May melirik arloji di tangannya telah menunjukkan pukul satu kurang lima menit, sudah lewat tengah malam. Ia menggeser kursi hingga menempel dinding ruangan sejajar dengan posisi bed head ranjang Daran. Untuk membunuh waktu ia putuskan membaca novel remaja yang ia bawa. Mungkin pukul satu tengah malam, May sedang asyik membaca buku di kursi sebelah ranjang di mana Daran tertidur lelap, ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ia tak begitu mempedulikan dan tetap pada bacaannya. Oh, suster jaga lagi control.
Ruangan kamar kelas satu tempat Daran dirawat berisi dua ranjang pasien yang dipisahkan oleh tirai tinggi, sehingga dalam keadaan tirai tertutup masing-masing pasien tidak dapat saling melihat.
Dari sudut atas bukunya, ia melihat seorang suster berseragam putih-putih melangkah masuk. Suster itu berhenti sejenak di kaki ranjang Daran kemudian berjalan kembali ke sisi ranjang pasien sebelah.
Beberapa menit kemudian, ia mengangkat wajahnya dari buku yang ia baca. Ia menyadari kalau ia tak melihat atau mendengar suster tadi keluar kamar.
Lalu ia teringat akan sesuatu. Sejak siang hari tadi tidak ada pasien lain yang menghuni kamar selain Daran!
Penasaran, ia mendekatkan telinga ke tirai. Mencoba mendengarkan suara dari baliknya.
Mungkin suster tadi lagi beresin ranjang, mau ada pasien masuk, hiburnya dalam hati.
Tetapi sepi. Tak ada suara apapun selain dengkuran halus Daran dan dengung suara pendingin udara.
Dengan takut-takut, ia melangkah setengah berjingkat. Perlahan mengintip ke ranjang sebelah.
Kosong!
Hanya ada ranjang pasien tanpa seorang pun di sana.
Bulu kuduknya berdiri. Ia mundur perlahan.
Diliriknya Daran yang masih tertidur pulas.
Diedarkannya pandangan ke seluruh ruangan.
"Ran, Daran," bisiknya perlahan. Daran tak bergeming. Pulas sekali.
Akhirnya, May kembali ke kursinya.
Ia mengusap kedua lengannya yang merinding. "Ah, mungkin aku nggak lihat waktu susternya keluar."
Ia putuskan membaca kembali.
Bertepatan saat ia mengangkat buku di hadapannya, muncul sosok seorang suster bertubuh tinggi semampai berjalan ke arah pintu keluar. Ia berambut pirang sebahu.
Dua langkah sebelum mencapai pintu, ia berhenti. Kepalanya menoleh ke samping, ke arah dimana May duduk dengan wajahnya yang putih pucat.
Ia menatap May. Tetapi hanya bagian putih yang terlihat di kedua bola matanya!
"Aaaaa..!!" May berteriak kencang, setidaknya dalam benaknya, sebab yang terdengar hanya suara tercekat dari tenggorokan.
Kini suster itu melangkah menghampirinya. Lebih tepatnya melayang mendekat.
Waktu seakan berjalan sangat lambat bagi May.
"Da-Daraan..!" Sia-sia ia mencoba berteriak.
Sekujur tubuhnya kaku tak dapat digerakkan bagai terbelenggu pada kursi yang ia duduki.
Setengah mati ia berusaha menutup kedua mata ketika Si Suster menundukkan tubuh. Wajah putih pucatnya hanya berjarak sejengkal saja dari wajah May.
Suster itu berbisik. Sebuah kalimat tak jelas. Lebih mirip orang bergumam. Lalu sebuah sentuhan sedingin es mendarat di pipinya. Perlahan merambati permukaan pipi dari bagian sisi hingga berhenti di dagunya.
May membuang pandangan ke sisi berlawanan ketika wajah Si Suster mendekat. Telapak tangan sedingin es itu menggamit pelan dagunya.
"Jauhi dia, Cantik." Ia membalikkan tubuh menunjuk sosok Daran.
"Demi keselamatanmu."
A-apa maksudnya? Daran?
Kembali gumaman suster itu terdengar memenuhi ruangan. Lalu sekejap kemudian ia telah berada di sudut ranjang Daran.
Lalu, PLAASS!
Ia menghilang.
"May?! Kamu kenapa?" Tiba-tiba Daran sudah duduk di tepi ranjang. Ia menatap May heran.
"Da-Daran!" May berbisik. Tubuhnya gemetaran. Kedua lengannya menyilang memeluk tubuhnya sendiri. Detik berikutnya, bulir-bulir air mata mulai menetes mengaliri kedua pipinya.
"M-May!" Daran memaksakan tubuhnya untuk turun dari ranjang. Dihampirinya May yang sesenggukan menangis.
"Kamu kenapa?" Ia mengelus lembut rambut sebahu May.
Ingin sekali ia memeluk sahabatnya itu tetapi ia khawatir May akan salah paham. Lagipula, May tidak secara jelas mengatakan telah berpisah atau masih menjalin hubungan dengan Nando.
Namun, sebuah getaran aneh menjalari tubuhnya ketika May berdiri dan dengan kedua tangan memeluknya.
Daran semakin serba salah.
"Aku takut, Ran," rintih May.
"Takut? Takut apa?" Kini Daran balik memeluknya.
May tak menjawab. Ia hanya terus menangis di dada Daran.
"May.."
"Apa? Hantu suster?" Daran membeliakkan mata dan berbisik menahan suaranya setelah mendengar May menceritakan hal menyeramkan yang baru saja dialaminya. Setelah beberapa lama Daran membujuk dan menenangkan May, gadis itu mulai tenang dan kini ia duduk merapat ke sisi tubuh Daran di atas ranjang. Daran merengkuh erat telapak tangan kanan May dalam genggaman kirinya.
Ia memutarkan pandangan ke sekeliling ruangan sembari mengelus lengannya. "Kamu nggak mimpi, kan, May?"
"Nggak, Ran." May menjawab masih berbisik.
"Apa yang aku lihat tadi itu nyata banget." Dengan nada getir, ia menatap lekat mata Daran dengan pandangan sama seperti setiap kali ia meminta Daran untuk percaya dengan perkataannya, terutama ketika mereka terlibat perdebatan seru.
Dan kali ini pun Daran tak meragukannya. Ia menghela nafas sejenak. "Iya, May, aku percaya."
"Biarpun aku tahu kamu itu orang paling rasional yang aku kenal," desisnya.
May menundukkan kepalanya. Ucapan Daran memang benar. Sejak kecil, May tidak pernah percaya dengan hantu, setan ataupun kisah-kisah hantu dan sejenisnya. Menurutnya, semua itu hanya dongeng untuk menakut-nakuti anak kecil atau mitos yang terlalu dibesar-besarkan.
"Ingat, kan, waktu itu?" lanjut Daran, membawa ingatan May melayang ke beberapa tahun yang lalu semasa mereka masih duduk di bangku SMA.
₡ ₡
"Aku cuma percaya sama sesuatu yang bisa aku lihat, bisa aku pegang. Dan aku nggak pernah ketemu yang namanya hantu," ucapnya suatu kali pada Daran.
"Mau ketemu hantu?" goda Daran saat itu.
"Emangnya ada?"
"Ada, lah."
"Aku nggak percaya. Itu cuma tahayul aja."
"Hus! Nggak boleh ngomong gitu," sergah Daran.
"Lha, memang aku nggak percaya, kok!" tegas May kembali.
"Kalau ternyata lihat, kamu percaya?"
"Mmm, tergantung."
"Maksudnya?" kejar Daran.
"Ya, tergantung yang dilihat itu beneran hantu atau cuma bayangan ketakutan kita aja."
"Tapi nggak akan ngelihat juga, kok. Kan memang nggak ada yang namanya hantu!" lanjut May dengan jawaban yang sedikit banyak tak bisa Daran terima. Egonya mulai bangkit. Ia berpikir sejenak lalu teringat sesuatu.
"Hmm, ya udah. Ayo, ntar malem kita ke sekolahan. Berdua," tantang Daran iseng. "Sekalian aku mau ambil efek gitar, ketinggalan kemaren."
"What? Malem-malem ke sekolah? Kurang kerjaan. Ketemu hantu sih nggak, maling iya," dengus May.
"Takut, ya?"
"Enak aja, sama sekali nggak!"
"Terus..?" tanya Daran lagi.
"Ayo!" jawab May mantap tanpa disangka-sangka Daran. Ia pikir gadis sahabatnya sejak kecil ini tidak memiliki nyali sebesar itu. Kini ia yang gentar mendengar jawaban May dan menyesali setengah mati tantangannya tadi.