Aku bergerak semakin cepat bergegas menolongnya. Namun sebelum aku dapat menggapai posisinya, sebagian dari kumpulan mayat hidup berpaling berbalik menyerangku. Aku terpaksa melayani mereka terlebih dahulu.
Demikian juga Armus. Dalam sekejap telah terlibat pertarungan dengan Agni Sadawira, pria berbusana dan berkedok serba hitam yang kulihat dalam mimpi yang dibagikan Mbak Lastri.
ERIN BYRNE
Aku menatap nanar Nanta dan Armus yang sedang berjibaku menghadapi para makhluk itu. Erina memegang erat tanganku, turut terpaku melihat pemandangan pertarungan itu yang berada cukup jauh dari kami.
"Mami, Tante Feli kenapa?" Ia mengguncangkan lenganku. Telunjuknya mengarah ke suatu titik.
Tampak di sana, Feli jatuh berlutut. Sekujur tubuhnya diselimuti sinar berwarna putih. Terlihat jelas ia gemetar menahan kesakitan amat sangat. Adegan yang sama dengan yang kulihat di rumahku tadi, tepat sebelum sinar itu menghancurkannya dan juga semua yang ada.
Kumpulan makhluk itu terus mengepung dan menghampirinya.
Gawat! Aku harus menolongnya.
Tapi gimana caranya?
"Mami, tolong Tante Feli, Mi!" Erina menangis.
"Tante Feli!" Mendadak gadis kecilku itu berlari cepat selagi aku terpaku memikirkan bagaimana cara menolong Feli.
"Erinaa!" Aku berlari cepat menyusulnya.
Baru beberapa langkah ia berlari, sesosok makhluk berbentuk ular raksasa berwarna keperakan muncul menghadangnya. "Ayo, datanglah kemari, Cantik."
Ular itu lagi!
"Mamii!" teriak Erina ketika ular besar itu merayap mendekatinya. Ia berbalik lari ke arahku.
Sayang ia terlambat. Dengan satu gerakan cepat, ular besar itu menggeliat hendak menggelung tubuh gadis kecilku. "Erinaa!" seruku putus asa.
Tetapi kulihat dengan jelas ular itu hanya menggelung angin. Pada detik terakhir, tubuh Erina menghilang darinya.
"Jangan ganggu anak itu!"
Tiba-tiba selarik sinar berwarna putih melesat membelah udara di depanku.
BLAARR..!
Ular raksasa berwarna perak itu terpental jauh dihantamnya. Serpihan-serpihan kecil berwarna merah dan hitam tampak berhamburan di udara di sekitar lintasan sinar tadi.
Tanah di kakiku terguncang hebat. Aku terjajar ke belakang oleh hawa panas luar biasa yang menyertainya. Sontak aku menoleh ke arah asal sinar itu. Feli tengah berdiri mematung di sana, terkungkung dalam bola cahaya besar berwarna putih menyilaukan. Magic Ray.
"Mami!" Erina muncul di belakangku. Ternyata ia telah meloloskan diri menggunakan kekuatan berpindah antar dimensinya.
"Terima kasih, Fel," bisikku.
Serpihan-serpihan tersebut mulai berjatuhan ke tanah di sekitarku. Beberapa keping di antaranya mendarat di rambut dan baju yang kukenakan. Aku mengibas rambutku untuk menyingkirkannya dariku. Erina turut mengibas rambut dan pakaiannya.
Apa ini?
Bau anyir menyeruak dari potongan benda kecil di tanganku. Aku mengamatinya lebih jelas.
"Hiii ..!" Aku melemparkan jauh-jauh benda yang kupegang. Potongan daging berdarah yang sebagiannya hangus menghitam!
"Apa ini, Mi?" Erina menyorongkan telapak tangannya yang penuh dengan serpihan itu. Spontan aku meraih dan membuang benda menjijikan itu dari tangannya.
"Kalian baik-baik aja?" Nanta berlari menghampiri kami. Baju yang dikenakannya robek di beberapa bagian dan berlumuran darah. Armus mengikuti di belakangnya.
"Kami berdua baik, Nan. Kamu sendiri?" Aku menunjuk lumuran darah di bajunya. "Kamu juga, Armus?"
"Oh, bukan. Ini bekas makhluk-makhluk sialan itu."
"I'm fine too," timpal Armus
"Oh, syukurlah."
Aku memandangi medan dimana semula Nanta dan Armus berada. "Kemana mereka?"
"Dia pergi. Menghilang begitu aja setelah ledakan barusan. Mungkin takut pada kekuatan Felicia," jawab Armus.
Nanta menyeka keningnya. "Sebagian sudah kubereskan. Sebagian lagi ikut lenyap."
Lalu ia mengalihkan perhatian kepada Felicia yang tengah berdiri mematung beberapa puluh langkah dari kami. Ia berlari menghampirinya. "Feli, kamu nggak papa?"
Tiba-tiba langkahnya terhenti. Sebuah pusaran terbentuk di udara di atasnya. Diikuti beberapa pusaran serupa dalam jarak berdekatan. Dalam sekejap, pusaran-pusaran itu berubah menjadi lubang-lubang hitam tempat dimana bermunculan lebih banyak lagi mayat hidup dan makhluk menyeramkan lain dari dalamnya. Mungkin ratusan jumlahnya!
BUUM..! BUUM..!
Tanah yang kami injak kembali bergetar. Belum cukup dengan munculnya ratusan makhluk itu, menyusul pula mendarat beberapa makhluk bertubuh seukuran rumah tiga lantai. Suara berdebum langkah mereka saja sudah cukup menggetarkan nyali siapapun yang mendengarnya. Tubuh raksasa mereka terbungkus bulu berwarna hitam. Mata merah mereka yang sebesar lingkaran drum membelalak dengan taring mencuat keluar dari samping deretan gigi tajamnya. Aroma mereka mirip sekali dengan ketela atau ubi bakar, namun jauh lebih kuat. Tanpa dikomando, makhluk-makhluk itu menghambur menyerbu kami berlima.
"Hahaha! Ayo, semua maju!" Berada dalam bola cahaya raksasa yang mengambang beberapa meter dari tanah, Felicia merentangkan kedua tangannya ke samping tubuhnya. Kedua matanya memancarkan sinar putih terang. Ia bergantian menatap kami satu per satu dari jauh. "Leave this place!"
Raut wajahnya mengeras. "Or die."
Suara itu?
Itu bukan suara Feli yang aku kenal!
BLAAR..!
Magic Ray kembali menampakkan kedahsyatan yang terkandung di dalamnya. Seluruh tempat ini bergetar hebat ketika bola cahaya raksasa itu meledakkan energinya. Bagai gelombang besar, ia menyapu barisan makhluk lain dimensi yang berada dalam lintasannya. Dalam seketika udara dipenuhi warna memerah oleh serpihan-serpihan sisa tubuh mereka.
Gelombang cahaya itu tetap melaju. Kini mengarah kepada kami berempat. Hawa panas luar biasa yang dipancarkannya terasa membakar di kulit.
"Lari! Kalian harus cepat pergi dari sini!" teriak Nanta. Ia mendorongku, Erina dan Armus menjauh sementara ia berlari kembali kearah Magic Ray yang tengah mengamuk. Ditepisnya Armus yang berusaha mencegahnya.
"Nanta! Jangan nekad!" teriakku. Tubuhnya lenyap ditelan cahaya menyilaukan di depan sana.
Hampir saja aku turut menyusulnya jika Armus tidak menahanku. "Don't be stupid! You have Erina."
Erina langsung tahu apa yang harus dilakukannya. Cepat ia memusatkan konsentrasi untuk membuka portal kembali. Namun sejenak kemudian ia berhenti. "Tante Feli dan Om Nanta nggak ikut?"
Belum sempat aku menjawabnya, amukan Magic Ray telah mencapai tempat kami berlindung. Kami terlambat! "Erin, awas!" teriak Armus. Ia memeluk kami dan membiarkan punggungnya menjadi tameng penahan hawa panas yang memancar.
"Mami, aku takut!" Ia meringkuk ketakutan. Bagaimanapun ia tetap seorang anak kecil.
Celaka!
Mendadak sebuah getaran aneh terasa mengalir di sekujur tubuhku. Aku menatap kedua telapak tanganku yang tiba-tiba berubah kelabu, demikian juga seluruh lenganku. Sekujur tubuhku bergetar tak terkendali. Dua larik kabut berwarna kelabu keluar dari masing-masing telapak tanganku. Mereka berputar membentuk pusaran kecil di atas telapak tanganku sebelum melesat ke udara.
Didahului suara gemuruh, pusaran kecil itu berputar membentuk sebuah pusaran besar berwarna kelabu di atas sana. Pusaran besar itu berputar semakin cepat dan menghisap energi dahsyat Magic Ray yang telah mencapai kami.
Beberapa saat kemudian, gelombang cahaya itu memudar dan lenyap. Menyisakan kabut tebal berisi abu sisa dari apapun yang dilalapnya.
Aku jatuh terduduk kehabisan tenaga. Memeluk Erina yang sesenggukan di pangkuanku. Entah dimana Armus berada. Apalagi Felicia dan Nanta. Air mataku tak terbendung lagi.
Erina membelai lembut pipiku. "Mami, kita pulang?" Aku mengangguk lemah. Kami melangkah berpelukan memasuki portal yang dibuka Erina.
"Tunggu ..!" seru seseorang dari balik kabut.