Rumah besar bergaya Eropa dengan jendela-jendela besar dan tinggi yang berbentuk lengkungan pada bagian atasnya serta pilar-pilar raksasa berukir yang berdiri menjulang di teras depan, tampak berdiri megah di tengah halaman yang cukup luas. Pulasan warna putih tampak mendominasi hampir keseluruhan bangunan. Beberapa orang berdiri di depan teras, dekat sebuah kolam berbentuk lingkaran berdiameter sekitar empat meteran yang ditumbuhi sekumpulan bunga teratai.
Lho, itu Mama, Papa, juga Eyang Kakung.
Astaga!
Ini kan rumah Eyang dulu di Kudus, waktu aku kecil.
"Pa, kita harus cari Feli kemana lagi?" Mama menangis sesenggukan di pelukan Papa. Wajah Papa terlihat turut panik. Berbeda dengan raut wajah Eyang Kakung yang tenang, bahkan cenderung dingin, khas petinggi jaman penjajahan dulu.
Mama, kenapa nangis?
"Tenang, Ni. Anakmu pasti ketemu," ucapnya.
"Ayo, Pa, kita lapor polisi aja. Feli udah hilang dari semalam, sampai sesore ini belum ketemu," rengek Mama. Papa hanya mengelus rambut Mama, mencoba menenangkannya.
Eyang Kakung mendengus mendengar ucapan Mama. "Tidak usah lapor-lapor segala. Nanti juga dia kembali. Kalian ingat, kan, kejadian tahun lalu?"
"Tapi, Pak," protes Papa.
"Tapi apa? Coba kalau kamu nurut apa kata Bapak, pasti tidak kejadian seperti ini lagi!" bentak Eyang Kakung.
"Setiap kalian kesini, selalu saja …"
"Eyaang!" Tiba-tiba seorang gadis kecil berumur sekitar empat atau lima tahun berlari keluar dari balik pintu utama yang terbuka. Kuncir rambutnya bergoyang lucu seirama langkah kaki kecilnya melaju. Dua orang pria dewasa tergopoh-gopoh berlari menyusul di belakangnya.
Lho, bukankah itu aku..?! Imut sekali.
"Ya ampun, Feli."
"Feli, kemana aja kamu, Nak?" Papa dan Mama menghambur memeluk erat gadis cilik itu, tepatnya aku.
"Apa kata Bapak, benar, kan?!" Eyang Kakung tersenyum kecut menyaksikan adegan barusan.
"Aku diajak main sama Linda, Ma," Feli kecil menjawab menggemaskan.
"Linda? Linda siapa, Nak?" tanya Papa berlutut menyejajarkan tingginya dengan tubuhku.
"Itu Linda, Pa." Papa dan Mama melihat ke arah telunjukku, eh, Feli kecil mengarah. Seorang gadis kecil berkulit putih berambut ikal berwarna pirang berdiri diam di sana, tepat di depan pintu utama. Ia memakai gaun putih model kuno sekian puluh atau ratus tahun lalu.
"Mana, Fel? Nggak ada siapa-siapa."
"Sudah, Ma. Iyain aja. Yang penting Feli udah ketemu," bisik Papa.
Eyang Kakung memberi isyarat pada kedua pria yang berdiri dengan sikap hormat di dekatnya untuk mendekat. Aku ingat, mereka Pak Kebon dan Pak Sopir.
"Kamu ketemu Feli di mana?" bisiknya.
"Di gudang belakang, Tuan. Tahu-tahu Non Feli berdiri di situ manggil saya," jawab Pak Sopir.
"Padahal udah berkali-kali saya cari di situ, Tuan. Sumpah," Pak Kebon berkata dengan nada takut-takut khawatir terkena dampratan Eyang Kakung.
"Kamu ingat padaku, kan?" Tiba-tiba gadis kecil bergaun putih itu melayang di depanku. Bibirnya tersenyum manis. Terlihat selarik garis terbentuk di leher putihnya, kontras berwarna merah. Perlahan-lahan, tetes demi tetes darah merembes keluar dari garis di lehernya itu. Lalu lehernya terpotong tepat di alur garis tadi. Kepalanya rebah ke samping dan bergulir di tanah meninggalkan darah mengucur deras dari bagian leher yang terpotong itu.
Astaga!
Aku mulai ingat kejadian ini.
₡ ₡ ₡
Mama menangis tak henti-henti sambil memelukku, ucapan syukur terus terucap dari mulutnya. Dengan polos kuceritakan tentang Linda, anak perempuan kulit putih yang mengajakku bermain di sebuah taman luas dan indah di belakang gudang rumah Eyang Kakung. Kami berlari berkejaran, berteriak dan tertawa bersama, walau hanya sedikit ucapan Linda yang kumengerti.
"Terus aku diajak lagi ke rumahnya, Ma."
"Ke rumahnya? Lagi?" Senyum Papa menghilang seketika.
"Iya, Pa. Kaya yang waktu itu, lho."
"Ya ampun, Feli." Mama memelukku lagi, lebih erat dari sebelumnya.
"Dah, Linda. Besok kita main lagi, ya." Aku melambaikan tangan di balik pelukan Mama saat Linda berbalik badan dan kembali masuk ke dalam rumah Eyang Kakung.
Keesokan sore, mobil milik Eyang Kakung yang dikemudikan Pak Sopir memasuki halaman rumah. Dari dalamnya turun seorang Kakek sepantaran Eyang Kakung. Ia mengenakan pakaian serba hitam dengan blangkon coklat sebagai penutup kepala.
Kumis lebat yang menghiasi wajahnya cukup menakutkan bagi anak kecil sepertiku. Aku yang sedang bermain di halaman depan ditemani Mama yang duduk bersama Papa di teras, berlari menuju Papa. "Wah. Piye kabarmu, Tom?" sapa Kakek itu.
"Eh, Pakde Sur. Baik, Pakde." Papa menyalami Kakek itu dengan sikap sangat hormat, diikuti Mama dengan sikap serupa. Papa memberi kode padaku dengan raut wajah serius, mau tak mau aku pun ikut menyalami beliau.
"Siapa nama kamu, anak manis?" Kakek itu menyapaku. Aku terdiam.
"Feli, Eyang. Felicia," Papa yang membantu menjawab.
"Kok Papa yang jawab? Siapa namanya, Sayang?" Kakek itu tak melepaskan genggaman tangannya.
"Feli, Eyang," dengan masih takut-takut aku menjawab.
"Pinter. Kalau ini, Eyang Suryo. Panggil aja, Eyang Sur." Ia menunjuk dadanya.
Aku hanya mengangguk perlahan kemudian menghambur ke balik tubuh Mama.
"Bapak di mana, Tom?"
"Ada di belakang, Pakde". Papa menggerakkan tangan memberi isyarat arah ke dalam rumah.
"Hmm. Pasti di gudang belakang, kan?" Eyang Sur melangkah masuk ke dalam rumah disusul Papa di belakangnya.
"Feli di sini aja sama Mama, ya," ucap Papa sebelum menghilang di balik pintu.
"Tolong!"
Suara teriakan seorang bocah meminta tolong terdengar kencang sekali di telingaku, membuatku yang tengah terkantuk-kantuk hampir terlelap di pangkuan Mama sontak terbangun. Linda?!
"Mama, denger nggak suara barusan?"
"Suara? Suara apa?" Mama menengok ke kanan dan kiri lalu kembali memandangku dengan dahi mengernyit heran.
"Suara Linda, Ma."
"Tolong!"
Selanjutnya yang kuingat, aku berlari menerobos masuk ke dalam rumah mencari asal suara meminta tolong itu. Sampailah aku di depan gudang di halaman belakang rumah.
Kulihat disana, Eyang Sur berdiri tegak di muka pintu gudang bersama Eyang Kakung. Papa berdiri agak jauh di belakang mereka. Eyang Sur berteriak dalam bahasa aneh, mirip dengan bahasa Jawa yang terkadang Papa dan Mama gunakan namun yang ini aku tak mengerti sama sekali artinya. Di balik asap dupa yang aromanya sangat menyengat penciuman, aku melihat Linda temanku itu ada di dalam gudang. Tubuhnya berdiri melayang di tengah ruangan namun kedua tangan dan kakinya terentang kaku ke samping, seolah ada belenggu tak terlihat menjerat keempat anggota tubuhnya itu.
Raut wajahnya yang biasa tersenyum gembira bersamaku, kali ini menampakan kesakitan luar biasa. Berulang kali ia berteriak meminta tolong dan banyak kalimat lain dalam bahasa ibunya. Di balik sosok tubuhnya, aku dapat melihat halaman luas tempat ia mengajakku bermain. Namun sekejap kemudian pemandangan halaman luas itu berganti dengan tembok gudang yang kusam. Tak berapa lama ia berganti lagi ke halaman luas itu. Hal ini terjadi berulangkali, rasanya bagaikan kita sedang melihat pemandangan pada ruangan di mana daun jendelanya terbuka lalu tertutup secara bergantian.
"Tolong aku, Feli." Linda menatapku, memohon berulangkali.