Tubuh Mbak Lastri berputar layaknya gasing, meloloskan diri keatas sebelum terjebak dalam pusaran lilitan tubuh ular besar itu.
Namun secepat itu pula, kepala ular Nyi Wilis menyambar tubuh Mbak Lastri dari atas.
"Hrrrh. Kena kau, Lakstri!" geramnya.
"Mbak Lastrii!" teriakku.
Ia menyorongkan kedua ujung telapak tangannya yang menyatu di atas kepala, beradu dengan patukan kepala ular besar yang menyergap dari atas.
BLAARR..!
Bunyi ledakan keras terdengar hingga menggetarkan sekitar tubuhku sebelum tubuh keduanya lenyap dalam sekejap.
"Siluman ini membawaku ke alamnya. Kamu hati-hati, Fel." Suara Mbak Lastri bergema di kepalaku.
Tiba-tiba hantu wanita yang sebelumnya kuhadapi di rumah kos milik Siska, yang merupakan manifestasi kedukaan dan dendam para korban pembantaian di masa lalu seperti yang dialami Mudita dan Sumi. Ia telah berdiri di hadapanku. "Kita ketemu lagi, anak manis. Hihihi."
Bukan hanya ia seorang, sosok-sosok lain bermunculan di belakangnya. Semua berwujud menyeramkan. Tubuh yang tersayat-sayat, badan tanpa kepala, kulit yang meleleh terbakar, perut membusuk berlubang. Dan segala bentuk mengerikan lainnya.
Mayat hidup!
Tangan mereka menggapai dan meraih, mencoba mencengkeramku.
Aku melompat menjauh menghindari mereka yang dengan buas meraih dan menggapai tubuhku. Perutku mual luar biasa menyaksikan segala kengerian itu.
Bak sekawanan lebah, para mayat hidup itu serempak mengepung dan mengikuti kemanapun aku menghindar. Tendanganku menghantam menjauhkan satu dua dari mereka yang mendekat tetapi secepat itu pula kawan mereka kembali menyerang.
Belum habis kesulitan yang kuhadapi, mataku menangkap sesosok tubuh muncul di angkasa dan meluncur jatuh menghempas ke tanah.
Mbak Lastri!
Di sisi lainnya, kulihat Agni Sadawira telah menghancurkan perlawanan Surti dan Tejo.
Kemarahanku meluap seketika.
Magic Ray.
Aku harus menggunakannya sekarang!
Sekejap kemudian bola cahaya itu muncul dari tubuhku. Namun kali ini berbeda dari sebelumnya. Ada rasa panas luar biasa bagai Magic Ray akan meledak di dalam tubuhku.
Kedua tangan dan sekujur tubuhku diselimuti cahaya berwarna putih dan memancarkan hawa jauh lebih panas dari yang pernah aku alami sebelumnya.
"Aaarrghh!" Aku jatuh berlutut. Sementara kumpulan makhluk sialan ini terus mengepung dan menghampiriku.
Dari sudut mataku, kulihat sesosok gadis kecil berlari cepat ke arahku. "Tante Feli!"
"Erina? Jangan!" Aku berusaha bangkit sekuat tenaga. Sangat berbahaya baginya berada di tempat ini. Pada saat yang sama, para mayat hidup telah berada dekat sekali denganku. Dapat kurasakan jari dan cakaran mereka mulai menyentuh tabir pelindung yang dibentuk Magic Ray. Bagian tubuh mereka berubah menjadi bola api dan hangus bergelimpangan setiap kali menyentuhnya. Tetapi mereka terus saja berdatangan tanpa henti bagaikan air bah mengepung.
Erina, baru beberapa langkah ia berlari, sesosok makhluk berbentuk ular raksasa berwarna keperakan muncul menghadangnya. "Ayo, datanglah kemari, Cantik."
Nyi Wilis!
"Mamii!" teriaknya ketika Nyi Wilis merayap mendekatinya. Dengan satu gerakan cepat, siluman jahat itu menggeliat hendak menggelung tubuh gadis kecilku.
"Erinaa!" Jeritan putus asa Mbak Erin terdengar jelas.
"Jangan ganggu anak itu!" Kemarahan meluap dalam hatiku tak dapat kubendung lagi. Selarik sinar putih menyilaukan melesat keluar dari bola cahaya yang melingkupiku, membelah udara dan menghantam telak tubuh Nyi Wilis.
BLAAR..!
Tanpa kuduga, energi Magic Ray turut bergolak. Bola cahaya ini membesar seketika dengan cepat dan meledakkan energinya. Seluruh makhluk yang mengerubutiku terbakar musnah. Hancur menjadi serpihan berwarna merah dan hitam di udara. Ceceran darah dan potongan tubuh yang telah membusuk bertebaran di sana-sini. Anehnya, terbersit perasaan puas dan gembira dalam hatiku melihat kehancuran yang telah kubuat.
Tiba-tiba sebuah pusaran terbentuk di atas udara dan diikuti beberapa pusaran serupa dalam jarak berdekatan. Sekejap kemudian mereka berubah menjadi lubang hitam dimana bermunculan makhluk-makhluk lebih menyeramkan dari para mayat hidup yang telah kuhancurkan tadi.
Aku menatap girang. "Come closer, all of you! Bring it on!"
Tunggu ..! Kamu udah gila, Fel?
Hujan deras yang mengguyur kota Jogja sedari siang, tak henti menebar hawa dingin ke seantero rumah hingga membuatku enggan beranjak dari sofa di mana ku asyik meringkuk membaca novel ditemani secangkir coklat hangat. Bebunyian hasil perpaduan jatuhnya air hujan di genting dan deru angin yang meniup butir demi butir air ke dinding dan kaca jendela, terdengar unik. Turut membuaiku hanyut kedalam kisah novel yang kubaca. Tak jauh dari tema roman cinta remaja.
BRAAK..!
Suara keras terdengar keras dari salah satu kamar di rumah, entah berasal dari kamar utama, kamar ruang belajar Erina atau kamar tamu. Seperti suara jendela kamar yang terhempas angin. Mungkin aku lupa menguncinya.
Dengan enggan aku bangkit dari dudukku dan melangkah memeriksa asal suara itu. Perlahan aku memasuki kamar pertama, ruang belajar Erina, dimana ia biasa tidur siang di dalamnya. Dengan berjingkat, aku memeriksa kunci jendela yang masih dalam keadaan terkunci rapat. Sebelum keluar, kucium kening Erina yang tertidur pulas memeluk boneka Teddy Bear kesayangannya.
BRAAK..!
Telingaku langsung menangkap asal suara barusan. Kamar utama! Cepat kuputar handel pintu kamar dan mendorong daun pintu untuk membukanya.
Astaga!
Keadaan di dalam kamar utama berantakan bagai habis terkena angin puting beliung atau gempa bumi. Ranjang besar berbahan kayu jati berukir tempatku dan Erina tidur bersama di malam hari, terjungkal ke samping dan patah di beberapa bagiannya. Lemari kayu di sudut kamar terguling menimpa ranjang itu. Plafon gipsum seluruh kamar berlubang di sana sini, bahkan sebagian ambruk hanya menyisakan juntaian rangka plafon dan kabel lampu yang bersliweran.
Air hujan masuk dengan deras kedalam ruangan kamar melalui dua daun jendela yang terbuka lebar dan terayun-ayun dihembus angin. Kaca jendela itu hampir semuanya dalam keadaan pecah. Semua porak poranda!
Aku menghambur masuk kedalam kamar bermaksud menyelamatkan dokumen-dokumen penting yang kusimpan di brankas di dalam lemari yang terguling itu. Tak kupikirkan lagi barang-barang lain yang rusak parah.
Dan di situ aku melihatnya. Tepat di sudut kamar!
Seekor ular besar bertubuh setengah manusia atau manusia bertubuh setengah ular besar. Entahlah.
Sisik tubuh ularnya berwarna keperakan dan rambut panjang terjuntai menutupi bagian tubuh manusianya. Seorang wanita!
Dia kah yang diceritakan Felicia waktu itu?
Tapi, kenapa aku bisa melihatnya?
Aku bahkan selama ini tak pernah bisa melihat "teman bermain" Erina, kecuali saat kejadian dengan Mbak Lastri.
Sepasang mata berwarna merah mengintip dari sela-sela rambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Terlihat pula senyum menyeringai memamerkan sepasang taring di kedua sudut bibirnya.
Dan beberapa detik kemudian aku baru menyadari sesuatu. "Feli?" desisku.
Di dekat kaki makhluk itu tampak tubuh Felicia tertunduk berlutut di lantai. Ia gemetar seperti menahan kesakitan yang hebat. Beberapa detik kemudian muncul sinar putih terang menyelimuti seluruh tubuhnya. Tiba-tiba ia mendongakkan wajahnya, menatap ke arahku. Kedua bola matanya turut memancarkan kilau putih terang. Lalu mulutnya terbuka. "Aaarrggh!"
Sinar terang meluncur keluar dari mulutnya. Gemetar tubuhnya semakin hebat. Larik demi larik sinar muncul menembus keluar dari beberapa bagian tubuhnya. Lantai yang kuinjak turut bergetar hebat begitu juga seluruh dinding kamar. Getaran hebat itu menimbulkan suara berderak-derak mengerikan seakan rumah ini akan roboh sewaktu-waktu.