Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 46 - Cerita Tentang Aku, Kita dan Mereka - 5

Chapter 46 - Cerita Tentang Aku, Kita dan Mereka - 5

Tak jauh di hadapannya, ibunya tergeletak tak berdaya di bawah kaki serdadu Jepang yang mengenakan seragam berbeda dengan tentara Jepang atau Heiho yang biasa dilihatnya. Kempetai!

"Ini akibatnya kalau kamu membantu gerombolan pengacau itu, Sumi!" Si Kempetai itu melotot kepada Sumi dengan pistol teracung ke bawah, tepat mengarah ke kepala ibu Sumi.

"Tolong, tolong jangan, Tuan. Ibu saya tidak bersalah." Sumi merintih memohon ampunan bagi ibunya.

"Lihat semuanya! Inilah akibat yang akan diterima jika kalian menentang Dai Nippon, apalagi menjadi mata-mata." Si Kempetai itu berteriak lantang kepada seluruh tahanan yang sengaja dikumpulkan di lapangan itu. Dengan dingin ditariknya pelatuk pistol di tangannya.

DOR..!

"Tidak! Ibuu!" Sumi berteriak histeris. Ia bangkit merangsek ke depan tanpa mempedulikan lagi kedua tangannya yang masih terikat di belakang tubuh. Diterjangnya si Kempetai dengan kepalanya hingga terjungkal.

Si Kempetai terkesiap, tak menyangka Sumi akan berbuat seperti itu. Belum habis kekagetannya, ia berteriak kesakitan ketika Sumi dengan garang menggigit lehernya hingga giginya menancap bagai harimau menerkam mangsa. "Aaarrgh!"

Berkali-kali tendangan dan pukulan popor senapan dari tentara lainnya mendarat di tubuh Sumi namun sama sekali tidak mengendurkan serangannya kepada si Kempetai. Orang Jepang itu berkelojotan meregang nyawa akibat lubang di lehernya. Sumi malah bertambah seperti orang kesetanan. Ganas sekali ia menghisap dan menelan darah orang yang telah menghabisi ibunya.

DOR..! DOR..!

Rentetan tembakan menghujam tubuh Sumi, melubangi dan mengoyak daging tubuhnya. Disusul tusukan demi tusukan sangkur senapan ke punggungnya. CRAAS..!

Lama kelamaan, ia pun tak kuasa menahannya. Tubuhnya terkulai lemah menimpa tubuh si Kempetai. Dengan gigi masih menancap dalam di lehernya!

Segala perasaan sedih, duka, marah dan geram berkecamuk dalam hatiku menyaksikan dan seakan mengalami sendiri tragedi yang dialami Sumi, di mana bagian diriku terperangkap di dalamnya. Sesaat kemudian kurasakan tubuhku seakan tercabut seketika keluar dari tubuh Sumi yang tergeletak. Dan secepat kilat aku hanya dapat melihat tubuh Sumi dan si Kempetai yang tergeletak dikerumuni para serdadu Jepang yang lainnya. Mereka terlihat semakin mengecil di bawah sana sebelum kemudian kegelapan kembali menguasai sekitarku.

Siapa kalian, Sumi, Mudita?

WUUS..!

Mendadak angin berhembus dari belakang tubuhku diikuti asap putih yang perlahan mengalir dan terbentuk seperti gelombang panjang asap, yang bermuara pada beberapa sosok yang tiba-tiba muncul di depan sana. Mudita dan Sumi!

Mudita dan Sumi diikuti sosok-sosok lain yang belum pernah kulihat sebelumnya berdiri diam memandangku. Tangan mereka terjulur ke depan. "Lihat!" ucap mereka berbarengan. Kilasan demi kilasan kejadian mengerikan tergambar jelas di depan mataku. Satu keluarga perwira Belanda terbunuh di suatu malam. Istri dan kedua anak gadis kecilnya turut menjadi korban di dalam kekacauan penyerbuan tangsi yang mereka huni. Mereka terbunuh oleh berondongan senapan dan ledakan granat, yang tak memiliki mata untuk dapat membedakan sasaran tentara atau sipil tidak bersenjata.

Di bagian lain, tampak seorang perwira Jepang bersimpuh di depan beberapa anak buahnya dengan mengenakan secarik kain putih diikatkan pada kepalanya. Matanya menatap teguh ke depan. Setelah mengangguk mantap kepada mereka, ia menusukkan sebilah pedang pendek ke perutnya. Dan saat itu lah dengan cepat anak buah yang telah berdiri bersiap di sampingnya, menebaskan pedang samurai di tangannya ke arah leher sang perwira.

Dan banyak lagi kilasan-kilasan kejadian tragis yang membuatku tak sanggup melihatnya lagi.

"Fel, Feli." Suara Nanta memanggil lembut, menarik kesadaranku kembali ke kenyataan, masih di sofa ruang tamu itu. Ia berdiri setengah membungkuk di depanku yang duduk tegak di tempatku semula. Siska duduk memperhatikan di sebelahnya. "Kamu baik aja, kan, Fel?"

Kujawab dengan senyum dan anggukan pelan, "Aku baik-baik aja, Nan." Pandanganku beralih ke Siska. "Lho, Siska juga udah baik, ya?"

Siska balas tersenyum, "Iya, Fel. Aku udah nggak papa. Tadi Nanta udah jelasin."

"Oh ya? Kamu nggak takut, kan?" tanyaku.

"Sedikit. Tapi aku lebih khawatirin kamu." Ia tersenyum.

"Tapi nggak ada kejadian apa-apa kan selama aku nggak sadar?" lanjutku.

"Aman, Fel." Jempol tangannya terangkat ke atas.

"Syukurlah."

"Oh ya, Sis. Ada sesuatu yang mau aku bicarakan sama kamu." Aku mendekati Siska yang masih duduk menatap kami penuh perhatian.

"Tentang kos ini?"

"Iya. Tapi aku jelasin nanti. Sekarang lebih baik kita keluar dulu, deh." Aku memandang berkeliling.

Siska bergidik mengelus lengan kirinya, "Ayo, deh. Aku juga serem di sini lama-lama."

Setelah memastikan pintu utama dan gerbang terkunci dengan baik, kami bertiga bergegas pergi meninggalkan rumah kos itu menumpang mobil yang dikendarai Siska.

₡ ₡ ₡

"Gimana, Fel, Nan. Apa sebenarnya yang mengganggu kosku itu?" tanya Siska kemudian sesaat setelah kami mendarat di warung susu segar langganan Nanta.

"Feli aja yang jawab, ya." Nanta menyeruput kopi susunya.

Huh, dasar nggak mau repot.

Aku menghela nafas panjang. "Mmm. Kamu yakin mau denger, Sis?"

"Memang kenapa?" Ia menatap penuh tanya.

"Nggak papa sih, khawatir kamu trauma aja dengan kejadian tadi, Sis."

"Try me!" jawabnya singkat.

"Gini, Sis. Aku coba jelasin menurut apa yang aku alami ya. Bisa benar, bisa juga salah, karena aku bukan ahli soal perhantuan dan sejenisnya."

"Gak apa, Fel. Aku pengen denger."

"Iya, Fel. Aku juga .." sambar Nanta.

"Hmhh. Terlalu banyak tragedi dan kemalangan yang pernah terjadi di tempat itu, Sis," ucapku mengawali sebelum kemudian kalimat demi kalimat meluncur dari bibirku menceritakan tentang apa yang tadi aku lihat dan alami di sana. Nanta dan Siska terdiam beberapa saat setelah aku selesai berbicara.

"Kasihan sekali mereka," desis Siska kemudian. "Jadi, mereka itu ..?" lanjutnya.

"Aku masih cari kalimat yang tepat buat jelasin, Sis."

"Apa, dong?"

"Mereka entitas yang terbentuk dari energi negatif akibat banyaknya tragedi yang pernah terjadi di suatu tempat. Gitu ya, Fel?" sela Nanta selagi otakku berpikir menyusun kalimat yang tepat menjawab pertanyaan Siska.

"Kira-kira seperti itu, Sis."

Siska mengangguk dalam diam. Ia menatap kosong tikar yang kami duduki. Dihelanya nafas panjang beberapa kali. "Dengan kata lain, rumah itu terkutuk?"

₡ ₡ ₡

"Mudah bagi kita untuk mengatakan suatu rumah atau tempat tertentu yang seringkali mengalami kesialan atau kejadian tragis sebagai tempat yang terkutuk. Mungkin itu benar, namun menurutku tidak selalu seperti itu," jelas Armus suatu kali padaku dan Nanta.

"Pembahasan yang menarik, Master," balas Nanta yang selalu antusias setiap membahas hal-hal menyangkut misteri, mitos dan urban legends.

"Di negara asalku, banyak cerita tentang puri atau benteng berhantu. Bahkan dapat dikatakan hampir semua puri peninggalan masa abad pertengahan yang masih berdiri hingga sekarang memiliki kisah hantunya masing-masing." Armus melanjutkan sambil meraih sebuah buku tebal berbahasa Inggris dari tasnya.

"Dan umumnya dikatakan akibat kutukan."

Aku membaca salah satu halaman buku yang ditunjukkan Armus, "Leap Castle."