"Laya.." Sebuah suara lembut menyadarkanku. Seorang wanita cantik berbusana serba hijau duduk bersimpuh di sisi tubuhku yang terbaring.
Entah berada dimana, sekelilingku berupa ruangan besar seluas pendopo kadipaten yang pernah kulihat saat beramai-ramai dengan murid padepokan menyaksikan datangnya para prajurit dari medan perang. Dinding dan lantainya berkilau seperti dilapisi emas menyilaukan, mirip perhiasan yang dikenakan Nyi Wana, istri saudagar kaya sahabat Ki Wasa. Suara deburan ombak terdengar samar-samar di telingaku.
"Si-siapa Nyi ini? Dimana aku?" Setengah melompat aku bangkit dari ranjang peraduan tempatku berbaring.
Wanita cantik itu hanya tersenyum memandangiku. Perlahan ia turut berdiri dan melangkah mendekatiku. Aroma harum tercium seiring ia melangkah. "Syukurlah engkau baik-baik saja, Laya."
"Bagaimana Nyi mengetahui namaku? Apa maksud Nyi? Apa yang telah terjadi kepadaku? Bocah lelaki itu, dimana dia…?" Pertanyaanku meluncur bagaikan sederet anak panah dilepaskan dari busurnya selagi aku melangkah mundur menjauh dari wanita itu.
"Tuan Putri, ijinkan hamba menghukum kekurangajaran gadis yang tidak tahu berterimakasih ini.." Seorang wanita lain dengan busana serupa namun menggenggam pedang terhunus tiba-tiba muncul entah dari mana dan mengambil posisi bersiaga di sebelah wanita tadi.
"Tu-Tuan Putri?" ucapku terbata.
"Hahaha. Cukup, Kupita. Simpan pedangmu! Engkau tidak perlu bersikap seperti itu kepadanya."
"Ampun, Tuan Putri," jawab wanita bernama Kupita itu mundur dan menyarungkan pedangnya.
"Laya, berterimakasihlah kepada Tuan Putri Lakstri, Panglima kepercayaan Kanjeng Ratu Kidul," lanjutnya.
"Ampun, Tuan Putri. Hamba mohon maaf atas kelancangan hamba." Kujatuhkan kedua lututku di lantai dan mengatupkan kedua telapak tangan di atas kepala memberi hormat kepadanya.
Sejak usia belia aku telah mendengar kisah tentang penguasa gaib laut selatan dan tak kusangka saat ini berhadapan dengan Panglima kepercayaannya.
Berbeda dengan yang kubayangkan sebelumnya, aku tidak merasakan takut atau ngeri berada di tempat gaib ini.
"Sudah, abaikan ucapannya. Aku lebih suka jika engkau memanggilku Nyi Lakstri. Bangkitlah, Laya." Puteri itu menjawab lembut seraya menggamit bahuku.
"Aku mengerti apa yang engkau rasakan saat ini. Tentu engkau bertanya-tanya bagaimana engkau bisa berada di sini, bukan?"
"Benar, Nyi. Yang hamba ingat hanyalah hamba tergulung ombak dan tenggelam ditelan arus yang kuat."
Nyi Lakstri terkekeh. "Itu ulah Si Wilis dan pasukannya. Untungnya prajuritku selalu bersiaga."
"Ulah Si Wilis?"
"Benar. Nyi Wilis Nagani, wanita siluman ular musuh besarku yang sering mengganggu wilayah kekuasaan kami. Telah berulangkali aku mencoba membunuhnya namun ia selalu berhasil meloloskan diri. Aku rasa telah lama ia mengincar dirimu."
"Astaga, mengapa ia hendak mencelakai hamba? Dan mengapa Nyi mau menolong hamba?" ucapku terperanjat.
Raut wajah Nyi Lakstri berubah sendu. "Wajah terkejut yang engkau tunjukkan itu serupa sekali dengan mendiang romo-mu, Lembu Dipa."
Keterkejutanku semakin bertambah ketika Nyi Lakstri menyebut nama Romo. Ingatanku sendiri sangatlah terbatas mengenai Romo karena aku telah ditinggalkan sebatang kara sejak kecil dan dipungut oleh Ki Wasa. "Ampun, Nyi. Bagaimana Nyi mengenal romo hamba?"
"Ia pernah menolongku ketika aku hampir celaka dalam suatu pertempuran. Sejak itu lah aku berjanji akan melindungi dia dan keluarganya."
"Romo? Bagaimana mungkin, Nyi? Bukankah Romo hanya petani biasa?" Tanpa sadar aku menyelanya.
Kupita yang sedari tadi berdiri diam di dekat kami berbincang, sontak menatapku tajam dengan raut wajah kurang senang.
"Lembu Dipa adalah Lurah Prajurit yang berilmu kanuragan tinggi dan dahulu sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Tetapi sejak ia bertemu dengan seorang gadis di wilayah taklukan, ia putuskan untuk mengundurkan diri dari keprajuritan lalu memperistri gadis itu dan menetap sebagai petani. Mereka lah Romo dan Simbok yang engkau miliki," jelas Nyi Lakstri kemudian.
"Sungguhkah itu, Nyi? Hamba sendiri belum pernah mengetahui jika Romo adalah seorang prajurit yang memiliki ilmu kanuragan. Ki Wasa dan Mbakyu Ratri selalu menjelaskan bahwa Romo dan Simbok adalah petani biasa dan telah berpulang ketika aku masih sangat belia." Tak terasa air mata menggenang di pelupuk mataku dan perlahan jatuh menetes.
"Tentu saja semua yang aku ceritakan benar, Laya. Sekarang engkau telah mengerti mengapa aku menolongmu, bukan?" Nyi Lakstri mengelus pipiku lembut.
"Ampun, Nyi. Matur sembah nuwun."
"Saat ini engkau aman, Laya. Segera kembalilah ke alammu dan ingatlah untuk selalu waspada. Aku memiliki firasat siluman itu akan mencoba mencelakaimu di lain kesempatan."
"Mengapa begitu, Nyi?"
"Entahlah, namun aku dapat merasakan sesuatu yang luar biasa akan terjadi kepadamu."
Tiba-tiba sosok Nyi Lakstri dan Kupita memudar dari pandanganku.
"Kembalilah sekarang, Laya." Suara Nyi Lakstri bergema di telingaku seiring sosoknya menghilang dari pandangan.
"Tunggu. Bagaimana jika hamba ingin bertemu dengan Nyi lagi?" teriakku.
"Datanglah ke tepi pantai ini dan panggil namaku."
"Laya, Laya …" Suara Mbakyu Ratri dekat sekali terdengar di telingaku membuatku tersadar dan membuka mata.
"Apa yang engkau pikirkan? Perbaiki kuda-kudamu. Cepat!" hardiknya sambil berlalu menuju murid-murid lainnya.
Astaga! Apakah aku tertidur dan bermimpi?
Sebaris ombak berdebur menerpa tubuhku yang bersiap dalam posisi kuda-kuda. Sosok Nyi Lakstri dengan busana serba hijau terlihat melayang di kejauhan lalu menghilang.
"Laya …"
₡ ₡ ₡
Sejak itu, aku beberapa kali meluangkan waktu menanti kehadiran Nyi Lakstri di tepi pantai setiap kali aku merasa kesepian. Tentunya tanpa sepengetahuan Mbakyu Ratri dan murid padepokan lainnya. Meskipun ia telah berjanji akan datang menemuiku jika aku memanggil namanya, namun aku tidak memiliki keberanian untuk melakukannya.
Sama seperti sebelumnya, senja itu aku hanya duduk terdiam memandangi debur ombak di kejauhan, berharap melihat sosok cantik dan anggunnya seperti pertemuan pertama dan terakhir kami.
Menembus awan tipis kelabu, kutatap cahaya sang mentari perlahan-lahan meredup dan bergerak turun mendekati cakrawala jelang sang rembulan menggantikan tugasnya memberikan cahaya bagi bumi Majapahit ini. Pertanda aku juga harus segera kembali sebelum Mbakyu Ratri menyadari aku meninggalkan padepokan.
Tiba-tiba sebuah cahaya putih terang memancar menembus awan, melaju cepat ke tempat dimana aku berada. Aku hanya terpaku tanpa sempat bergerak apalagi menghindar ketika sinar terang itu menghantam tubuhku.
"Aaarghh!"
₡ ₡ ₡
Pria itu berdiri gagah di atas barisan karang menatap mulut gua besar di hadapannya. Bagian atas tubuhnya terbuka menampakkan sebidang dada dan perut yang kekar dan berotot. Tangan kanannya menghunus sebilah pedang panjang berkilau.
"Ki Lembu Dipa, ap-apakah engkau ya-yakin akan memasuki gua ini?" Seorang pria lain bertanya dengan nada gentar di belakangnya. Dua batang tombak pendek di tangannya seolah turut bergetar mengikuti suaranya.
Pria itu, Lembu Dipa, menoleh sejenak dan menggeram. "Hrrhh, tentu saja aku yakin, Harsa. Bagaimana denganmu?"
"Ada baiknya kita berpikir ulang, Ki. Konon lawan yang akan kita hadapi sangat kejam dan memiliki kesaktian luar biasa," jawabnya. Untuk kesekian kali ia menelan ludah.
"Apa katamu, Harsa? Tidak! Sudah terlalu banyak warga desa menjadi korban makhluk-makhluk itu. Jika engkau gentar dan ragu, lebih baik engkau kembali ke desa sekarang juga!" bentak Lembu Dipa marah.
"Hihihi ..!" Lengkingan tawa wanita mengerikan tiba-tiba terdengar dari dalam gua. Suara tawa itu semakin kencang dan memancarkan kekuatan menggetarkan hingga kaki mereka dapat merasakan getaran bebatuan karang yang mereka pijak.
"Si-silumaan!" Harsa melemparkan sepasang senjatanya dan lari tunggang langgang meninggalkan Lembu Dipa seorang diri. Namun selarik sinar merah melejit menghantam punggung dan menembus tubuhnya, meninggalkan lubang menganga seukuran buah kelapa. Nyawanya pun melayang seketika.