Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 60 - Don't Go - 2

Chapter 60 - Don't Go - 2

Dengan terburu-buru aku memacu mobilku, tepatnya mobil Katana milik Papa, menuju toko buku Gramedia. Si empunya mobil sedang tugas dinas di luar kota selama enam bulan, jadi aku bisa memakai mobil itu sepuasnya. "Yang penting hati-hati." Hanya itu selalu pesan Papa.

Sesampai di tujuan, aku lari bagaikan kilat ke bagian penjualan kertas dan alat gambar untuk membeli kertas kalkir yang kubutuhkan. Lega sekali perasaanku setelah semua terbeli. Tetapi aku harus buru-buru pulang kembali ke rumah meneruskan pekerjaan yang tertunda tadi.

Tepat saat mobilku mulai berjalan pelan meninggalkan lokasi parkir, sebuah pemandangan di teras toko buku itu membuatku tertegun. Nando..?!

Nando, calon tunanganku itu, sedang asyik memeluk seorang gadis cantik dan bertubuh molek. Malah beberapa kali kulihat Nando mendekatkan bibirnya ke leher gadis itu. Entah apa yang mereka perbuat. Sontak kuhentikan mendadak mobilku dan keluar menghampiri mereka. "Nando..?!"

Ia terkejut melihatku dan spontan melepaskan pelukannya dari gadis seksi itu.

"F-Faay.." ucapnya tergagap. Gadis di sebelahnya hanya terdiam melihat Nando salah tingkah.

"Siapa dia, Ndo?"

"Eee.. Tem-temen," jawabnya terbata.

"Oh, mesra sekali ya sama temen?!" tanyaku geram.

Nando melangkah mendekatiku dan berusaha memelukku. "May, aku bisa jelasin."

"Nggak perlu!" Aku mendorong tubuhnya menjauh. Sementara bunyi klakson mobil yang mengantri di belakang mobilku terdengar kencang bersahutan karena menghalangi jalan mereka.

"Wooii..! Kalau berantem di rumah. Jangan di jalan!" umpat seseorang.

Aku bergegas masuk dan membanting pintu mobilku meninggalkan Nando dan gadis itu. Kuinjak gas dalam-dalam dan melaju cepat kembali ke rumah dengan perasaan hancur remuk redam.

Kamu benar, Ran. Ternyata Nando memang tidak pernah berubah.

Mendekati sebuah tikungan, tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju cepat menyeberang memotong jalanku tanpa memberi aba-aba. Aku menginjak rem secepat kilat dan membanting setir menghindari tabrakan.

BRAAKK..!!!

Kurasakan mobilku menabrak sesuatu, mungkin pagar pembatas jalan di tikungan, dan melayang.

Hitam.. Gelap..

Hanya itu yang kuingat kemudian.

"May.. May.. Bangun.." Sebuah suara yang telah sekian lama menghilang dari hidupku tiba-tiba terdengar merdu memanggil namaku.

Dengan susah payah kucoba untuk membuka mata, di antara sakit luar biasa yang melanda kepala dan sekujur tubuhku.

Wajah itu.. Ya, wajah Daran.

Walaupun terlihat samar tetapi aku tahu kalau itu Daran.

"Hai, May," sapanya lembut.

"Da-Daran..? Ini be-bener ka-kamu, Ran?" tanyaku susah payah.

Ia menatap wajahku lembut dengan senyum manis khasnya. "Iya. Sekarang kamu pejamin mata, ya. Aku mesti bawa kamu ke atas."

Sekejap kemudian kurasakan kedua lengannya mengangkat keluar tubuhku dari kabin pengemudi yang ringsek, menggendong dan kemudian mendaratkanku dengan lembut di atas permukaan tanah beraroma rumput lembab.

"Ran, maafin aku, ya," desisku. Kurasakan kesadaranku kembali memudar.

"Nggak ada yang perlu dimaafkan, May." Ia menjawab lembut berbisik di telingaku.

"Terima kasih, Ran."

"Aku selalu ada buat kamu, May. Seperti janji kita." Aku sempat mendengar ucapan terakhirnya itu sebelum kesadaranku kembali menghilang.

"Daran.."

₡ ₡

Pancaran sinar terang menerabas kuat melalui sela-sela mataku yang terpejam, perlahan mengembalikan kesadaranku. Ditambah aroma tajam menyengat yang tercium, merangsang otakku untuk mulai mencerna apa yang terjadi.

Bau ini..! Seperti tidak asing. Bau obat?

"May, kamu udah sadar?" Suara Mama terdengar lembut menyapaku. Ia tengah berdiri di samping ranjang tempatku terbaring.

"Mama..?!" balasku bingung.

"Masih pusing, Sayang?" Ia membelai lembut keningku.

"Kita ada di mana, Ma?"

"Di rumah sakit."

Hah?!

Kesadaranku perlahan-lahan mulai pulih seutuhnya. Mulai dari saat aku menangkap basah Nando bersama perempuan lain sampai kepada kecelakaan yang aku alami. Aku mencoba bangkit sambil meringis menahan perih di tangan dan kakiku yang diperban di beberapa bagian. Begitu pula kening bagian kiriku.

"Jangan banyak gerak dulu, May," cegah Mama.

"Iya, May. Tiduran dulu, ya."

Lho, Tante Nia?

"Tante..?!" Aku menoleh ke asal suara dan mendapati seorang wanita cantik seusia Mama tengah berdiri memandangiku, mamanya Daran.

"Iya, Sayang," Ia tersenyum. Kuperhatikan wajahnya tampak agak pucat seperti kelelahan.

"Ma, Tante, udah berapa lama aku di sini?"

"Semalam kamu masuk UGD, syukurlah sekarang kamu udah sadar."

"Memangnya separah apa, Ma?"

"Kata dokter sih nggak ada yang serius, hanya luka lecet dan memar akibat benturan. Semalam aja kamu sempat sadar sebentar terus dikasih obat pereda nyeri sama dokternya."

Aku manggut-manggut sejenak mendengar penjelasannya sembari mengingat-ingat kejadian semalam. "Mmm, mobil Papa?" tanyaku takut-takut.

"Nggak papa, kok. Cuma kepengen mandi aja kali dia lama nggak pernah kamu cuci, sampai dia nyemplung gitu. Untung airnya cuma sebetis." Mama terkekeh diikuti Tante Nia.

Aku hanya bisa nyengir menahan rasa antara geli dan sakit. "Mama, ih."

Aku tiba-tiba teringat akan sesuatu.

"Tante, Daran mana? Nggak ikut?" Aku mencari sosoknya di ruangan rawat inap tempatku berbaring. Tante Nia beradu pandang dengan Mama. Bibirnya tampak bergetar.

"May, kamu istirahat, ya," sela Mama.

"Daran mana, Ma, Tante?"

"Ng.. Daran.."

"Biarlah, Mbak. Mungkin baik buat May kalau kita beritahu sebenarnya," sela Tante Nia. Nada suaranya menyiratkan sesuatu telah terjadi pada Daran.

"Ada apa, Tante? Ma?" kejarku.

Tante Nia melangkah mendekatiku. Mama menyusul berdiri tepat di sampingnya.

"Daran koma, May." Tante Nia tersedu mengucapkan kalimat barusan. Air mata mengalir membasahi pipinya.

"Apa, Tante..? Da-Daran koma?!"

"Iya, May. Udah hampir sebulan dia belum sadarkan diri," sambung Mama.

"Sakit apa? Dirawat di mana, Tante?"

"Diagnosa dokter, ada syaraf Daran yang terganggu." Tante Nia menyeka matanya.

"Ya ampun, Daran.."

"Saat ini kondisinya stabil tapi belum sadar. Dia dirawat di sini juga, May. Di ICU," jelas Tante Nia lagi.

"Tapi, Tante.." protesku.

"Kenapa, May?"

"Semalam Daran yang nolongin aku, Ma, Tante. Nggak mungkin dia koma, kan?!"

"Apa, May..?!" Mama dan Tante Nia terperanjat.

"Iya, Ma, Tante. Sungguh. Daran yang angkat aku ke atas dari tebing itu," sambungku. Dengan menggebu aku menceritakan apa yang aku alami saat terjadinya kecelakaan itu. Mereka menatapku dengan pandangan antara percaya dan tidak selama mendengarku bercerita, mungkin bagi mereka aku hanya berkhayal atau berhalusinasi. Konyolnya, di satu sisi aku pun merasa apa yang kuceritakan tentu tidak masuk akal jika Daran memang sedang dirawat dan tak mungkin Tante Nia dan Mama bercanda soal itu, namun di lain sisi aku tetap bersikeras Daran lah yang menolongku kemarin malam.

Siang itu juga aku ngotot ingin bertemu Daran, apapun keadaannya. Dari balik kaca yang membatasi ruang ICU, kulihat tubuh Daran terbaring dengan selang di beberapa bagian tubuhnya.

"Ya ampun, Daran. Kenapa kamu bisa seperti ini?" ratapku di pelukan Mama.

"Sebenernya Daran mulai merasa sakit udah berapa bulan yang lalu, May. Dan Tante mau kasih tahu kamu dan Mamamu, tapi Daran selalu bersikeras melarang Tante. Dia nggak mau kamu tahu dia sakit," jelas Tante Nia.

"Iya, May. Mama aja baru tahu semalam waktu kesini habis dikabarin rumah sakit kalau kamu kecelakaan. Itu juga karena ketemu Tante Nia di ruang tunggu."

"Daran..! Daraaannn..!" panggilku sesenggukan.