Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 61 - Mystery Begins

Chapter 61 - Mystery Begins

"Kamu janji kamu akan selalu ada buat aku. Inget kan, Ran?"

"Please, sadar, Ran!" ratapku berulang-ulang hingga membuat suster jaga ICU memberikan kode supaya kami meninggalkan area itu.

"Ayo, Fay, kamu juga perlu istirahat," ajak Mama.

"Tapi, Ma. Daran.. Aku kangen banget sama dia, Ma."

Tante Nia mengusap air matanya dan memelukku erat. "Iya, Sayang. Daran pasti denger kamu. Berdoa, ya, biar Daran segera sadar dan sembuh. Biar kalian bisa jalan bareng lagi."

Aku pun menyerah. Memang tak ada yang dapat kulakukan selain berharap dan berdoa. Mama setengah menyeretku melangkah tertatih menahan sakit kembali duduk di kursi roda yang membawaku ke ruang ICU itu. Baru beberapa langkah Mama mendorongku, Suster Jaga tadi tergopoh-gopoh memanggil Tante Nia.

"Ibu Daran, maaf, sepertinya Mas nya sudah ada respon barusan." Ia menunjuk ke arah Daran di dalam ruangan.

"Lis, hubungi Dokter segera. Bilang, pasien atas nama Daran memberikan respon," perintahnya kemudian pada rekannya.

Aku bangkit dan menghambur masuk ke dalam ruangan tanpa sempat dicegah Mama, Tante Nia dan para suster itu. Kugenggam erat tangan Daran sambil memanggil namanya dan memohon pada Tuhan untuk menyelamatkan dia.

"Fay.."

Suara itu..!

"Daran.."

Terima kasih, Tuhan.

₡ ₡ ₡

"Fay, thank's, ya." Aku menggenggam erat telapak tangan Fay.

Ia menatapku balik dan tersenyum. "Aku yang seharusnya berterima kasih sama kamu, Ran."

"Kok? Buat apa?"

"Buat semuanya," ucapnya lirih.

"Maksudmu?"

Gadis cantik berambut sebahu itu hanya tersenyum. "Ada deh.."

Aku menatapnya bingung. Yang kutahu, sudah satu minggu aku menempati ruang perawatan ini, dimana sebelumnya aku hampir sebulan menghuni ICU dengan kondisi tak sadarkan diri. Koma. Dan kata mereka aku tersadar secara ajaib ketika Fay menjengukku. Wow.

Bahkan sahabat sejak kecilku itu yang baru pulih dari akibat kecelakaan yang ia alami, kini hampir tiada henti menemaniku di rumah sakit sepulang ia kuliah.

"Udahan, ah, sedih-sedihnya. Sekarang kamu habisin makan kamu. Pengen pulang, nggak?" potong Fay membuyarkan lamunanku. Sigap sekali ia menyuapkan sesendok bubur bercampur kuah sup ke mulutku.

"Wah, kemajuan pacarmu ini luar biasa. Mungkin sebentar lagi sudah bisa keluar dari rumah sakit," ucap Dokter Susanto kepada Fay saat ia memeriksaku pada jadwal visit sore hari.

"Eh, bu-bukan.." protesnya sembari menatapku meminta dukungan. Ia menjulurkan lidahnya kepadaku yang hanya tersenyum simpul menahan geli menyaksikan adegan barusan. Dokter Susanto ikut tertawa sembari mengisi lembar pemeriksaan dan berlalu.

"Daran, ih! Nggak lucu!" gerutu Fay menutupi rasa tersipunya.

"Sekali-sekali amal gitu, Fay. Bikin seneng orang."

"Nih, seneng." Sesendok penuh bubur meluncur menyumpal mulutku.

Mendadak, pager di tas Fay berbunyi. Cepat ia meraih dan membaca pesan yang tertera di layar.

"Pasti Tante," tebakku.

"Bukan Mama, Tante Nia."

"Lho, Mama? Kok pager ke kamu?" kejarku.

"Sebentar ya, Ran. Aku telpon dulu." Ia bergegas keluar dari kamar menuju taman kecil di dekat selasar ruang rawat inap karena sinyal telepon genggam AMPS agak sulit ditangkap di dalam ruangan. Tak berapa lama kemudian ia masuk kembali. "Ran, kata Mamamu, dia nggak bisa nungguin malam ini."

"Oh, kenapa?"

"Dia agak demam. Papa kamu juga kurang enak badan."

Aku menghela nafas. "Duh, kasihan Mama dan Papa. Kebanyakan nginep nungguin aku kayanya."

"Ya udah, nggak papa, Fay. Kamu juga pulang, ya. Udah malam," lanjutku.

Ia menggeleng pelan lalu berjalan mendekat.

"Heh? Fay?! Kamu yakin mau nungguin di sini sampai besok?!" Aku terperanjat mendengar ucapan Fay barusan.

"Iya. Aku tadi udah telpon Mama juga. Nggak apa katanya."

Aku memandang lekat gadis mungil di hadapanku. "Nggak usah, Fay. Kasihan kamu."

"Bawel, ih! Aku udah bilang nggak papa ya nggak papa!"

Aku tahu sekali adat sahabatku ini. Jika ia sudah punya mau dan telah memutuskan, maka sulit sekali untuk merubahnya. "Ok, fine. Tapi jangan ngorok ya."

"Daraan!"

₡ ₡

Menjadi pasien rumah sakit dan yang menunggui pasien itu sama-sama tidak enak rasanya. Bahkan dalam hal beristirahat mungkin terasa lebih tidak enak bagi si penunggu karena ruangan rawat inap di rumah sakit pada umumnya tidak menyediakan space yang memadai bagi penunggu, kecuali kelas VIP tentunya, dan hanya tersedia kursi saja untuk beristirahat. Bukan itu saja, kita sebagai penunggu wajib untuk selalu siaga jika sewaktu-waktu si pasien memerlukan bantuan kita, mau ke kamar kecil misalnya. Jadi jangankan tidur lelap, tidur ayam pun sulit. Seperti yang May alami sekarang.

Mendekati tengah malam, seorang perawat datang memeriksa infus Daran dan ia memberitahu May bahwa setelah ini sudah tidak ada perawat yang memeriksa pasien lagi sampai besok pagi, kecuali jika ada emergency.

"Wah, habis ini sepi dong, Sus," celetuknya. Ruangan tempat Daran dirawat ini terletak tidak jauh dari ruangan tempat ia dirawat selama dua hari setelah kecelakaan tempo hari itu, sehingga May tahu betapa sepinya suasana rumah sakit di malam hari.

Suster piket—yang dari penampakannya sudah sangat senior—menjawab datar. "Iya, Mbak."

"Kalau butuh bantuan, silahkan Mbak pencet aja tombol itu." Ia menunjuk papan panel kecil yang menempel di dinding samping ranjang pasien.

"Ok, Sus. Ngomong-ngomong, ruangan suster piket di mana? Jauh nggak?"

Ia melirik May sejenak. "Nggak, Mbak. Itu keluar lorong di depan terus belok kiri. Ya, nggak sampai satu kilo lah..," candanya sambil berlalu keluar ruangan. Ah, Suster.

Benar saja. Suasana kini sunyi sepeninggal suster tadi. Hanya suara jangkrik yang terdengar mendominasi diselingi suara dengungan unit outdoor mesin pendingin udara bergantian menyala dan mati secara berkala. Di ranjangnya, Daran tetap terlelap sedari tadi, tak terganggu sedikit pun.

May menyingkap sedikit tirai jendela dan mengintip keluar koridor bertegel abu-abu yang tampak sepi dan taman yang memisahkan blok ruangan Cemara di mana mereka berada dengan blok lainnya. Cahaya dari dua buah lampu taman yang menyala terang seakan tak mampu melawan pekatnya kegelapan malam. Bahkan kerlip bintang tak terlihat satu pun di langit, tertutup mendung yang menutupi langit kota Yogyakarta sejak sore hari.

Bayangan batang pohon palem dan daun-daun tanaman di sekitarnya yang bergoyang terhembus angin dibiaskan oleh cahaya lampu taman bagaikan membentuk sosok-sosok hitam yang tengah merayap di lantai koridor dan menempel di dinding blok sebelah. May mengelus lengannya yang tiba-tiba meremang.

Takut? Entahlah. Ia merasa bukan tipe orang yang takut akan hantu dan sejenisnya tapi jujur ia akui malam ini ia merasakan ada hal yang berbeda dari biasanya. May buru-buru menutup kembali tirai kamar lalu menyalakan televisi untuk mengusir perasaan kurang nyaman ini. Namun lima belas menit kemudian ia mematikannya kembali karena tidak ada acara yang menarik.