Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 54 - Pemburu dan Mangsa - 7

Chapter 54 - Pemburu dan Mangsa - 7

LAYA

Aku tersadar ketika kurasakan sesuatu yang berat menekan dada dan sekujur tubuhku. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat ketika membuka mata. Seekor ular berukuran luar biasa besar berwarna keperakan sedang membelitku dan mulutnya terbuka lebar memamerkan taring hampir sebesar tubuhku.

Astaga!

Ular ini benar-benar serupa dengan yang kulihat dalam mimpiku tadi!

Mulut ular itu semakin mendekat. Sekuat tenaga aku meronta mencoba melepaskan diriku tetapi hasilnya sia-sia belaka.

Ia kembali mendekat.

Lebih dekat.

"Jangan! Pergi dariku!"

Tiba-tiba sebuah suara tak asing yang kudengar dalam mimpiku, terdengar berbicara di telingaku. "Laya, akhirnya aku menemukanmu dan juga pusaka gaib Adanu Sekti."

"Nyi Wilis?!" Aku menatapnya geram. Wanita ular inilah telah membunuh Simbok dan Romo seperti kulihat dalam mimpiku.

"Hihihi. Engkau mengenaliku, anak manis?" Ular besar itu mengencangkan belitannya.

Aku merasakan dadaku bagaikan dihimpit dan diremukkan hingga tak bisa bernafas. Pandanganku mulai buram.

Di saat keputusasaan menyeruak di antara kegeraman dan kebencian dalam hatiku, tiba-tiba kurasakan ada suatu aliran tenaga kuat dan panas mendesak dari dalam tubuhku.

Sebuah bola cahaya berwarna putih menyilaukan keluar dari tubuhku. Ia melayang menuju kepala ular besar di hadapanku. Hatiku bertanya-tanya apakah sinar ini sama dengan sinar yang menghantam tubuhku di tepi pantai.

Aku terkenang akan sebuah kisah yang diceritakan Ki Guru Wasa kepada kami murid-muridnya. Sebuah kisah tentang sinar ajaib yang berasal dari negeri antah berantah jauh dari bumi Majapahit. Dimana sinar ajaib itu dipercaya dapat memberikan kekuatan tanpa tanding bagi orang yang menguasainya namun juga membawa kehancuran. Tetapi aku tidak ingat keseluruhan kisahnya.

"Adanu Sekti! Ramalan itu benar adanya." Suara Nyi Wilis terdengar bergetar. Bukan nada ketakutan atau gentar, namun menggambarkan hasrat ingin memiliki sesuatu.

Belitannya melonggar. Kini ia membuka mulut selebar-lebarnya. Dalam satu gerakan cepat, ia menerkam bola cahaya di depannya.

Tetapi,

"Aaarrggh!"

Alih-alih mendapatkannya, bola sinar yang disebutnya Adanu Sekti itu melesat menghantam telak kepalanya. Darah berwarna hijau tersembur ke udara. Tubuhnya terpental.

Sayang, tubuhku belum terbebas penuh dari belitannya. Tak ayal aku pun ikut melayang mengikuti terpentalnya Nyi Wilis.

BRAAK..!

Tubuh kami menghantam dan menumbangkan sederet pohon kelapa yang semula berdiri kokoh di tepi pantai. Meskipun babak belur, kini aku terbebas.

Tanpa ada yang mengendalikan, Adanu Sekti melayang berputar dan kembali menghilang masuk kedalam tubuhku.

Aneh, kekuatanku pulih seketika.

"Nyi Wilis! Kini saatnya engkau merasakan pembalasanku!" Sekali melompat aku menerjang ke arah siluman jahat itu.

Tubuhku terasa sangat ringan dan gerakanku jauh lebih cepat dari sebelumnya. Apakah ini pengaruh dari Adanu Sekti?

Hah, kemana makhluk itu?

Di hadapanku hanya ada tumbangan batang-batang pohon kelapa berserakan. Ular besar itu lenyap!

Mendadak sergapan hawa panas menyelimuti udara di sekitarku. Tepat di hadapan wajahku, kulihat sebuah bola api besar melayang dan melesat menyasar tubuhku.

Aku cepat berguling ke samping beberapa kali menghindarinya namun beberapa lesatan bola api lebih kecil menyusul menyerangku. Aku melompat sekuat tenaga menghindar namun menyadari ilmu meringankan tubuh yang kukuasai belumlah sepadan untuk menghadapi lawan sekuat ini. Aku memejamkan mata pasrah menerima jika serangan itu tetap mengenai tubuhku.

Tetapi,

WUUT..!

BLAARR..!

Bola-bola api itu berbelok melewati bawah kakiku dan menghantam pohon yang berada di belakangku hingga hangus terbakar.

"Tangkap gadis itu!" Beberapa pria berbusana dan berkedok kain serba hitam bergerak mengepung begitu kakiku mendarat di permukaan pasir. Kepalan tangan seorang di antara mereka mengeluarkan asap layaknya bara api.

"Si-siapa kalian?"

"Kau tak perlu tahu siapa kami, anak kecil. Sekarang menyerahlah dan ikut kami!" Pria itu melangkah maju. Sepertinya dialah pemimpin mereka.

"Betul, Laya. Tak ada gunanya engkau melawan kami." Nyi Wilis tiba-tiba muncul di sebelah pria itu dalam bentuk wanita cantik berbusana serba hijau.

"Nyi Wilis?! Bukankah tadi, engkau ..?" Dengan luka tadi, tak kuduga melihatnya kini berdiri tegap di hadapanku.

"Hihihi. Sepertinya Adanu Sekti tidak tega menyakitiku begitu rupa. Apakah mungkin ia ingin memilih pemilik barunya? Aku." Nyi Wilis terkekeh.

"Jangan bercanda, Wilis. Aku lah yang lebih tepat memilikinya," potong pria di sampingnya.

"Sudah saatnya kami dari Padepokan Agni Berawa menguasai kerajaan ini," tambahnya.

Nyi Wilis memandang gusar kepada pria itu. "Agni Sadawira, hal itu tidak masuk kedalam perjanjian kita."

"Hahaha. Engkau semestinya bersyukur telah kami bebaskan setelah ratusan purnama terbelenggu Kunjara Sukma. Sesuai perjanjian, kami telah membantumu menemukannya. Saat ini engkau hanya tinggal selangkah dari pembalasan dendammu. Jadi, perjanjian kita telah terpenuhi." Pria itu, Agni Sadawira, menatap Nyi Wilis tajam.

"Dasar manusia serakah! Selama ini aku telah memberi kalian harta kekayaan dan kejayaan perang. Kini engkau pun ingin meminta sesuatu yang bukan hakmu? Mungkin sudah saatnya kalian kuhabisi terlebih dahulu."

Kini mereka berhadap-hadapan.

Ketika para anak buah Agni Sadawira turut memusatkan perhatian kepada pimpinan mereka, aku beringsut tanpa suara mencoba menjauh dari mereka.

Tiba-tiba ombak sangat besar bergulung cepat menghantam kumpulan orang-orang itu.

"Agni Sadawira, Wilis, tak kuduga akan melihat kalian Para Pemburu hadir bersama."

Para Pemburu?

Sosok-sosok wanita cantik berbusana serba hijau serupa dengan yang dikenakan Nyi Wilis muncul satu per satu dari balik ombak. Anehnya, tubuh dan busana yang mereka kenakan tidak basah sama sekali.

"Nyi Lakstri ..?!"

"Laya. Akhirnya kita bertemu kembali." Ia tersenyum.

Melihat sosoknya, kilasan kejadian menyedihkan kematian kedua orang tuaku kembali terpampang di pikiranku. Membawa kedukaan dan terlebih kemarahan dalam hatiku. Jika bukan karena ia mencintai Romo, mereka semua pasti masih hidup saat ini. Aku jatuh berlutut menangis. Tubuhku bergetar menahan kesedihan dan amarah yang meluap.

"Laya. Mengapa engkau ..?" ucapnya terputus.

Mendadak aliran tenaga kuat dan panas kembali kurasakan mendesak dari dalam tubuhku. Kali ini aku tak dapat mengendalikan tubuhku lagi.

BLAAR..!

Hal terakhir yang kuingat hanyalah sekujur tubuhku diselimuti cahaya berwarna putih terang dan memancarkan hawa jauh lebih panas daripada bola api yang dikeluarkan oleh Agni Sadawira itu.