Siska spontan menoleh kaget ke arah suara itu. "Aaaaa!" jeritnya kencang. Tubuhnya terhuyung ambruk ke depan kehilangan kesadaran. Beruntung, Nanta bergerak cepat menangkap Siska sebelum tubuhnya jatuh membentur lantai. Bersamaan, hantu wanita itu menghilang dari pandangan.
"Siska gimana, Nan?" tanyaku pada Nanta yang sedang membopong tubuh Siska dengan kedua tangannya.
"Nggak papa, Fel. Mungkin kaget aja"
"Kita bawa keluar, Nan." Aku dan Nanta beranjak keluar dari kamar itu. Ia membaringkan tubuh Siska di atas sofa panjang di ruang tamu agar mendapat udara segar dari luar pintu depan rumah kos yang terbuka. Sekilas kulihat suasana mulai tampak gelap dan sepi di luar.
BRAAK..!
Terdengar suara keras seperti pintu yang terbanting oleh hembusan angin kencang atau sengaja ditutup dengan keras.
BRAAK..!
Terdengar suara itu lagi. Kutebak, pasti berasal dari pintu kamar paling belakang yang tadi kami masuki sebab seluruh kamar lain di lantai bawah dalam kondisi tertutup dan tidak berpenghuni. "Udah tiga bulan ini kos sementara ditutup, nggak tahu sampai kapan," kata Siska tadi sebelum membawa kami masuk.
"Coba jagain Siska dulu, Fel. Biar aku lihat ke sana," ucap Nanta. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal bersiap.
"Hati-hati, Nan. Awas, mungkin ini gejala Poltergeist yang kuat." Aku memperingatkannya. Kekhawatiranku cukup beralasan, jika memang benar yang kami hadapi adalah fenomena Poltergeist, yaitu gangguan secara fisik pada manusia atau benda yang diakibatkan oleh hantu, roh atau entitas lain yang tidak dapat dijelaskan secara logika.
Dari beberapa literatur yang telah kami baca dan bahas bersama Armus, gangguan itu bisa bermacam-macam mulai dari suara tangisan atau teriakan yang tidak jelas sumbernya, ketukan pada pintu, daun pintu lemari yang bergerak sendiri, hingga benda-benda furnitur besar seperti ranjang bergerak bahkan melayang sendiri. "Ingat, semakin besar gangguan yang mereka lakukan secara fisik di dimensi kita, semakin banyak energi yang mereka keluarkan," jelas Armus menguatkan apa yang pernah Mbak Erin sampaikan sebelumnya pada kami. "And it's an advantage for us, right?!"
"Hmmh. Dimana ini? Pusing …" erang Siska tiba-tiba. Rupanya ia mulai tersadar. Ia memegangi kepalanya.
"Di ruang tamu, Sis. Udah, kamu tiduran aja, ya," bisikku di sampingnya. Ia melirikku sejenak lalu matanya terpejam kembali. Aman…
"Nggak ada siapa-siapa, Fel." Nanta muncul dari koridor di antara deretan kamar kos di belakang ruang tamu tempatku menunggui Siska.
"Suara apa tadi, Nan?"
"Sepertinya pintu kamar tadi. Tapi waktu aku kesitu, pintu udah ketutup. Aku buka lagi, kosong, nggak ada apa-apa."
"Hantu tadi?"
Ia menggeleng, bahunya terangkat. "Nggak ada."
BRAAK..!
Daun pintu ruang tamu yang sekaligus sebagai pintu utama rumah kos tertutup tiba-tiba. Meja tamu di samping kami pun bergetar, mengeluarkan bunyi berderak. "Here she comes," ucap Nanta menirukan Armus yang sering mengucapkan kata itu saat sedang menceritakan pengalamannya berhadapan dengan makhluk dimensi lain.
Hantu wanita itu muncul kembali di depan kami. Ia memamerkan seringai mengerikan. "Pergi kalian! Ini rumahku. Pergi!" teriaknya dengan tangan menuding ke arah kami berdua. "Pergi! Atau .." Ia menoleh ke arah Siska yang sedang tertidur.
"Atau apa?" tanya Nanta dengan suara meninggi.
"Atau dia yang akan terima akibatnya. Hihihi ...!" Ia menunjuk Siska sembari tertawa menakutkan.
"Coba aja. Kalau kamu berani." Aku melangkah mantap mendekati hantu wanita itu.
"Hihihi ...!" Tawanya semakin kencang. "Berani sekali kamu, bocah ingusan!" Kedua matanya membelalak menyeramkan. Sekejap kemudian ia telah berdiri hanya berjarak satu langkah dari tubuhku. Satu demi satu bola matanya tertekan keluar dan terlepas, tergantung pada jaringan otot pengikatnya yang diselimuti warna merah. Hanya menyisakan dua rongga hitam penuh darah di wajahnya.
PLUK..!
Sekumpulan benda kecil berwarna putih menggeliat di dalam rongga hitam matanya lalu satu persatu benda kecil itu merayap dan berjatuhan di lantai. Belatung!
Kini kulit di wajah pucatnya berangsur terkelupas. Bahkan sebagiannya seolah meleleh dan terlepas jatuh ke bawah. Permukaan tengkorak berwarna putih yang diselimuti darah merah kental terlihat mengintip keluar dari kulit yang terkelupas itu.
Lalu kulit di tubuh telanjangnya turut menyusul terkelupas. Mengeluarkan aroma anyir dan busuk, yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata, menyeruak ke seantero ruangan di mana kami berada.
Didahului geraman keras, tangannya yang juga terkelupas di sana sini, terulur mencekik leherku. Aku berdiri diam menahan ngeri dan mual menyaksikan ia berubah sedemikian rupa. Hanya berjarak sejengkal lagi, tiba-tiba tangannya terhenti sebelum menyentuh leherku. Seolah membentur sebuah dinding penahan. Ia kembali menggeram dan kini mencakar membabi buta tetapi tak satu pun cakaran itu berhasil menyentuhku.
Sebuah bayangan berkelebat cepat dari belakang tubuhku menyongsong hantu wanita yang tak henti mencoba menyerang diriku. Tubuh hantu itu terpental ke belakang terhantam sesuatu. Nanta!
"Bocah-bocah sialan!" kutuknya dalam posisi berlutut. Entah sejak kapan, Nanta telah berdiri di hadapan hantu wanita itu. Tangan kirinya kuat mencengkeram rambutnya dan tangan kanannya terlipat ke samping bersiap meluncurkan pukulan kepada wanita itu.
"Rasakan ini!" teriaknya. Aneh! Mendadak suatu perasaan kelam dan kesedihan yang menyayat, merasuk dalam hatiku. Mendorongku untuk mencegah Nanta.
"Tunggu! Jangan, Nan!" teriakku cepat.
Perasaan ini. Pasti dia!
"Ada apa, Fel?" Gerakannya terhenti seketika.
Aku melangkah mantap mendekati hantu wanita itu, yang berlutut dengan kepala tertunduk, berbeda sekali dari sebelumnya yang menatap ganas. Sosoknya memudar beberapa saat, lalu muncul kembali. Begitu berulang beberapa kali. Sepertinya energinya mulai habis di sini. Nanta terbengong ketika melihatku menyentuhkan telapak tangan pada kepala hantu itu. Aku memberikan isyarat kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan melalui anggukan kepalaku, sehingga ia pun melepaskan cengkeramannya dari makhluk itu. Sebuah sensasi asing mendadak menyeruak, terasa hangat mengaliri pembuluh darah dalam tubuh, ketika tanganku menyentuhnya.
Dalam seketika, pemandangan di hadapanku berubah total dari yang semula ada di dalam rumah kos milik Siska menjadi pemandangan sebuah tanah lapang di depan sebuah rumah besar yang terbuat dari kayu bergaya arsitektur klasik dengan sebuah benda mencuat menyerupai tanduk di masing-masing ujung nok atapnya.
Bukan, bukan klasik…Lebih tepatnya kuno. Mirip dengan gambar arsip bangunan rumah jaman kerajaan ratusan tahun lalu yang pernah kubaca di ensiklopedia sejarah.
Beberapa orang pria terlihat berjalan sembari bercakap-cakap. Mereka bertelanjang dada dan memakai semacam kain sarung sebagai penutup bagian pinggang kebawah. Rambut panjang mereka digelung di atas kepala.
Di lain sisi, aku dikejutkan oleh sekerumunan orang yang telah berdiri di dekatku. Sebagian mereka menatap sinis dan benci namun sebagian lagi memalingkan wajah mereka yang menangis.
Belum sempat aku menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, tubuhku tersungkur ke tanah oleh dorongan kuat dari belakang tubuhku. Aku tak bisa menggerakkan apalagi mengendalikan tubuhku. Hanya dapat menyaksikan tanah yang menempel di wajahku tersibak ketika kakiku diseret disertai sorak sorai kerumunan orang tadi.
Astaga!