Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 59 - Don't Go

Chapter 59 - Don't Go

Daran menatapku lekat sembari menggenggam jemariku. "May, kita tetep sahabatan, kan?"

Kupalingkan pandanganku ke jalan di luar kafe dimana kami duduk sore itu, menghindari tatapannya. Kutahan perasaanku yang campur aduk. Ingin rasanya aku segera meninggalkan tempat itu dan menangis sejadi-jadinya di kamarku.

"Ran, aku udah maafin kamu. Tapi buat sahabatan lagi, aku nggak tahu. Aku butuh waktu." Perlahan kutarik tanganku lepas dari genggamannya.

"May, please.."

Rasa geram di dadaku kembali memuncak. Kali ini aku balik menatapnya penuh kebencian.

"Puas kamu, Ran? Dah hancurin hubunganku sama Nando?"

"A-aku nggak bermaksud gitu, May."

"Terus, apa maksudmu kemaren ngancem Nando?"

"Sekali lagi aku minta maaf, May. Aku kelepasan kemaren. Aku cuma nggak mau kamu disakiti sama dia."

"Ran, denger ya! Aku udah gede, udah kuliah. Kamu nggak perlu ajarin aku milih pacar!" Aku bangkit dengan kesal, bergegas keluar meninggalkannya.

"Tunggu, May.. May..!"

Tak kupedulikan lagi ia mengejar sembari berkali-kali memanggilku.

"Taksiii..!"

Aku dan Daran tinggal bertetangga di sebuah kompleks perumahan dinas sebuah perusahaan BUMN, hanya terpisah beberapa rumah saja. Kebetulan hubungan orang tua Daran dan orang tuaku cukup akrab sehingga kami anak-anaknya pun menjalin persahabatan sejak kecil hingga saat ini kami berdua sedang menginjak bangku kuliah meski berbeda kampus.

Hubungan kami erat sekali, mungkin karena kami berdua sama-sama anak tunggal, sampai-sampai orang tua kami sering saling menggoda memanggil dengan sebutan "besan".

Ah, tidak ada sedikitpun perasaan cinta kepadanya selain rasa sayang sebagai sahabat. Begitu pun ia padaku.

Namun, kejadian beberapa hari yang lalu itu menghancurkan semuanya.

"Nando, kamu kenapa diem terus gitu, sih?" tanyaku begitu kami duduk di sofa ruang tamu rumahku. Aku bingung dengan sikapnya saat mengantarku pulang dari kampus, membisu sepanjang perjalanan.

"Nggak apa-apa," jawabnya ketus.

Aku menggeser posisi dudukku mendekatinya.

"Nando.." ucapku seraya menggapai bahunya.

"Apaan, sih?" Ia menepis tanganku.

"Tuh, kan, kamu marah?"

"Enggak."

"Lha, terus?"

Ia menghela nafas sejenak.

"Kesel aja," ucapnya kemudian.

"Memang ada apa, Ndo?" kejarku.

Ia menatapku tajam. "Males, ah. Palingan kamu ntar belain dia."

"Dia..? Siapa sih maksudmu?" tanyaku bingung.

"Sahabatmu, tuh."

Aku terkesiap mendengar ucapannya. "Eh, siapa? Daran?"

"Hhh, siapa lagi!" dengusnya.

"Daran? Memang si Daran ngapain, Ndo?"

"Kamu tanya aja sama sahabatmu itu, May." Ia menjawab kesal.

"Udah ya, May. Aku pulang." Ia bangkit dan melangkah ke pintu depan. Aku cepat berdiri menghalanginya.

"Ndo.. Nando.. Jangan marah gitu, dong."

"Cerita sama aku, Ndo," pintaku memelas.

Wajah tampannya mengeras ketika ia akhirnya menceritakan padaku apa yang terjadi antara ia dan Daran.

Sehari sebelumnya, Daran menemui Nando di tempatnya biasa nongkrong bersama teman-teman klub mobilnya dan pada intinya Daran meminta Nando untuk tidak meneruskan hubungannya denganku.

"Katanya aku tidak cukup baik buat kamu, May. Apa coba maksudnya?"

Bagaikan tersambar petir aku mendengar cerita Nando siang itu. Daran..?!

"Nggak.. Nggak mungkin Daran gitu," desisku tak percaya.

"Tuh, kan. Apa aku bilang tadi. Kamu pasti belain dia."

"Eh.. Nggak gitu, Ndo. Aku kaget aja denger Daran bilang gitu ke kamu."

"Ya udah. Sekarang kamu pilih, aku atau sahabatmu itu?" ucapnya geram. "Aku pulang!"

"Ran, jelasin sekarang juga. Kamu kemaren ngomong apa ke Nando?!" tanyaku tanpa ba bi bu begitu Daran menemuiku di kafe langganan kami. Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut melihatku menanyainya dengan nada tinggi.

"Mmm, May. Sabar, aku bisa jelasin," jawabnya pelan.

"Ok. Sekarang cerita!" bentakku.

Ia menghela nafas sejenak sebelum menjawab. "Aku kemaren cuma ngobrol sedikit sama dia. Urusan cowok, lah. Aku nggak nyangka dia bilang ke kamu."

"Memangnya kenapa kalau dia bilang ke aku? Aku kan pacarnya. Wajar dong dia ngomong."

"Hmmh..." ia menghembuskan nafas kembali.

"Daran! Ceritaa..!" bentakku.

Matanya sayu menatapku. "A-Aku cuma bilang sama dia, kalau memang dia serius sama kamu, jangan ngelaba sama cewek lain."

"Daraann..! Apa-apaan sih kamu?"

"Aku.. Aku nggak mau kamu sakit, May. Nando itu cowok brengsek."

Dalam hati aku mengakui mungkin sebagian ucapan Daran benar. Nando memang terkenal playboy di kampus, berbekal ketampanan dan kekayaannya. Tapi itu dulu, sebelum dia bersamaku. Ia sudah berjanji padaku bahwa aku lah satu-satunya di hatinya.

"Darimana kamu bisa bilang dia brengsek, Ran? Memangnya kamu tahu gimana dia sekarang? Dan kenapa kamu nggak ngomong sama aku dulu?" Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku, siap untuk jatuh sewaktu-waktu.

"Aku kecewa banget sama kamu, Ran. Kamu nggak hargain persahabatan kita selama ini," sambungku.

"Ma-maafin aku, May. Aku.. Aku nggak bermaksud gitu.."

₡ ₡

Sejak pertemuan di kafe sore itu, hubunganku dan Daran memburuk. Lebih tepatnya aku yang selalu menghindarinya.

"May, dicariin Daran tuh di depan," ucap Mama suatu kali.

"Bilang aku tidur, Ma," jawabku dari dalam kamar. Mama hanya menghela nafas melihat sikapku. Begitu pun telepon darinya tak pernah mau kujawab.

Seiring waktu, perlahan hubunganku dengan Nando membaik. Bahkan ia berucap berencana mengajakku bertunangan tahun depan. "Tunggu Papa pulang dari Amrik, ya, May," ucapnya suatu malam di depanku dan Mama.

Beberapa bulan kemudian, aku semakin jarang dan bahkan sebulan terakhir sama sekali tak pernah melihat lagi sosok Daran. Suara bising knalpot sepeda motor trail kuningnya yang biasa lewat depan rumahku tak pernah lagi terdengar.

"Ma, Tante Nia pindah, ya?" tanyaku pada Mama sembari mengintip dari tirai kaca dapur yang menghadap jalan kompleks dimana ia biasa melintas.

"Nggak, kok. Kenapa memang?" balas Mama.

"Kangen sama Daran, ya?"

Aku tersenyum kecil mendengarnya. Jujur dalam hati kecilku, terkadang aku merindukan tawa dan saat-saat mengobrol dengannya. "Daran nggak pernah kelihatan ya, Ma?" lanjutku.

"Iya ya, May. Mama pikir perasaan Mama aja nggak pernah lihat dia. Mama juga lama nggak ketemu Tante Nia."

"Ah, mungkin dia sibuk sama bandnya."

"Iya kali. Apa mau Mama tanyain ke Tante Nia?" ledek Mama.

"Jangan. Jangan, Ma. Nggak usah. Ke ge-eran nanti dia," potongku cepat.

"Yakiin..?" Mama mengerlingkan matanya.

"Mama apaan, sih?"

"Maay.. Nando dateng, tuh," panggil Papa tiba-tiba dari ruang tengah menghentikan pembicaraan kami. Fiuuhh...

Tak terasa hari pertunanganku dengan Nando semakin dekat, hanya tinggal beberapa minggu lagi. Hari-hariku semakin sibuk tersita oleh kuliah dan Nando. Anganku akan hari depan yang bahagia bersama Nando semakin menjulang.

Namun, malam itu...

Waduh, mati aku! Kertas kalkir habis!

Kukutuki keteledoranku memeriksa stok kertas kalkir yang ada di kamar, padahal kertas tersebut vital sekali untuk tugas menggambar gedung yang sudah harus dikumpulkan besok sore. Mana sudah hampir jam sembilan malam.