Nyi Lakstri melihat kesempatan itu. Ia berkelebat dan muncul tepat di samping lawannya. Dengan cepat ia mencium bibir Lembu Dipa.
"Sampai bertemu lagi, Kanda," ucapnya bernada menggoda.
Dalam sekedipan mata ia dan para pengawalnya menghilang meninggalkan Lembu Dipa seorang diri di dalam gua karang itu.
₡ ₡ ₡
Nyi Padmini duduk di beranda rumahnya menatap pekarangan padepokan dimana beberapa orang murid perguruan sedang berlatih diterangi sinar rembulan. Ia mengawasi latihan mereka sembari menimang bayi perempuannya yang menangis.
"Sabar ya, Nduk. Romo kembali sebentar lagi," bujuknya lembut. Sejak fajar merekah, suami dan sebagian murid perguruan mereka pergi menjual hasil ladang ke pasar desa yang pergi pulang ditempuh selama setengah hari menuntun pedati.
Tiba-tiba api obor di pintu gerbang padepokan bergoyang kencang layaknya dihembus angin, merambat pada obor-obor lain di pelataran. Para murid menghentikan latihan mereka memandangi dengan heran.
BRAAK..!
Pintu gerbang padepokan terdorong sesuatu hingga terbuka lebar.
Naluri Nyi Padmini sebagai pendekar memperingatkannya akan sesuatu yang buruk akan terjadi. "Mbok, tolong jaga Laya," ujarnya kepada Mbok Emban yang sedari tadi duduk bersimpuh di dekatnya.
Setengah melompat ia meraih senjata tombak andalannya lalu bergegas menuju pelataran padepokan. "Kalian semua, bentuk barisan di belakangku!" perintahnya.
"Baik, Nyi Guru." Murid-murid itu, kebanyakan murid pemula berusia belia, berlarian menuruti perintah guru mereka.
"Tombak Banyu Sora, tak kuduga akan menemuinya di tempat ini." Seorang wanita cantik melangkah memasuki pelataran, lebih tepatnya melayang.
"Siapa kau? Lancang sekali memasuki padepokan ini tanpa permisi." Nyi Padmini memalangkan tombak di depan tubuhnya. Dari aura yang dipancarkan ia tahu wanita berbusana serba hijau di hadapannya itu bukan manusia. Dan berilmu tinggi.
Kanda, cepatlah kembali.
"Hihihi. Apakah nama Nyi Lakstri berarti bagimu?" balas wanita itu.
"Nyi Lakstri? Tentu saja. Apakah .."
"Hihihi. Kakandamu tercinta yang bercerita kepadamu?" potongnya.
"Tidak. Hampir semua di kadipaten ini mengetahui nama itu. Apakah maksudmu bertanya seperti itu?"
"Ia menitipkan salam untukmu. Pesannya, kalian semua harus mati!" Tubuh bagian bawahnya berubah menjadi tubuh ular besar bersisik keperakan. Ekornya berkelebat menyerang Nyi Padmini.
Nyi Padmini melompat menghindar dan memukulkan tombak di tangannya ke tubuh siluman ular itu. "Tunggu! Apa maksud perkataanmu itu? Siapa kamu?"
"Baiklah, agar engkau tak menyesal di alam baka. Aku Wilis Nagani."
Nyi Wilis Nagani, siluman ular itu, kembali menyerang Nyi Padmini dengan sabetan ekornya. Mengetahui lawannya dapat terus menghindar, ia mengalihkan sasarannya kepada para murid yang berlarian ketakutan. Jemari tangannya berubah menjadi cakar berkuku tajam, meraih kesana kemari. Darah terpercik kemana-mana berasal dari potongan anggota tubuh murid-murid belia itu.
"Nyi Guru!" teriak mereka tak berdaya sebelum meregang nyawa.
Nyi Padmini murka melihat pemandangan di hadapannya. Tombak Banyu Sora di tangannya mengeluarkan sinar berwarna biru dan hawa sangat dingin, begitu juga tubuhnya.
Sadar bahwa ia harus melindungi murid dan putrinya, tanpa ragu dikerahkannya ajian ilmu tertingginya Banyu Lodra. Tubuhnya melesat menyerang Nyi Wilis Nagani, menghantam tubuh ular besar itu hingga terpental menghancurkan pilar dan pintu gerbang.
Ia terengah-engah menatap reruntuhan gerbang itu dengan lega. Lawannya telah musnah. Segera saja ia berbalik kepada para muridnya bermaksud menolong mereka yang terluka. Air matanya tak henti menetes melihat sebagian muridnya tewas dengan keadaan mengenaskan.
"Hihihi. Hanya itu kemampuanmu, Nyi Padmini? Menyedihkan." Terdengar suara tawa Nyi Wilis Nagani dari balik reruntuhan.
Sekejap kemudian, sosoknya muncul kembali. Ular besar itu menggeliat bersiap menyerang. Nyi Padmini kembali mengerahkan ajian Banyu Lodra dengan sisa-sisa tenaganya. Nyi Wilis tidak mengulangi kesalahan yang sama, ia menyerang terlebih dahulu lawannya sebelum ajian itu diluncurkan.
BLAARR..!
Bumi bergetar ketika ajian Banyu Lodra beradu dengan sabetan ekor sosok ular besar itu. Mereka sama-sama terpental ke arah berlawanan.
Nyi Wilis mulai mengukur kekuatan lawannya itu. Ia berpikir jika pertarungan ini diteruskan seperti ini, akan memakan waktu untuk mengalahkan Nyi Padmini. Dan ia tak boleh mengambil resiko bala bantuan datang membantu guru wanita itu.
Ia menyeringai ketika menyadari kelemahan lawan. Ya, murid-muridnya!
Secepat kilat ular besar itu bergerak maju seolah akan menyerang Nyi Padmini yang telah bersiap kembali menyongsong serangan. Tetapi bukan ia yang dituju.
Tanpa diduga, Nyi Wilis membelokkan arah serangannya kepada beberapa murid belia yang berkumpul tak jauh dari mereka berdua. Semburan bisa menyerbu keluar dari mulutnya, menghantam murid-murid itu. Mereka tewas mengenaskan dengan sekujur tubuh terkelupas hangus oleh bisa.
Nyi Padmini tertegun sesaat melihat kejadian itu. Hatinya teriris melihat para murid tidak bersalah kembali menjadi korban.
Ia kembali menyerbu Nyi Wilis. "Siluman keparat!"
Tombaknya menerjang dengan kekuatan penuh. Udara terbelah oleh gerakan tombak yang melaju memancarkan hawa panas. Namun hanya sejengkal lagi tombak Banyu Sora menyentuh tubuh ular besar itu, Nyi Padmini menyaksikan hal yang kembali tak diduganya.
Salah seorang muridnya berada dalam belitan ekor ular Nyi Wilis dan secara licik dihadapkan untuk menerima tusukan tombak yang melaju. Tak ingin melukai muridnya itu, ia mengalihkan arah serangan menyamping tubuh ular Nyi Wilis sehingga posisinya berdekatan dengan lawan.
Walaupun hanya sekejap, Nyi Wilis melihat kesempatan emas. Pertahanan Nyi Padmini agak terbuka dan berada dalam jarak serang. Tanpa membuang waktu, ia mengambil kesempatan itu.
Ia melemparkan tubuh murid yang ada dalam belitannya kemudian ekornya mengayun keras menghantam Nyi Padmini.
BRAAK..!
Kali ini tubuh Nyi Padmini terpental keras menghantam tiang-tiang beranda rumahnya. Ia pun roboh bersimbah darah. Nafasnya tersengal-sengal menahan sakit.
"Dasar licik!" umpatnya.
"Haha. Itu cerdik, bukan licik."
"Hmm. Sepertinya aku mencium harum tubuh seorang bayi. Dimana dia?" desisnya lagi. Tubuhnya berubah kembali menjadi sosok wanita seutuhnya.
Matanya tertuju kepada seorang wanita tua yang meringkuk ketakutan di dalam rumah sambil menggendong bayi di pelukannya. Laya menangis kencang seolah mengerti kejadian buruk yang menimpa keluarganya.
"Jangan sakiti putriku," pinta Nyi Padmini.
Melihat bahaya mengancam jiwa guru dan putrinya, dua orang murid bertubuh besar memberanikan diri menyerang Nyi Wilis menggunakan pedang dan golok di tangan mereka.
CRAAS..! CRAAS..!
Tanpa menoleh ke belakang, Nyi Wilis menyudahi perlawanan kedua murid tadi. Tubuh mereka terpotong menjadi beberapa bagian.
"Ah, bahagianya diriku hari ini. Ayo ikut Bibi, anak manis," ucap Nyi Wilis. Dijilatnya darah di kuku jemarinya sambil melangkah memasuki bangunan rumah.
Berulangkali ia menelan ludah membayangkan kekuatan yang akan ia peroleh. Bagi kaum siluman sepertinya, darah manusia yang masih suci dapat meningkatkan kekuatan dan keabadian. Terlebih lagi, bayi di hadapannya merupakan keturunan dua pendekar berilmu tinggi.
"Lari, Mbok. Selamatkan Laya!" perintah Nyi Padmini. Ia susah payah berdiri di belakang tubuh Nyi Wilis dengan tombak terhunus.
"Hadapi lawanmu yang sepantar, siluman terkutuk!" ucapnya lagi. Tombak Banyu Sora di tangannya melesat menyasar leher Nyi Wilis yang berdiri membelakanginya.
Tak terlihat mata, Nyi Wilis berkelebat menghindari serangan itu dan tiba-tiba cakarnya telah menembus dada Nyi Padmini. Darah segar berhamburan dari lubang di dadanya.
"Aaarrhh." Erang guru wanita yang sangat dicintai para muridnya itu, ia kembali ambruk.
Namun seberkas kilatan hijau menahan tubuhnya sebelum menghantam lantai.
"Wilis! Apa yang engkau lakukan?!"
Nyi Wilis terperanjat. "Lakstri ..?!"