Baru kusadari bahwa aku terperangkap di dalam tubuh seseorang, tak memiliki kuasa atas diriku sendiri. Hanya dapat melihat melalui sudut pandangnya dan membaca pikirannya. Dari semua yang aku saksikan, sepertinya menunjukkan peristiwa ini terjadi pada ratusan tahun lalu. Telingaku mendengar mereka berteriak dan berbicara dalam bahasa asing, mungkin bahasa Jawa kuno yang berbeda dengan bahasa Jawa yang kukuasai. Namun anehnya, aku dapat mengerti arti pembicaraan mereka. Perempuan ini bernama Mudita, anak gadis dari seorang pedagang kaya raya di masa itu, era kekuasaan Kerajaan Mataram. Karena kecantikan dan kemolekannya, ia menjadi rebutan banyak pria mulai dari berusia sebaya sampai dengan sudah uzur, ingin mempersuntingnya.
Salah satu dari mereka adalah seorang bangsawan terpandang bernama Raden Amkaraseta yang telah memiliki beberapa istri dan selir. Dengan segala kekuasaan dan pengaruhnya, ayahnya tak kuasa untuk menolak keinginan Sang Bangsawan itu.
Mudita sendiri sebenarnya telah memiliki pujaan hati yaitu salah satu pengawal ayahnya yang selalu menjaganya semenjak ia beranjak remaja. Benih-benih cinta bersemi seiring dengan seringnya mereka bertemu. Tak ingin menerima pinangan Raden Amkaraseta, Mudita dan kekasihnya memutuskan pergi dari desanya membawa perbekalan dan perhiasan ala kadarnya untuk menyambung hidup di pelarian. Ayahnya, pedagang kaya raya itu, merasa sangat marah dan malu atas perbuatan mereka saat mengetahui anak gadisnya pergi bersama pengawalnya sendiri. Ia juga takut akan konsekwensi yang dapat terjadi. Ia segera mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk mengejar kedua sejoli yang membawa aib dan prahara bagi keluarganya itu sampai dapat.
Naas, Raden Amkaraseta murka luar biasa saat mengetahui calon istri mudanya kabur dari rumah keluarga Si Pedagang dan menganggap peristiwa ini adalah tipu daya mereka supaya pernikahan gagal. Dan hal itu mengakibatkan Sang Bangsawan merasa dipermalukan luar biasa. Tanpa mempedulikan penjelasan dari Si Pedagang, calon besannya itu, ia memutuskan keluarga mereka harus mati. Dengan licik, ia bersekongkol dengan gembong penjahat dari kota sebelah dan mengupah mereka untuk memusnahkan keluarga si pedagang dengan dalih perampokan.
Suatu malam, di tengah hujan deras yang mengguyur, satu per satu keluarga Si Pedagang kaya raya itu terbunuh di ujung pedang gerombolan perampok kejam itu, tanpa kecuali. Bahkan adik-adik dari Mudita yang masih kecil pun tak luput dari keberingasan gerombolan itu.
Mudita sendiri, mengalami hari yang buruk di saat hampir bersamaan. Para utusan ayahnya dapat menemukan persembunyian mereka. Kekasihnya dengan gagah berani menghadapi mereka dan menutupi jejak kepergian Mudita. "Pergilah dulu! Aku akan menyusul," ucap Sang Kekasih padanya sebelum mereka berpisah. Dan ia terbunuh bersama para pencarinya, meninggalkan Mudita yang hanya bisa menangis meratapi jenasah Sang Kekasih.
Belum habis duka yang dirasakan, Mudita mengetahui kejadian tragis yang menimpa keluarganya melalui kabar burung yang didengar dari pedagang di pasar. Dengan hati remuk redam, ia bergegas pulang ke rumah dan mendapati seluruh keluarga yang ia miliki telah tiada, terbunuh oleh para perampok. Hampir saja ia membunuh dirinya sendiri saat itu, ketika tiba-tiba seseorang memberitahukan padanya kabar yang lebih mengejutkan. Seorang emban dari Raden Amkaraseta, yang masih memiliki hubungan kerabat dengan ayahnya, mencuri dengar rencana yang disusun oleh sang bangsawan dan gembong perampok untuk mencelakai keluarganya. Sayang, sebelum ia sempat memberitahukannya, keluarga itu telah dibantai terlebih dahulu.
Rasa sedih, sesal luar biasa dan murka bergolak seketika dalam hati Mudita. Tanpa pikir panjang, ia mengambil keris andalan ayahnya yang tidak turut diambil para perampok dan berkuda menuju kediaman Raden Amkaraseta untuk menuntut balas. Si Emban tadi tak sanggup mencegahnya. Berbekal kemampuan olah kanuragan yang diajarkan sejak kecil, Mudita mampu menembus penjagaan depan dan dalam rumah sang bangsawan. Namun karena kalah jumlah dan kalah kesaktian, ia harus rela ditangkap para pengawal dan dihadapkan pada sang bangsawan. Dan sampailah pada peristiwa yang kusaksikan ini.
Para pengawal itu dengan bengis menyeret tubuh Mudita masuk ke halaman kediaman sang bangsawan setelah sebelumnya menyiksa dan mempermalukannya di lapangan di hadapan khalayak rakyat.
"Mudita! Karena engkau telah lancang memasuki rumah dan ingin membunuh Kanjeng Raden Amkaraseta, maka hukumannya adalah mati!" teriak kepala pengawal sang bangsawan kepada Mudita yang dipaksa berdiri bertumpu pada kedua lutut dengan tangan terikat di belakang.
"Cuiih! Raden Amkaraseta pengecut! Beraninya bersembunyi di balik pengawalmu. Ayo kemari, hadapi aku sendiri."
"Kamu telah menghancurkan keluargaku. Ayo, keluar kalau berani!" lanjutnya.
"Dasar perempuan kurang ajar!" Beberapa pengawal menendang tubuhnya ke tanah.
"Cukup!" Seseorang membentak dengan suara penuh wibawa. Para pengawal memberikan sikap hormat pada orang itu.
"Angkat dia!"
"Raden Amkaraseta. Bagus kamu telah berani muncul. Lepaskan ikatanku dan ayo kita bertarung." Mudita kembali berkata penuh dendam berapi-api.
"Mudita. Tidak mungkin aku Kanjeng Raden Amkaraseta, berhadapan dengan kamu seorang perempuan rakyat biasa."
"Dasar pengecut!"
"Mari kita sudahi semua ini. Kamu aku ampuni dan akan aku pulihkan semua harta keluargamu asal kamu mau jadi istriku. Hahaha …" Raden Amkaraseta tertawa terbahak-bahak.
"Dasar tua bangka tak tahu diri. Mana sudi aku menerima kamu menjadi suamiku. Cuiihhh!" Mudita meludahi kaki Raden Amkaraseta.
"Baiklah kalau itu maumu. Pengawal, jalankan hukumannya!" Raden Amkaraseta memberikan perintah sebelum membalikkan badan melangkah ke dalam kediamannya.
"Wahai, Raden Amkaraseta, dengarlah. Aku tak rela mati sia-sia seperti ini. Kelak kamu akan menerima balasan jauh lebih kejam dari apa yang telah kau lakukan, beserta seluruh keturunanmu. Semoga Yang Kuasa mendengar kutukku ini." Mudita berseru mengucapkan kutukannya, sesaat sebelum sebilah keris milik Kepala Pengawal menembus jantung mengakhiri nyawanya.
Aku merasakan sakit luar biasa di dada kiriku. Rasa itu menyengat seketika bersamaan dengan saat tubuh Mudita, dimana aku terperangkap di dalamnya, tertusuk oleh keris Kepala Pengawal dari bangsawan jahat itu. Kurasakan air mataku mengembang hangat di pelupuk mata dan jatuh mengalir, meratapi nasib yang harus diterima gadis itu. Mataku terpejam seiring ambruknya tubuh Mudita ke tanah.