenapa engkau tersenyum sendiri seperti itu?" tanya Mbakyu Ratri di sela langkahnya.

"Oh, tidak ada apa-apa, Mbakyu," jawabku tersipu. Pikiranku melayang kembali pada saat pertemuanku dengannya.

₡ ₡ ₡

Aku terpaku menatap ombak yang bergulung mendekati tempatku berdiri membentuk sikap kuda-kuda bersama dengan puluhan murid lain saat menjalani latihan di pantai yang letaknya tidak begitu jauh dari padepokan kami. Berulang kali tubuh kami diterjang hempasan ombak dan sedapat mungkin tetap bertahan dalam posisi kuda-kuda. Mbakyu Ratri sebagai murid paling dituakan berkeliling memberikan perintah sekaligus mengawasi berjalannya latihan beserta beberapa murid yang lebih tua sementara Ki Wasa, guru dan pemimpin padepokan kami, mengawasi dari kejauhan.

Ombak yang sedang terbentuk kali ini nampaknya akan lebih besar dari sebelumnya, terasa dari kencangnya aliran air yang tertarik kembali menuju ke laut. Benar saja, tidak lama kemudian ombak melaju ke pantai dalam gulungan jauh lebih besar seolah membentuk tabir buih air laut berwarna putih dengan tinggi setara tiga hingga empat lelaki dewasa, diiringi deru bergemuruh mengerikan.

"Semuanya naik ke tepi!" teriak Mbakyu Ratri menyaksikan dahsyatnya ombak yang akan menerjang kami.

Serentak kami semua panik berlarian meninggalkan tempat kami berdiri menuju tepi pantai yang kering tidak terjangkau air laut. Malang bagi seorang bocah lelaki di barisan terdepan tidak jauh dariku. Ia tidak sempat menghindar dari terjangan ombak dahsyat itu dan lenyap ditelan ganasnya ombak yang menggulung.

Maksud hatiku ingin menolongnya, sekejap kemudian tubuhku pun turut merasakan terjangan dan gulungan ombak itu. Berulangkali aku meronta berusaha berenang mencapai permukaan air untuk mengambil udara namun kembali tubuhku dijungkirbalikkan dan dihempas di dalam keruhnya air hingga akhirnya aku pun pasrah menerima takdir. Romo, Simbok, putrimu segera bertemu denganmu..