Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 42 - Cerita Tentang Aku, Kita dan Mereka - 1

Chapter 42 - Cerita Tentang Aku, Kita dan Mereka - 1

Aroma udara lembab dan berdebu menyeruak keluar dari sela pintu kamar yang dibuka Siska. Sebelah tangannya menggapai ke dinding dan cahaya lampu pijar menerangi ruangan seiring suara saklar lampu digerakkan. Sebuah ranjang besi tampak berdiri menempel di dinding yang berseberangan dengan pintu, dimana segulung kasur kapuk dengan kain penutup berwarna merah bergaris tergolek di atas rangka ranjang itu. Dinding kamar yang bercat putih nampak suram dihiasi sarang laba-laba di beberapa sudut pertemuan dengan langit-langit, sesuram permukaan lantai tegel berwarna abu-abu yang kusam dilapisi debu tebal di atasnya. Lemari kayu besar berhiaskan ukiran di sekeliling bingkai pintunya terlihat berdiri di sudut kamar, berseberangan dengan satu set meja kursi kayu di sudut lainnya. Sama seperti dinding dan lantai kamar, lemari dan meja kayu itu juga diselimuti debu, pertanda kamar tidak pernah dibersihkan atau dimasuki dalam waktu sekian lama.

Aku mengikuti Siska yang melangkah takut-takut menuju jendela di atas meja yang tertutup gordin coklat bermotif garis gelap vertikal. Partikel debu beterbangan saat ia membuka gordin itu membuat kami sontak menutup hidung dengan tangan masing-masing, sementara sisa cahaya matahari sore menerobos masuk dari kaca jendela.

"Mati kuncinya. Nggak bisa dibuka." Siska melepaskan tangannya dari kunci slot jendela. Nanta yang tadi menunggu di ambang pintu, mendekat dan mencoba membuka jendela itu tetapi sama nihil hasilnya. "Iya. Mati."

"Ini kamarnya, Fel, Nan." Siska merentangkan tangannya.

₡ ₡ ₡

"Fel, kamu sibuk nggak nanti sore?" Siang itu Lia mencegatku di teras depan kos. Seorang gadis manis yang duduk di sampingnya tersenyum kecil padaku.

Aku menghentikan langkahku. "Aku kuliah sampai jam dua, Ya. Kenapa memangnya?"

"Oh iya. Kenalin, ini Siska, sohibku dari kecil."

"Siska." Ia menjabat tanganku.

"Feli," balasku.

"Gini, Fel. Siska ini punya kos cewek di deket Selokan Mataram situ. Dia mau minta tolong sama kamu."

Waduh. Pasti urusan begituan lagi.

Dua bulan telah berlalu sejak pertemuan di Yosh' Cafe malam itu. Secara rutin kami berkumpul setidaknya satu hingga dua kali dalam seminggu di tempat itu di sela-sela kesibukan kami sebagai mahasiswa dan Mbak Erin sebagai pengusaha. Armus banyak membagi pengetahuan tentang legenda mitologi kuno di seluruh dunia dan khususnya di negeri ini yang sedang dia pelajari, selain membimbing kami bermeditasi dan berlatih tenaga murni. Semenjak kecil ia tertarik dengan hal-hal tersebut dan darah Guard Master yang turun temurun di keluarganya membuatnya semakin getol mempelajari dan mendalaminya. Beruntung, berkat usaha kerasnya dan juga bantuan dari keluarga Mbak Erin, ia bisa mendapatkan beasiswa mahasiswa asing di jurusan Arkeologi sebuah universitas negeri terkemuka di Jogja yang telah ditempuhnya selama empat tahun belakangan ini. Belakangan, mereka berdua bekerjasama dengan beberapa rekan lain mengelola Yosh' Cafe ini.

Mbak Erin yang tak pernah lepas ditemani Erina, terkadang turut membagikan petunjuk yang didapatnya dari Aunt Mary yang berada nun jauh di Irlandia Utara. Ia sendiri mengaku tak memiliki kemampuan apa-apa biarpun di dalam tubuhnya juga mengalir darah Druid. "Sudah hilang saat aku beranjak besar." Begitu jelasnya beberapa kali.

Seiring bertambahnya pengetahuan dan latihan yang didapat, ternyata memberikan efek meningkatnya ketenangan dan keberanian padaku dan Nanta di saat "apes" bertemu dengan makhluk dimensi lain, yang memang semakin bertambah frekuensi dan intensitasnya. Itu sesuai dengan peringatan Armus dan Mbak Erin pada kami. "Namanya juga magnet. Hitung-hitung latihan lah," kata mereka selalu.

Seperti pada pengalaman pertamaku pada suatu malam menolong seorang mahasiswi yang terkunci di dalam kamar mandi toilet kampus dimana ia berteriak histeris kala melihat penampakan hantu perempuan di dalamnya, ketika aku kebetulan hendak masuk ke toilet itu. Ia tak henti berterima kasih padaku. "Kalau nggak ada Mbak, mungkin aku udah dicekik sama hantu itu," ucapnya. Padahal aku tidak merasa berbuat apa-apa, hanya membantu membuka pintu yang macet setelah kudengar ia berteriak histeris dari dalam. Sementara hantu itu hanya kulihat sekelebatan saja sebelum lenyap.

Kejadian berikutnya, saat secara tak sengaja membantu menyadarkan petugas administrasi yang kesurupan gara-gara meludah sembarangan di bawah pohon beringin besar. Ketika itu, karena penasaran melihat kerumunan orang di halaman belakang kampus, aku mendekati mereka. Di sana kulihat seorang petugas administrasi kampus menggeram dan memaki begitu rupa kepada orang-orang di sekelilingnya. Semakin bertambah parah ketika ia melihatku berdiri di dekatnya. Namun begitu aku memberanikan diri mendekatinya, sesosok makhluk berbentuk macan putih besar muncul dari tubuhnya. Ia menggeram dan menyeringai kepadaku sebelum kemudian menghilang. Si petugas pun tersadar kembali.

Dan juga beberapa kejadian kecil misterius lainnya dimana aku seolah menjadi penolong mereka yang berurusan dengan makhluk alam lain. Nah, entah bagaimana cerita beredar atau siapa yang membocorkan, kini di lingkungan kampus aku menjadi terkenal sebagai cenayang. Hahaha …

Dan kini aku dan Nanta ada di sini, di kos milik orang tua Siska.

₡ ₡ ₡

Dari penjelasan yang kudengar darinya, bangunan kos-kosan ini didirikan sekitar tiga tahun lalu di atas bangunan tua bekas gudang yang lama terbengkalai. Di mana hampir seluruh bangunan lama diruntuhkan lalu kemudian direnovasi menjadi banguna bertingkat dua berisi dua puluh kamar kos yang diperuntukkan untuk kos khusus putri. Pada bulan-bulan pertama, kos ini penuh oleh para mahasiswi yang kos di sini karena bangunannya baru dan relatif dekat dengan beberapa kampus di sekitar. Namun mulai bulan keempat, satu per satu penghuni merasa tidak betah tinggal di kos ini dan akhirnya keluar pindah ke tempat lain. Terutama di kamar yang terletak di ujung belakang lantai dasar dan kamar-kamar sekitarnya.

Pengakuan mereka, sering diganggu oleh penampakan wanita yang mengetuk pintu dan jendela sambil menangis, biasanya di tengah malam. Membuatku jadi teringat kisah perjumpaanku dengan Mbak Lastri saat itu.

"Sudah lebih dari dua tahun kos ini tidak dihuni. Cuma dibersihin sesekali sama orang sekitar sini yang dibayar Papa buat jaga. Orangnya juga nggak berani masuk kesini malam-malam."

Aku terkesiap menatap lemari kayu di kamar ini. "Nan. Kamu lihat yang aku lihat?" bisikku.

Nanta menoleh dan mengalihkan pandangan ke lemari itu. "Iya, Fel," jawabnya turut berbisik.

"Kalian kenapa bisik-bisik gitu?" Siska bertanya curiga. Di balik tubuh Siska berada, tepat di depan lemari kayu berukir itu, berdiri sesosok wanita berambut panjang dan lebat sampai menyentuh kaki. Tubuh telanjang mengintip di antara lebat rambut yang menutupi bagian depan tubuhnya. Sesaat kepalanya bergerak mengibas. Tampaklah wajah putih pucat dengan kedua mata terpejam.

Tiba-tiba matanya terbuka. Ia membelalak padaku. "Pergi kalian! Pergi dari sini!"

"Hihihi ...!" Terdengar suara tawanya melengking mengerikan.