"Harsaa!" teriak Lembu Dipa menyaksikan tewasnya orang kepercayaannya. Dengan geram, ia menyerbu masuk ke asal suara itu di dalam gua.
Anehnya, begitu kakinya melangkah masuk ke dalam gua itu, bukannya gua karang yang ia temui melainkan sebuah ruangan besar dan luas dengan lantai dan dinding berkilau menyilaukan bagaikan dilapisi emas. Bagaikan masuk ke dalam istana kerajaan.
Tunggu, ini hanya khayalanku semata. Ini pasti ulah siluman itu.
Sekejap kemudian bibirnya merapal ajian pengungkap mata batin yang dikuasainya.
"Hihihi ..! Percuma engkau merapal seperti itu. Ajianmu tidak mempan di sini, dalam wilayah kekuasaanku." Seorang wanita cantik dan anggun berbusana serba hijau berdiri dari singgasana di tengah ruangan itu.
Beberapa wanita dengan busana serupa berdiri mengapitnya. Masing-masing mereka menghunus senjata tombak panjang.
"Hei, siluman ular terkutuk! Hadapi aku jika kalian berani. Mau satu lawan satu atau sekaligus?" Lembu Dipa tanpa gentar menantang mereka. Pedang di tangannya memancarkan sinar putih menyilaukan dan suara berdengung bagaikan logam digetarkan.
Wanita cantik pemimpin di depannya terkesiap melihat pedang di tangan Lembu Dipa. "Siapa engkau? Sepertinya aku mengenal senjata di tanganmu itu."
"Jangan banyak bicara, Nyi Lakstri. Kau telah banyak membunuh warga desa dan engkau baru saja membunuh sahabat baikku. Kini, hadapilah ajalmu!" Bagaikan elang menerkam mangsa, pedang di tangannya terbang melesat menusuk ke arah siluman wanita cantik bernama Nyi Lakstri itu. Hawa panas yang dibawa pedang itu seketika menyelimuti ruangan dimana mereka berada.
"Agni Sagara!" Nyi Lakstri terperangah. Dua pengawalnya melompat menghadang pedang yang meluncur dengan menyabetkan tombak di tangan mereka.
DUARR..!
Kedua pengawal itu terpental dan hangus menjadi abu dihempaskan dahsyatnya ledakan yang terjadi akibat benturan senjata mereka dengan pedang sakti Agni Sagara milik Lembu Dipa, sementara Nyi Lakstri sasaran sebenarnya yang dituju terlebih dahulu berkelebat menghindar.
Kali ini Lembu Dipa balik terperangah ketika sekejap kemudian Nyi Lakstri telah melayang tepat di hadapannya. Tangannya mencengkeram kuat leher Lembu Dipa. Terancam jiwanya, Lembu Wira balik mencengkeram leher Nyi Lakstri kemudian menghentakkan kaki sekuat tenaga mengambil energi dari bumi untuk mengeluarkan ajian lainnya.
Pusaran energi keluar dari lantai yang dipijak, memutarkan mereka berdua ke langit-langit istana. Para pengawal Nyi Lakstri lainnya berdesis mengubah tubuh menjadi ular besar bertubuh setengah manusia, bersiaga di bawah.
Pedang Agni Sagara turut berputar di udara mengelilingi pusaran energi Lembu Dipa dan Nyi Lakstri, dimana mereka masing-masing tidak mau mengalah melepaskan cengkeraman mereka.
Dalam putaran tersebut, mereka saling menatap dan dalam hati sama-sama saling memuji kesaktian lawannya. Timbul getaran aneh dalam dada Lembu Dipa sehingga tanpa sadar ia merenggangkan cengkeramannya. Demikian pula Nyi Lakstri yang semula berniat menghabisi lawannya turut melepaskan tangannya dari leher Lembu Dipa.
"Apa yang kau lakukan tadi? Ajian apa ini?" ujar Lembu Dipa begitu kakinya menjejak lantai. Ia terduduk lemas, darah menyembur dari mulutnya. Sekedipan mata kemudian ia ambruk ke lantai diikuti pedang pusakanya menghempas ke lantai.
Melihat kesempatan emas, para siluman ular besar yang telah menunggu sejak tadi langsung bergerak menyerbu dirinya.
"Cukup! Mundur kalian semua!" perintah Nyi Lakstri.
Ular-ular besar itu menghentikan gerakannya seketika dan beringsut mundur, kecuali satu.
"Tetapi, Nyi ..".
"Engkau membantahku, Kupita?!"
"Baik, Nyi." Ia pun beringsut mengikuti rekan-rekannya.
"Huueekk." Nyi Lakstri memuntahkan darah pekat, tubuhnya terhuyung-huyung.
Kupita, yang telah berubah menjadi sosok wanita kembali, berkelebat cepat menangkap tubuh junjungannya itu.
"Bawa pria itu ke ruang semedi! Dan jangan ada yang berani mencelakainya," ucap Nyi Lakstri sebelum ia pun ambruk.
Aroma wewangian dan suara debur ombak membentur batu karang, perlahan memulihkan kesadaran Lembu Dipa. Merasa tenaganya mulai pulih, ia mencoba bangkit dan mendapati tubuhnya terbaring di atas sebuah batu pualam besar yang memancarkan warna kehijauan.
Ketika mencoba menurunkan kaki dan berpijak, rasa sakit mendadak mendera dadanya. Segera ia mengambil posisi bersila memulihkan diri.
Aliran energi dari batu pualam yang ia duduki merambat memenuhi tubuhnya. Asap putih tipis bergelung mengalir samar menutupi pandangan sekitar, tetapi tidak dengan mata batinnya.
Hanya berjarak beberapa depa, terletak sebuah batu pualam yang serupa. Sebuah sosok tampak duduk bersemedi di atasnya, dikelilingi beberapa sosok lain berdiri dalam posisi siaga. Nyi Lakstri dan para pengawalnya.
Mata Lembu Dipa membelalak melihat sesuatu tergeletak di dekat mereka. "Pedangku!" desisnya.
"Kakanda Lembu Dipa, engkau telah sadar rupanya." Suara Nyi Lakstri merdu berbisik terdengar dekat sekali di telinganya. Lembu Dipa memicingkan mata menatap Nyi Lakstri yang masih bersila memejamkan mata di depan sana.
"Bagaimana kau tahu namaku? Dan apa maksudmu memanggilku Kakanda?" tanyanya terheran.
"Hihihi. Dasar lelaki. Mudah mencintai, mudah pula melupakan."
"A-apa maksudmu?!"
"Tidakkah kau ingat, malam yang kita lalui penuh gelora? Atau engkau bermaksud mengulanginya kembali? Hihihi." Mata Nyi Lakstri terbuka memancarkan sinar hijau.
Lembu Dipa terpana menatapnya. Dalam sekejap adegan demi adegan terpampang dalam ingatannya. Saat Nyi Lakstri tengah merawatnya dengan lembut dan penuh kasih di ruangan itu, dan entah siapa yang memulai ia dan wanita itu memadu asmara sepanjang malam, hingga luka dalam yang masih diderita kembali menumbangkan mereka.
Sontak ia meloncat turun. "Dusta! Tidak mungkin aku berbuat seperti itu! Apalagi dengan wanita siluman sepertimu."
Namun jauh dalam hatinya, ia mengagumi wanita di hadapannya itu sejak pertama kali mereka beradu pandang. Dan ada perasaan seolah mereka sebenarnya telah lama saling mengenal.
Perasaan malu, bingung, marah dan menyesal bergolak di hatinya. Ia melangkah mendekati Nyi Lakstri dengan tenaga dalam terkerah di kedua tangannya.
Kembali suara dengungan terdengar ketika pedang Agni Sagara bergetar lalu berputar di sisi Nyi Lakstri bersila. Kupita mencoba memegang pedang itu namun tidak kuasa menahan kuatnya tenaga yang dipancarkan hingga ia dan para pengawal terpental jauh.
Pedang Agni Sagara kini melayang terhunus ke tubuh Nyi Lakstri. Ia sigap mendorongkan kedua telapak tangannya menghadap pedang yang menyerangnya. Pedang itu kini bergerak ke depan dan ke belakang silih berganti tertahan oleh benteng energi yang dikeluarkan Nyi Lakstri. Tubuh keduanya bergetar saling mengerahkan kekuatan. Udara di sekitar mereka bergolak panas membentuk bulatan tabir energi melingkupi keduanya. Seluruh ruangan bergoncang didera bentrokan dua kekuatan mereka.
Setelah beberapa lama, mendekati titik puncak tenaganya, Lembu Dipa melompat ke udara mengambil pedangnya menusuk menembus tabir kekuatan Nyi Lakstri yang mulai kepayahan menahan serbuannya.
Nyi Lakstri tak kuasa menahannya. Ia menatap pasrah menerima serangan pedang pusaka milik Lembu Dipa itu. Ia pun tersenyum manis menerima ajalnya. Namun tepat satu jengkal menjelang pedang itu menembus dada lawannya, Lembu Dipa tiba-tiba menghentikan gerakannya.
Tatapan itu..! Tidak asing bagiku.
Si-siapa engkau sebenarnya?