"Mbak Lastri ..?" desis Nanta terkejut sepertiku. Sosok yang pernah menolongku itu melayang di antara tubuhku dan Nanta.
Siska yang berdiri tepat di hadapan kami tidak tampak terkejut atau takut, yang berarti ia tidak dapat melihat sosok Mbak Lastri. Demikian pula para pengunjung warung yang duduk lesehan di sekitar kami. Aku yakin kemunculan Mbak Lastri setelah sekian lama akan memberikan sesuatu yang berarti dan penting bagi kami. Pasti bukan tanpa maksud ia membagi sebuah perjalanan kisah hidup Laya yang tadi aku alami. Aku dan Nanta saling melirik menembus tubuh Mbak Lastri.
"Sementara ini cukup kisah yang aku bagikan pada kalian. Aku tak bisa terlalu lama, Feli, Nanta. Cepatlah kalian pulang. Sampai bertemu lagi." Sosok itu tersenyum lalu menghilang kembali.
"Nan, kamu juga ..?" tanyaku terputus oleh anggukan kepalanya.
"Laya, kan?" bisiknya.
Siska memandang heran pada kami. "Hei, kalian berdua kok malah bisik-bisik sendiri sih? Jadi pulang nggak?" protesnya.
Waktu telah melewati tengah malam saat aku menginjakkan kaki di depan gerbang kos. Aku memandangi sinar lampu belakang Starlet merah anggur milik Siska yang melaju meninggalkan kosku. Di belakangnya, Nanta melambaikan tangan sejenak sebelum melaju di atas sepeda motornya mengawal Siska pulang.
Saat berbalik badan setelah mengunci gembok pintu gerbang kembali, naluriku merasakan sesuatu. Gemerisik daun pohon mangga di halaman disusul gemeretak dahan dan rantingnya terdengar berbeda.
Benar saja. Di atas, sesosok wanita berambut panjang dan memakai gaun putih duduk di atas dahan terendah sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Diterangi keremangan lampu taman, wajah pucatnya menatapku tanpa ekspresi.
Tak jauh darinya, sesosok makhluk hitam tinggi besar berdiri sejajar dengan pohon itu. Bagian atas tubuhnya tidak terlihat, tertutup oleh rimbunnya dedaunan dan gelapnya malam. Bukan hanya mereka berdua, dari pancaran aura yang kurasakan, masih ada beberapa entitas non manusia berada di sekitarku.
"Surti, Tejo, kalian bawa teman?"
Mereka tidak berkomunikasi denganku sejak saat pertama kali menampakkan diri beberapa minggu lalu, begitu juga beberapa kali setelahnya. Mereka pun tidak menggangguku atau para penghuni kos lainnya, muncul hanya untuk menunjukkan keberadaan mereka. Untuk memudahkan, aku menamai mereka sesuai dengan nama-nama tokoh dalam salah satu lagu milik band Jamrud yang kusukai.
Dengan berjingkat aku melangkah melewati teras dan sepelan mungkin memutar anak kunci pintu utama agar tidak menimbulkan suara berisik yang dapat membangunkan Tante Santi. Suasana hening sekali di dalam rumah. Hanya bunyi detak jam lonceng yang terdengar.
Deg!
Jantungku serasa lepas dari tempatnya.
Tepat setelah melewati pintu penghubung rumah utama dan area kos, tampak sosok Mbak Lastri duduk di kursi dekat meja telepon berada.
"Mb-mbak Lastri ..?"
Ia hanya mengangguk perlahan. Tatapan matanya beralih, memintaku masuk ke dalam kamarku.
Aku beringsut ke kamar.
Hah..!
Kudapati ia sudah berdiri di samping meja ketika aku menyalakan lampu kamar. Untung aku tidak pingsan dikejutkan kedua kalinya.
"Hai, Feli." Senyumnya terkembang. Wajah putih pucatnya tak dapat menyembunyikan kecantikan yang ia miliki.
Sempat terbersit dalam pikiran kalau ia akan merasuki salah satu teman kos seperti sebelumnya, untuk dapat berkomunikasi denganku, tapi ternyata tidak.
"Kemampuanmu sudah jauh berkembang, Feli. Aku tak perlu lagi menggunakan perantara untuk bicara denganmu."
Oh ya?
Aku berdiri terpaku menatapnya, mulai atas sampai ujung gaun panjang putihnya yang menjuntai di lantai
"Kamu takut padaku, Fel?"
"Ng-Nggak, Mbak."
"Kalau nggak, kenapa mundur begitu?" Tubuhnya melayang perlahan mendekat. Punggungku membentur pintu kamar yang kubelakangi. Kini ia hanya berjarak satu langkah saja di hadapanku.
"Ka-kaget aja, Mbak," jawabku terbata. Tetap ada perasaan takut meski sudah kesekian kali berhadapan dengan makhluk lain dimensi sepertinya.
"Aku nggak nyangka bisa ketemu Mbak lagi."
Matanya menatap sayu. "Aku juga, Fel. Ternyata tugasku belum selesai."
"Tugas?"
"Ya."
"Tugas apa, Mbak?"
"Yang jelas menyangkut dirimu."
"A-aku nggak ngerti maksud Mbak."
Ia menjulurkan tangan kanannya. "Pertemuan kita sebelumnya dan sampai saat ini. Sadarkah kalau aku dan kamu terhubung oleh sesuatu?"
Kurasakan dingin sekali genggamannya di punggung tanganku. Aku balik menatapnya.
Tunggu dulu.
Wajahnya ini?
Kenapa aku melihat wajah Nyi Lakstri?
Mungkinkah ..
"Dan aku melihat Laya di wajahmu, Fel." Kembali ia membaca pikiranku.
"Berarti, Mbak?"
"Ya, Fel. Di kehidupan lalu kita terhubung, begitu juga sekarang."
Aku teringat kembali mimpi yang ditunjukkan oleh Mbak Lastri akan kisah Laya.
Ah, aku mulai mengerti sekarang.
Tapi ���
Kisah itu belum selesai.
"Tunggu, Mbak. Apa yang terjadi pada dia dan lainnya, Mbak? Apakah …"
Belum sempat kalimatku terselesaikan, tiba-tiba sosok Mbak Lastri bergetar dan memudar. Lantai yang kupijak turut bergetar seperti dilanda gempa.
"Berani sekali mereka datang kemari!" Sosoknya kembali muncul. Tatapannya lurus mengarah keluar kamar.
"Mereka? Siapa, Mbak?"
"Para Pemburu."
Aku turut menatap keluar biarpun pandanganku terhalang oleh pintu yang masih tertutup. "Pemburu? Apa yang diburu?"
Ia menoleh padaku. "Kamu."
"Aku?"
"Ya. Setelah sekian lama mereka terperangkap, kini saatnya mereka memburu apa yang dulu mereka inginkan."
"Mereka siapa, Mbak?" kejarku.
"Mereka yang dulu memburu Laya, ditambah lagi makhluk-makhluk penghuni rumah milik Siska temanmu itu," desisnya.
Astaga!
"Sekarang cepat pejamkan mata dan pusatkan pikiranmu, Fel. Rasakan dan seraplah semua gelombang energi di sekitarmu. Dan kamu akan melihat mereka."
Tak ada waktu lagi untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Aku segera mengikuti perintahnya memejamkan mata memusatkan pikiran.
"Sekarang buka matamu!" ucapnya lagi setelah beberapa tarikan dan hembusan nafasku.
Ajaib! Dinding-dinding kamar, bahkan seluruh dinding ruangan di kos dan rumah, termasuk juga para penghuni kos, semua menghilang dari pandangan.
Deg!
Menatap ke tempat dimana seharusnya pintu gerbang berada, tampak beberapa sosok berdiri di depannya. Meski dari kejauhan, aku dapat mengenali mereka.
Nyi Wilis Nagani, Agni Sadawira dan para pengikutnya, dan hantu wanita yang kuhadapi di rumah kos Siska sebelumnya. Energi yang mereka pancarkan terasa kuat sekali hingga dapat mencapai diriku.
Wajah Mbak Lastri mengeras menatap mereka. "Apa maksud kalian kemari?"
Kuku jari telunjuk Nyi Wilis yang berbentuk cakar melengkung panjang menudingku. "Dia. Serahkan saja dia. Kamu tidak usah turut campur, Lakstri!"
"Huh. Pertama, aku bukan Nyi Lakstri. Kedua, jika kamu menghendaki gadis ini berarti aku terpaksa ikut campur urusan kalian," jawab Mbak Lastri tegas.
"Hihihi. Terbukti Lakstri benar-benar menitis padamu."
"Jangan banyak omong. Minggirlah! Supaya aku cepat mengambil Adanu Sekti milikku." Agni Sadawira maju selangkah.
Angin kencang menderu disertai suara gemuruh menggoyangkan pohon besar di halaman dan merontokkan dedaunan, menghentikan langkahnya
"Hihihi. Selangkah saja kalian memasuki wilayah ini, akan berhadapan dengan kami." Hantu wanita bergaun putih yang sedari tadi bertengger di dahan pohon meluncur turun diikuti geraman makhluk hitam tinggi besar yang mendampinginya.
Surti dan Tejo.
Ternyata mereka membela kita.
"Mereka penghuni rumah ini sejak dulu. Mereka bersimpati padamu, Fel," bisik Mbak Lastri lagi-lagi menjawab tanpa aku harus bertanya terlebih dahulu.
"Simpati? Tapi kenapa waktu kejadian pertama itu mereka nggak nolong aku?"
"Tak kenal maka tak sayang," jawabnya singkat.
Kupusatkan perhatian kembali pada mereka. Surti dan Tejo telah terlibat pertarungan dengan Agni Sadawira dan para pengikutnya. Kilatan-kilatan cahaya akibat benturan energi mereka menyambar udara di sekitarnya.
"Akhirnya, Laya." Hampir tak terlihat mata, Nyi Wilis menjelma menjadi seekor ular besar dan langsung melesat menyerangku.
Tertegun sejenak, kujatuhkan tubuh menghindari sabetan ekornya yang diselimuti pancaran bisa mematikan.
"Mundur, Fel! Biar aku yang hadapi siluman ular ini." Saat bangkit, Mbak Lastri mendorongku menjauh. Dalam sekedipan mata, ia telah menghantam menyerang Nyi Wilis. Ular itu menggeliatkan tubuh menghindar lalu cepat membentuk gerakan melilit lawan selagi melayang di udara.