Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 57 - Clash of Dimensions

Chapter 57 - Clash of Dimensions

Naluriku berkata untuk segera meninggalkan ruangan ini dan menyelamatkan Erina. Namun belum sempat aku membalikkan tubuh, secara mendadak hawa panas luar biasa datang menyergap.

Tepat sebelum aku memejamkan mata menahan silau dan panas yang ada, tubuh Feli lenyap dari pandanganku. Berubah menjadi bola sinar raksasa kemudian meledak memancarkan sinar terang menghancurkan semua yang dilewatinya. Termasuk wanita setengah ular itu.

"Felii ..!" ratapku histeris.

Tak kupercaya Felicia yang beberapa bulan terakhir intens bertemu dan berbincang bersamaku harus mengalami nasib tragis seperti ini di depan mataku. Hancur bersama Magic Ray.

Tetapi,

Kenapa aku tidak ikut terkena sinar penghancur itu?

Rasa terkejut, sedih dan bingung bercampur menjadi satu. Aku meraba wajah dan tubuhku. Mereka semua dalam keadaan baik.

Belum habis kebingunganku, tiba-tiba sosok Aunt Mary muncul di hadapanku. "Erin."

Aku menatap tak percaya. "Aunt Mary? You're here?"

"Not really, Dear." Ia tersenyum tipis.

"You saw what happened to your friend Felicia, right?" lanjutnya.

Aku tak kuasa menjawab pertanyaannya. Aku hanya dapat menangis sesenggukan. "Feli.."

"Well, don't be sad. She is still alive right now."

"What?" tanyaku kaget.

"What you saw before was her near future. Tragic one. But you still can help her, Erin."

Aku terkesiap mendengarnya. Ternyata masih ada harapan. "Really?"

Ia melangkah mendekatiku. "Yes, Dear. But you must be hurry!"

"B-b-but, how?"

"You'll find out. You have The Power of Alastrine." Ia menepuk kedua bahuku.

"Power of Alastrine? What is that?"

"Great ancient power. Yours."

"But, i don't have any power at all."

Ia menatapku tajam. Kedua tangannya mencengkeram erat bahuku. "Now, wake up! Go help her! Hurry!"

Semua hal di hadapanku mendadak terlihat berputar. Berputar cepat dan semakin cepat. Lalu semuanya lenyap. Pada titik itu, jiwaku bagaikan tercerabut paksa dari satu dunia dan dihempaskan ke dunia yang berbeda. Aku melayang di udara!

Terpana kulihat tubuhku sedang tertidur di sofa tak jauh di bawah sana.

"Mami, Mami!" Erina dengan keras memanggilku berkali-kali. Kedua tangan kecilnya mengguncang-guncang tubuhku. Bagaikan terhisap mesin vacuum raksasa, diriku melesat ke bawah dan masuk bergabung kembali dengan tubuh asliku.

What a strange dream!

"Bangun, Mi! Kita harus segera tolong Tante Feli!"

Sontak aku membuka mata mendengar ucapannya barusan. Ketika kuarahkan wajahku ke samping, gadis kecilku menatapku dengan raut wajah panik. Melihat aku telah membuka mata, ia menghambur memelukku. Langsung kubalas tak kalah erat.

"Ada apa, sayang?" Aku bangkit kemudian mendudukkannya di sofa bersebelahan denganku.

Ia menatap serius. "Tante Feli, Mi. Dia dalam bahaya."

"Oh ya? Erina kok bisa bilang begitu?"

"Grandma Mary."

Jantungku berdegup kencang. "Grandma Mary?"

"Iya, Mi. Tadi Grandma datang di mimpi Erina.���

"Oh, lalu?"

"Grandma bilang kita harus segera tolong Tante Feli," jawabnya polos.

Tak salah lagi, Aunt Mary telah memberikan peringatan yang sama pada kami berdua. Tetapi tetap saja aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Felicia dan bagaimana cara menolongnya.

Aku tak boleh gegabah dalam hal ini.

NANTA FERDINAND

Si kecil Erina melangkah cepat di depan kami. Rambutnya yang dikepang dua berayun mengikuti gerakan lincahnya. Ia menoleh sejenak ke belakang dengan wajah tak sabar. "Mami, Om Nanta, Om Armus, cepetan dong!"

"Iya, sayang. Ini juga udah cepet, kan," jawab Mbak Erin terengah-engah. Begitu pun aku dan Armus yang turut kewalahan mengejar Erina.

Sebelumnya, aku baru saja selesai berpakaian dan hendak membaringkan tubuh di kamar kosku ketika Nia tergopoh-gopoh mengetuk pintu mengabarkan jika ada telepon penting untukku.

"Telepon? Dah lewat tengah malam gini?" tanyaku tak percaya.

"Iya, Mas. Dari Mbak Erin. Katanya penting sekali." Nia menarikku ke rumahnya. Tak sampai lima menit kemudian, aku telah kembali meluncur menembus dinginnya malam menjelang dini hari ini.

"Aku pergi lagi, Ya. Makasih udah terimain telpon tengah malem begini." Aku mengacak-acak rambut Nia sebelum pergi.

"Mas Nanta, iih. Nyebelin!"

Dan beberapa menit yang lalu, sesuai kesepakatan pembicaraan kami di telepon, kami berempat telah berada tepat di depan rumah kos milik Tante Santi dimana Feli tinggal.

Setelah mendengar penjelasan Mbak Erin dan Erina, tanpa ragu aku dan Armus bersepakat untuk segera bertindak menolong Feli yang sedang berada di "dimensi antara" atau dalam istilah Inggris disebut sebagai "twilight zone". Dimensi perbatasan di antara dimensi dimana kita berada dan dimensi roh.

Perjalanan melintas antar dimensi kali ini berbeda dengan pengalamanku sebelumnya bersama Di.

Erina membawa kami menembus batas antar dimensi melalui portal berbentuk lingkaran besar yang terbentuk secara ajaib di depan pintu gerbang, dimana kami hanya melihat kegelapan di seberang portal itu.

Anehnya, begitu kami melewati portal itu bukan kegelapan kami temui melainkan sebuah lorong dengan diameter sedikit di atas ukuran orang dewasa. Cahaya kebiruan menerangi sekelilingnya.

Aku sempat menatap ke bawah dimana kakiku melangkah. Tenyata dasar lorong ini tembus pandang. Seolah kami sedang berjalan di atas permukaan kaca berwarna kebiruan. Di bawah sana terlihat samar ujung-ujung bebatuan runcing mendongak ke atas, bersiap menyambut siapapun yang terjatuh.

Menoleh ke selingkaran sisi lorong, aku terbengong-bengong menyaksikan kilasan demi kilasan sosok manusia, hewan, kendaraan, bangunan dan segala benda yang biasa terlihat di bumi di luarnya. Mereka melintas dengan cepat di sekali waktu dan bergerak lambat di waktu yang lain tanpa pola baku. Bentuk mereka pun berubah-ubah tidak beraturan bahkan menghilang dan muncul kembali secara acak.

Tiba-tiba Erina menghentikan langkahnya. "Itu Tante Feli!"

Sebuah lubang besar terbentuk kembali di sisi lorong di hadapannya. Tak jauh di luar sana, tampak Feli tengah berdiri di sebuah hamparan luas. Sosok-sosok manusia dengan bentuk mengerikan dimana sekujur tubuh mereka hancur berdarah di sana-sini, ramai mengerumuninya.

Mayat hidup!

Mendadak, sebuah lubang terbentuk seketika di atas udara. Sesosok tubuh melayang jatuh dari lubang itu, cukup dekat dari tempat dimana Feli berdiri. Aku mengenali sosoknya. Mbak Lastri!

Sebuah bayangan hitam besar berkelebat cepat menyongsong tubuhnya sebelum menyentuh tanah. Secepat itu pula ia membawanya memasuki lubang lain yang kembali terbentuk di udara. Mereka lenyap bersamaan tertutupnya lubang itu.

"Ayo kita tolong mereka!" Erina melompat keluar menembus dinding lorong dan mendarat di tanah di bawahnya. Setelah saling berpandangan sejenak, kami pun mengikuti langkahnya.

Aku dan Armus bergerak serentak menuju tempat Feli berada, sementara Mbak Erin dan Erina tetap di posisi semula. Terlalu riskan bagi mereka jika mengikuti kami karena mereka tidak memiliki kekuatan untuk turut bertarung dengan makhluk-makhluk itu.

Sekejap kemudian kulihat bola cahaya itu muncul lagi dari tubuh Feli. Namun sepertinya kali ini berbeda dari sebelumnya. Raut wajah Feli menyiratkan kesakitan. Kedua tangan dan sekujur tubuhnya diselimuti sinar berwarna putih dan memancarkan hawa jauh lebih panas dari sebelumnya.

"Aaarrgh!" Ia jatuh berlutut.