Ny Lakstri tak ingin mati konyol dan balas menyerang. Benar ia merupakan bangsa siluman berumur sangat panjang dan memiliki kesaktian tinggi hingga dapat memasuki dunia manusia, tetapi bukan berarti ia tidak bisa mati terbunuh oleh manusia. Apalagi manusia yang dihadapinya ini pun memiliki kesaktian tinggi dan juga bersenjatakan pedang pusaka yang menggentarkan kaumnya.
Agni Sagara, salah satu pedang pusaka Kanjeng Ratu Kidul. Menurut kisah yang pernah didengarnya, dahulu kala konon Kanjeng Ratu Kidul jatuh hati pada seorang pendekar sakti hingga beberapa waktu lamanya mereka bersama di kerajaan itu. Namun ternyata lambat laun sang pendekar lebih memilih kembali ke dunianya dan mereka pun berpisah. Sebagai tanda kasih, diberikannya pedang Agni Sagara kepada pendekar itu. Seiring waktu, sang pendekar semakin menua dan pedang itu diwariskan kepada penerusnya. Kemudian terus berpindah tangan kepada para keturunan sang pendekar sakti dan rupanya saat ini telah berada di tangan Ki Lembu Dipa yang mendapat pedang itu dari ayahnya.
Kedua manusia dan siluman berilmu tinggi itu bertarung saling menyerang dan berkelit menghindar. Pelataran padepokan itu semakin berantakan akibat pertarungan mereka.
Tanpa mereka sadari, Nyi Wilis dapat memulihkan tenaganya dan dengan cepat menuju ke tempat Laya, putri Ki Lembu Dipa, berada. Mbok Emban yang mencoba melarikan Laya, meregang nyawa dalam sekejap, sementara sisa murid-murid yang lain kocar-kacir melarikan diri.
"Lembu Dipa! Lihatlah kemari!" Nyi Wilis menggenggam leher Laya bagaikan memegang seekor hewan di tangan. Sudah kepalang baginya, ia bertekad menuntaskan niatnya menghabisi seluruh keluarga Lembu Dipa.
"Laya ..!" teriak Ki Lembu Dipa terpana melihat putrinya yang masih bayi dalam cengkeraman Nyi Wilis. Demikian pula Nyi Lakstri. "Wilis ..!"
Namun kelengahan sekejap itu berakibat fatal bagi Ki Lembu Dipa. Pancaran bisa ular Nyi Lakstri mendarat tepat di dadanya tanpa sempat dihalau pedang Agni Sagara.
"Huukh! Aaargh!" Tubuh Ki Lembu Dipa ambruk ke tanah dan berkelojotan memegang dadanya yang berasap akibat bisa beracun milik Nyi Lakstri.
Nyi Lakstri tertegun meihat serangannya mendarat telak. Naluri membunuh hampir membuatnya melancarkan serangan susulan ke tubuh Ki Lembu Dipa. Namun tangisan Laya menggugah hatinya. Ia berkelebat mendekati saudarinya itu. Tubuhnya berubah sepenuhnya ke wujud wanita seperti wujud Nyi Wilis saat ini.
"Wilis! Apa yang akan kau lakukan dengan bayi itu?"
"Membunuh dan mengambil darahnya. Engkau mau berbagi denganku? Untuk keabadian kita."
"Jangan, Wilis! Lepaskan bayi itu!"
"Kenapa, Lakstri? Bukankah telah banyak manusia yang menjadi korban kita, bangsa kita?!"
"Kata-katamu benar, Wilis. Tetapi manusia-manusia yang menjadi korban kita itu karena hawa nafsu mereka sendiri akan harta, kekuasaan dan kenikmatan, sehingga mereka rela membayar dengan jiwa mereka. Sedangkan apa yang kau lakukan pada keluarga perguruan ini sungguh keji mengingat mereka tidak pernah berurusan dengan dirimu. Apalagi bayi itu, ia tidak bersalah sama sekali pada kita."
"Aku benar-benar tak mengerti dengan dirimu saat ini, Lakstri. Dimanakah kegarangan dan kebengisanmu, yang biasa engkau tunjukkan selama ini?" Nyi Wilis menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku memang ganas dan kejam, tetapi hanya kepada mereka yang telah rela menjual jiwanya kepadaku atau pada mereka yang mengusik tempat tinggalku. Dan bukan kepada manusia yang tidak memiliki urusan sama sekali denganku."
"Lepaskan dia. Ini perintah!" tambahnya.
Nyi Wilis mendengus. Telah cukup lama ia ingin mengambil alih posisi yang disandang oleh Nyi Lakstri namun ia pendam hasrat tersebut karena ia sadar bukan tandingan saudarinya itu. Dan kini kesempatan itu datang.
"Baik, jika itu maumu." Sekuat tenaga ia melemparkan tubuh Laya ke arah Nyi Lakstri berada sembari berkelebat menyerangnya dengan kekuatan penuh.
Nyi Lakstri tertegun tak menduga saudarinya akan berbuat seperti itu. Pilihan yang sulit harus dihadapinya. Jika ia menyelamatkan bayi itu, berarti ia harus bersiap menerima serangan mematikan Nyi Wilis. Sebaliknya, jika ia memilih menghadapi serangan Nyi Wilis maka bayi itu akan celaka.
"Selamatkan putriku, Lakstri!" Mendadak, selarik sinar putih meluncur menyongsong Nyi Wilis. Dengan sisa tenaga terakhirnya, Ki Lembu Dipa melancarkan serangan ajian Agni Lodra kepada Nyi Wilis untuk menyelamatkan nyawa Laya.
Nyi Lakstri sigap menangkap tubuh Laya dan menggendongnya di pelukan. Sementara Nyi Wilis setelah dengan susah payah berhasil menghindar dari serangan Ki Lembu Dipa yang jauh lebih lemah daripada sebelumnya, ia membalas dengan semburan bisa dari kedua telapak tangan yang telak mengenai tubuh lawannya.
"Aaarrghh!" Tubuh Ki Lembu Dipa kembali terpental dan roboh ke tanah, tinggal menunggu ajal menjemput.
Bola sinar berukuran besar berwarna hijau tiba-tiba mengungkung tubuh Nyi Wilis Nagani. Ia meronta mendesak keluar, namun semakin keras ia meronta semakin kuat sinar itu mengungkung dan mendesak tubuhnya.
"Apa ini?" desisnya.
"Kunjara Sukma. Aku terpaksa melakukan ini, Wilis." Nyi Lakstri menyorongkan telapak tangan kanannya ke udara sedangkan tangan kirinya menggendong erat Laya di pelukan.
"Apa?! Kunjara Sukma?" Nyi Wilis terperanjat.
Kunjara Sukma adalah ajian langka untuk mengungkung lawan yang kuat, kemudian mengurung dan menempatkannya di alam antara, hingga kekuatan Kunjara Sukma itu habis. Namun ajian ini hanya dapat digunakan satu kali saja dan jika digunakan, sang pemilik ajian itu akan kehilangan sebagian besar ilmu dan kesaktian yang telah dipelajari dan dimiliki.
"Tidaakk! Keluarkan aku dari sini!" teriak Nyi Wilis berulang kali. Bola sinar itu semakin mengecil menghimpit tubuhnya.
"Awas kau, Lakstri. Rasakan pembalasanku kelak!" ancamnya sebelum kemudian tubuhnya semakin mengecil seiring mengecilnya bola sinar yang mengungkungnya hingga seukuran genggaman tangan. Bola itu berputar pada porosnya beberapa saat kemudian melesat ke atas dan menghilang ditelan langit malam yang kelam.
"Engkau selamat, Laya. Jangan khawatir, engkau akan siap pada saatnya ia datang kembali." Nyi Lakstri menatap lembut Laya di pelukannya. Bayi itu tersenyum seolah mengerti kalimat yang diucapkannya.
"Kanda, Laya sudah selamat. Maafkan aku tak sempat melindungi keluargamu." Nyi Lakstri meletakkan tubuh Laya di pelukan Ki Lembu Dipa.
Ki Lembu Dipa hanya terdiam memandangi bayinya dan Nyi Lakstri. Dielusnya kepala Laya dan mengucap, "Dinda Padmini, bayi kita telah selamat. Saatnya aku menyusulmu."
"Dan kau, Lakstri. Tolong bawa Laya kepada Ki Guru Wasa. Katakan padanya, aku Lembu Dipa menitipkan putriku untuk diajar dan dididik di padepokannya," ujarnya lirih.
Matanya terpejam ketika menarik nafas terakhirnya sebelum kemudian ajal menjemputnya.
"Baik, Kanda. Aku berjanji melakukan amanatmu ini dan aku juga berjanji akan melindungi putrimu." Baru kali ini Nyi Lakstri meneteskan air mata kesedihan dan penyesalan. Dalam satu hari ia kehilangan sekaligus saudari dan kekasih hati yang dicintainya.