Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 52 - Pemburu dan Mangsa - 5

Chapter 52 - Pemburu dan Mangsa - 5

Nyi Lakstri perlahan meletakkan tubuh Nyi Padmini ke lantai beranda. Ia menempelkan telapak tangannya di dada Nyi Padmini yang sekarat, menyalurkan tenaga murni dari tubuhnya. Sinar hijau di telapak tangannya memancar berpindah memasuki tubuh Nyi Padmini.

"Lakstri, mengapa engkau menolong wanita itu?" Nyi Wilis bertanya tak percaya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Wilis?!" Nyi Lakstri bangkit setelah sebelumnya memberikan isyarat pada beberapa murid yang tersisa untuk mendekati tubuh guru mereka.

"Lakstri, saudariku tercinta. Bukankah engkau mencintai Lembu Dipa? Aku hanya membantumu."

Nyi Lakstri tercekat mendengar jawaban Nyi Wilis. "Be-benar. Tetapi .."

Ia memandang sekeliling dimana para korban bergelimpangan.

"Tetapi apa, Lakstri?"

"Yang kau lakukan terlalu jauh."

Nyi Wilis mendengus. "Huhh. Apakah telingaku tidak salah mendengar ucapanmu? Terlalu jauh katamu?"

"Bukankah dengan menyingkirkan istrinya itu engkau akan lebih mudah menaklukkan hati Lembu Dipa? Dan aku pun akan mendapat …" tambahnya.

"Bukan dengan cara haus darah begini!" potong Nyi Lakstri keras.

Nyi Wilis menggeram. "Tak kuduga, Nyi Lakstri, salah satu panglima kepercayaan Kanjeng Ratu Kidul, yang terkenal paling ganas memakan korban, kini bersikap lembek seperti ini karena cinta!"

"Cukup, Wilis! Tidakkah engkau sadar sedang berbicara dengan siapa?"

"Huh, aku sadar aku hanya wakil dan engkau panglima tinggi di bawah Nyi Blorong. Tetapi aku sama sekali tidak takut kepadamu!"

"Wilis! Jika aku tidak ingat jasamu selama kita bertempur bersama, sudah aku habisi engkau sejak tadi."

"Apa katamu? Menghabisiku? Hihihi." Nyi Wilis terkekeh mengerikan.

Ia memalingkan pandangannya kepada Nyi Padmini yang masih tergeletak dikerumuni beberapa muridnya.

"Aku lah yang akan menghabisimu! Setelah aku selesaikan mereka semua."

Nyi Lakstri berkelebat menghadang gerakan Nyi Wilis. Kini keduanya berhadapan dekat, bersiap saling menyerang.

Derap langkah kuda yang dipacu cepat memasuki pelataran, sontak mengejutkan mereka berdua. Pengendaranya melompat menerjang kedua wanita itu selagi kuda masih melaju. Serempak mereka menghindar saling menjauh.

"Istriku ..!" teriak pria gagah itu, Lembu Dipa. Ia menghambur memeluk tubuh Nyi Padmini.

Sejak mentari mulai turun ke ufuk barat, perasaan gundah dan nalurinya memintanya untuk segera kembali ke padepokan. Setelah memberikan petunjuk kepada para murid yang menyertai untuk meneruskan penjualan hasil ladang mereka, ia bergegas berkuda kembali.

Benar saja, dari kejauhan ia melihat gerbang padepokan porak poranda dan tubuh-tubuh bergelimpangan penuh darah di mana-mana.

Tak ayal, kedua wanita berbaju hijau yang berdiri di antara mereka dengan tangan berlumur darah, ia simpulkan sebagai pelakunya.

"Nyi Lakstri? Dan kau, wanita bersisik perak. Apa yang telah kalian perbuat pada istriku? Pada murid-murid ini?" tanyanya geram.

"Ampun, Ki Guru. Maafkan kami, gagal melindungi Nyi Guru." Beberapa murid yang tersisa berlutut menangis.

"Kanda, kau kembali juga," ucap Nyi Padmini lirih. "Uhuuk .." Ia terbatuk mengeluarkan darah.

"Dinda, maafkan Kanda tak bisa melindungimu," ucap Lembu Dipa.

"Tak apa, Ka-Kanda. Ak-Aku lega engkau te-telah ada di si-sini," jawab Nyi Padmini terbata. Nafasnya semakin tersengal seiring darah segar keluar dari mulutnya.

"A-aku bisa pergi dengan ten-nang. Ka-Kanda, kumoh-hon lindungi Laya pu-tri ki-taa. Hhhh..." Nafas Nyi Padmini akhirnya berhenti.

"Tidaak! Padminii ..!" ratap Lembu Dipa.

"Kalian! Rasakan pembalasanku!" serunya geram. Pedang Agni Sagara melesat kepada tuannya dari sarung yang tergantung pada pelana kuda.

Sinar putih terang menyelimuti pedang itu disertai dengungan keras. Tubuh Ki Lembu Dipa bagai diselimuti lidah api, dipenuhi tenaga yang diserapnya dari unsur api (agni) di dalam bumi.

Nyi Lakstri dan Nyi Wilis menatap gentar pada Ki Lembu Dipa dan pedangnya itu.

"Tu-tunggu, Kanda!" teriak Nyi Lakstri.

Nyi Wilis mundur beberapa langkah. "Ajian Agni Lodra ..!" desisnya.

Sekejap seluruh tubuhnya berubah wujud menjadi ular besar berwarna keperakan, dua kali lipat dari ukuran saat menghadapi Nyi Padmini sebelumnya. Nyi Lakstri pun turut mengubah wujudnya menjadi ular besar berwarna hijau, seukuran Nyi Wilis.

Keduanya merapal ajian yang sama, Sarpa Buntala. Ular-ular besar itu berdiri tegak bagaikan tombak tajam tertancap di tanah. Uap dari bisa beracun yang terpancar membentuk tabir pelindung menyelimuti tubuh mereka.

Udara panas bergolak di sekitar pelataran padepokan dimana ketiga orang dan siluman berilmu tinggi itu bersiap mengadu kesaktian.

Tanpa membuang waktu Ki Lembu Dipa, yang dipenuhi duka dan kemarahan meluap di hatinya, melesat. Ia menyasar sosok ular Nyi Wilis terlebih dahulu.

Nyi Wilis menggeliat di udara menyambut Ki Lembu Dipa dengan tusukan ekornya.

DUARR..!

Tabir pelindung Nyi Wilis hancur tertembus pedang Agni Sagara. Belum cukup, Ki Lembu Dipa merangsek membabat bagian tengah tubuh ular besar itu.

CRAAS..!

Darah berwarna hijau muncrat keluar dari tubuhnya. "Aaarrghh!"

Tubuh bagian atas ular itu berubah kembali ke wujud wanita setengah badan hingga bagian perut. Luka terbuka dan dalam terlihat di sekitar batas antara tubuh manusia dan ularnya. Ia jatuh berdebum dan menggelepar kesakitan.

Begitu kedua kaki Ki Lembu Dipa mendarat menyentuh tanah, ia langsung memalingkan tubuhnya kepada Nyi Lakstri. Disekanya darah berwarna hijau yang mengotori wajah. Sorot matanya membara penuh dendam.

"Kini giliranmu, Lakstri ..!"

Nyi Lakstri melangkah mundur. "Tunggu, Kanda. A-aku tidak mela …"

Kalimatnya terpotong selarik sinar putih yang melesat ke tubuhnya. Ki Lembu Dipa tidak membuang waktu untuk mendengar penjelasannya.

Namun Nyi Lakstri bukanlah saudarinya, yang gegabah menghadapi serangan Ki Lembu Dipa secara langsung. Secepat kilat tubuh ular besarnya berkelit sehingga ia masih sempat menghindari pedang sakti Agni Sagara walau tetap saja angin serangan pedang sakti itu menggores tubuhnya.

Nyi Lakstri mengerti bahwa percuma saja memberikan penjelasan karena lawannya tidak akan mendengar apapun yang ia katakan. Dan untuk melarikan diri pun sudah terlambat, apalagi Nyi Wilis Nagani tergeletak terluka parah. Sejahat apapun perbuatannya, ia tetaplah saudarinya. Kini ia terpaksa harus menghadapi lelaki yang dipujanya itu.

"Baiklah jika engkau memaksa, Kanda," ucapnya mantap. Ekornya melesat menyerang punggung Ki Lembu Dipa.

WUUT..!

Ki Lembu Dipa merasakan suatu tenaga dingin membelah udara di belakang tubuhnya. Dalam keadaan melayang membelakangi lawannya setelah serangannya tadi dapat dihindari Nyi Lakstri, tidak ada waktu baginya untuk menghindar. Segera saja ia mengangkat pedang membentuk gerakan melingkar melewati atas kepalanya hingga pedang berada di belakang tubuhnya.

BLAAR..!

Kekuatan bak tombak tajam yang dibawa ajian Sarpa Buntala beradu dengan ajian Agni Lodra yang dipadu dengan pedang AgnI Sagara, beradu. Kali ini tubuh Ki Lembu Dipa terpental ke depan dan terhempas keras dengan wajah menyusur tanah.

Nyi Lakstri tidak lebih baik. Tabir pelindungnya hancur sehingga kekuatan pedang lawannya mencabik ekor yang digunakan sebagai senjata dan juga mementalkan tubuh ularnya itu sepelemparan batu ke belakang.

Dengan menggeretakkan gigi, Ki Lembu Dipa bangkit dan kembali menyerang Nyi Lasktri. Tak dipedulikannya darah menetes dari wajah dan tubuhnya. Pedang Agni Sagara berkelebat cepat meninggalkan jejak kilatan-kilatan sinar putih di udara malam yang gelap.