Nanta, Mbak Erin dan Erina, mereka duduk bersamaku mengelilingi meja bundar di hadapan kami. Mata mereka semua terpejam layaknya orang tertidur. Pandanganku menyapu ke sekeliling dimana hanya ada kegelapan mengitari. Hanya tersisa meja tempat kami duduk yang diterangi cahaya, yang entah berasal dari mana sumbernya. Nanta tak bergeming sama sekali saat kutepuk bahunya dan kuguncang-guncang lengannya. Ia tak merespon sama sekali, kedua matanya tetap terpejam.
Pria bertubuh tinggi besar itu duduk tepat di seberangku. "Perkenalkan, namaku Armus." Suara berat pria itu memecah kebisuan. Logatnya khas mixed-blood, Indo.
"Nan-Nanta!" Putus asa aku memanggil dan menggoncang-goncang tubuh Nanta yang tetap terduduk diam.
"Tenang, Felicia. Mereka tidak akan merespon. Karena mereka sebenarnya tidak ada di sini."
Pria itu lagi!
"Si-siapa kamu? Apa maksud ucapanmu?" tanyaku gemetaran.
"Seperti tadi saya bilang, namaku Armus. Aku sepupu Erin dari Ireland."
"Kita sekarang ada di alam bawah sadarmu." Ia menyambung ucapannya.
"Apa? Nan-Nanta! Mbak, Mbak Erin!" Kupanggil nama mereka keras-keras.
"See?! They won't answer. Sekarang tenanglah. Biar aku bicara," sela pria itu.
Aku menatap tajam mata birunya. Kusadari percuma saja kuteruskan usahaku membangunkan Nanta dan yang lain. Mungkin benar ucapannya, mereka tidak benar-benar ada di sini. Duh, apa lagi ini?!
"Baiklah. Mmm, Mas, Pak ..."
"Panggil saja Armus."
"Eh, Armus," ralatku.
"Sebelumnya, aku minta maaf kalau telah lancang membawamu ke alam bawah sadar ini."
"Maksudnya?"
"Kamu dalam pengaruh hipnotis sekarang. Tapi tenang saja, kamu dan Nanta aman. Aku tidak bermaksud jahat."
"Apa? Hipnotis? Tap-tapi gimana kamu ..?"
"Hmm, itu tidak penting. Yang penting apa yang mau aku beritahu padamu," potongnya cepat.
"Tapi, kenapa harus dengan cara begini?"
Ia hanya tersenyum. "Coba berikan tanganmu." Tangan kanannya terulur kepadaku. "Jangan takut," ucapnya lagi melihat keragu-raguan di wajahku.
Perlahan kuulurkan tangan di atas meja, ke arah telapak tangannya yang terbuka. Ada sensasi aneh menjalar ke sekujur tubuhku ketika telapak tangannya menggenggam tanganku. Sedetik kemudian, kudapati diriku telah berdiri di tengah sebuah ruangan. Mataku mengerjap beberapa kali menyesuaikan pandangan dengan suasana remang dalam ruangan itu. Aroma debu dan lembab menyeruak penciuman, terasa seperti tengah berada dalam gudang atau bangunan yang lama tak terjamah manusia. Pria itu, Armus, berdiri dekatku.
"Di-dimana ini? Apa lagi yang kamu lakukan?" semprotku.
"Sssstt!" sergahnya sembari menempelkan telunjuk di bibirnya. Ia berbisik perlahan, "Kamu lihat yang di atas itu?"
"Atas? Mana?" jawabku spontan ikut berbisik.
"Itu. Di atas jendela."
Kulemparkan pandanganku mengikuti arah yang ditunjuknya. Menembus keremangan ruangan itu, di atas jendela di depan kami berdiri, tampak sesosok tubuh tergantung pada seutas tali di lehernya. Tubuh seorang wanita! Kedua matanya membelalak dengan lidah terjulur. Darah menetes keluar dari mata dan mulutnya, membasahi bagian depan daster putih yang menutupi tubuhnya. Aku menutup mulut dengan kedua tangan, menahan teriakanku.
"Tolong aku, tolong!" Suara seorang wanita tiba-tiba terdengar dekat sekali denganku yang refleks menyembunyikan wajah di balik punggung Armus.
"Buka matamu, Fel! Tidak apa-apa," bisiknya.
"Tolong." Wanita yang tergantung itu, kini telah berdiri tepat di sampingku! Wajah pucatnya menatapku, lidahnya menjulur keluar, lengkap dengan darah yang menetes dari mata dan mulutnya. Seutas tali usang terlihat melingkar di lehernya. Ia melangkah tertatih mendekatiku. Aku hanya membeku menahan nafas.
"Tolong ..," rintihnya berulang kali. Ia semakin dekat. Kini tangannya terjulur menggapaiku. "Tolong." Rintihnya semakin dekat.
Pergi! Jangan dekati aku!
Detik berikutnya, tubuhnya ambruk ke arahku. "Aaaa!" Aku berteriak sekuat-kuatnya. Tetapi..
Ia menembus tubuhku dan sekejap kemudian menghilang dari pandangan.
Haah?!
"Ok. Cukup," ucap Armus pendek.
Cukup? Apa maksudmu?
Belum habis kebingunganku, ia tiba-tiba menggandengku melangkah menyusuri kegelapan di hadapan kami.
BUUK..!
Baru berjalan beberapa langkah, aku menabrak bagian belakang tubuhnya yang berhenti mendadak di depanku. Lho, dimana lagi ini?
Kami berdiri di tepi sebuah tikungan jalan yang sangat asing bagiku. Jalan beraspal yang sepi, tak tampak satu pun kendaraan melewatinya. Hanya ada hutan mengapit di kanan dan kiri. Di atas sana, cahaya rembulan yang susah payah menembus lapisan awan dan rimbunnya barisan pepohonan di tepian jalan, membuat suasana terasa semakin mencekam. "Ready?" tanyanya.
Aku menatapnya heran. "Ready? Buat apa?"
Dua puluhan meter dari tempat kami berdiri, di tikungan jalan tiba-tiba muncul sepasang lelaki dan wanita dari balik kegelapan hutan. Mereka menoleh dan tersenyum padaku sebelum berlari bergandengan tangan ke tengah jalan menyongsong sebuah bus yang menikung kencang.
BRAAK..!
"Aaaa!" Suara benturan keras dan teriakan mereka terdengar kencang ketika bus itu menghajar tubuh mereka. Tubuh mereka berdua terpental berdarah-darah menghantam aspal. Bus tetap melaju dan tanpa ampun melindas sepasang tubuh malang yang terkapar di depannya. Sesaat kemudian ia kehilangan kendali dan menabrak sebuah pohon besar di tepi jalan.
Aku menatap nanar adegan horor barusan. Bagian depan bus yang menghantam pohon terlihat ringsek ke dalam hingga separuh badan bus berantakan tak berbentuk lagi menyisakan separuh bagian belakang bus yang penyok di sana-sini. Asap pun mengepul keluar dari bagian dalam bus. Tak berapa lama, muncul dua sosok tubuh dari balik badan bus yang ringsek itu. Kupicingkan mata mengamati sosok mereka.
Astaga!
Mereka adalah sepasang pria dan wanita yang menabrakkan diri ke bus tadi. Wajah mereka hancur. Hanya merah darah yang terlihat memenuhi rongga yang terbentuk di mana seharusnya mata, hidung dan mulut berada. Ngerinya, kini kepala kedua orang itu menoleh ke arah kami.
"Mau ikut?" Wajah rusak dan hancur si wanita tiba-tiba muncul di depanku. Entah dari bagian wajah mana suaranya berasal.
"Aaaaa!" jeritku jauh lebih keras dari sebelumnya. Aku melompat ke belakang, terhuyung-huyung hampir terjatuh ketika sosok wanita itu lenyap dari pandangan. Belum sempat merasa lega, berikutnya kini tubuh si pria yang muncul di hadapanku. Aku memalingkan kepala dari wajah hancurnya yang terseok-seok mendekat. Mendadak kata-kata Mbak Erin tentang Magic Ray terngiang-ngiang di telingaku.
Magic Ray! Aku harus gunakan itu. Tapi, gimana caranya?
"Wait! Stop it!" Suara berat Armus terdengar di hadapanku.
Armus? Tapi, kemana dia?
Kuedarkan pandangan ke sekelilingku namun hanya mendapati pria berwajah hancur itu yang berdiri diam menghadapku.
"Ini aku." Kembali suara Armus yang terdengar di telingaku.
"Lho, Armus?"
Wajah Armus perlahan muncul menggantikan wajah pria hancur tadi, diikuti transformasi perubahan tubuhnya. Oh My God!
"Yang sedari tadi kau lihat itu bukan kenyataan sebenarnya, Fel. Tetapi alam bawah sadarmu," ucapnya.
"Hah? Jadi, semua itu?"
"Iya. Mereka tidak ada di sini. Bahkan aku pun tidak benar-benar ada di depanmu sekarang."
Aku menghembuskan nafas lega. "Syukurlah. Eh, tunggu! Kamu juga ..?!"
Ia mengangguk pelan. "Sosokku hanya visualisasi yang aku berikan ke dalam pikiranmu agar kita lebih mudah berkomunikasi."
Aku terdiam sejenak mencerna kata-katanya. "Berkomunikasi, katamu? Memang nggak lebih gampang kita bicara langsung aja? Daripada seperti ini .."
"Sekali lagi aku minta maaf. Aku hanya mencoba membantu kamu menyelami alam bawah sadarmu," jawabnya lembut.
"Lalu, mereka tadi itu apa? Makhluk-makhluk menyeramkan itu .."
"Makhluk menakutkan tadi, hantu yang kamu lihat, kurasa itu rekaman masa lalu yang pernah kamu alami"
"Masa lalu? Seingatku, aku tidak pernah mengalami hal semacam ini seumur hidupku. Baru belakangan ini saja," bantahku keras. Memang pengalaman dengan makhluk menakutkan, hantu dan sejenisnya, baru terjadi akhir-akhir ini.
"Hmm, bisa juga mereka hanyalah manifestasi dari perasaan yang terpendam dalam hatimu. Tapi aku berani bertaruh, bukan itu!"
"Lalu?"
"Kurasa seseorang telah mengunci memorimu."
Aku tambah terperanjat mendengarnya. "Hah? Maksudmu?"
"Someone in your past. In your childhood, maybe?" tebaknya.
Seseorang di masa kecilku?
Siapa?
"Baiklah, cukup untuk sekarang." Armus menyelaku.
"Ikuti kata-kataku! Dalam hitungan ketiga bangunlah! Satu, dua, ti …"
"Tunggu! Aku mulai ingat sesuatu," teriakku memotong.