"Nah, selanjutnya minggu lalu Erina tiba-tiba cerita padaku kalau dia baru saja menyeberang dan membantu kalian berdua lolos dari dimensi lain. She said, itu permintaan Mbak Lastri."
Bulu kudukku merinding teringat saat-saat mencekam itu. "Gimana dia bisa menemukan kami, Mbak?"
Dia terkekeh sambil mengusap sisa air matanya. "Entahlah. Dia berbakat dalam hal itu."
"Hebat ya bakat Erina, Mbak." Kupandangi gadis kecil itu mengusap air liur di ujung bibirnya.
Mbak Erin mengelus rambut putrinya. "Kurasa ia mendapatkannya dari keturunan darah keluarga kami. Inter-Dimentional Traveller."
"Apa itu, Mbak?" tanyaku.
"Ia dapat berpindah dimensi tanpa menguras energi dan bisa membawa siapapun ikut serta. Tapi sayang dia tidak punya kekuatan melawan makhluk dimensi lain."
Wow!
"Kalian semua memiliki kelebihan masing-masing," lanjutnya cepat. Matanya memandang padaku dan Nanta.
"Kalian? Kami maksudnya?" sergahku.
"Iya, kalian bertiga."
What?
"Jika aku dan Aunt Mary benar mengartikannya, pada kisah itu diramalkan kelak Magic Ray akan menemukan sendiri pemiliknya yang baru. Dan sekarang dia ada di sini. It's you, Felicia."
"Hah?!" Aku hampir terjengkang dari kursi saking kagetnya. "Aku?"
"Iya. Kamu." Ia mengangguk mantap.
"Tapi, dari mana aku bisa memiliki benda atau kekuatan seperti itu? Aku bahkan tidak pernah ngelmu, cari jimat atau menyentuh hal-hal gaib semacam itu."
"Ia yang memilihmu, Fel."
"Tapi, Mbak!"
Ia tak segera menjawabku dan berpaling pada Nanta. "Seperti telah kalian alami, banyak makhluk gaib yang menginginkan Magic Ray, kan?"
"Iya, Mbak. Untung Feli bisa mengalahkan mereka."
"Ngaco kamu, Nan!" protesku.
Mbak Erin tersenyum memandang kami. "Yang kalian alami itu hanyalah awal."
Jantungku berdegup kencang. "Awal? Jadi, masih akan ada lagi?"
"Itu lah kenapa aku perlu bicara dengan kalian." Ia menatapku tajam. "Banyak lagi yang akan mencoba merebutnya darimu, Fel," tambahnya.
"Kalau begitu, bantu aku melepaskannya, Mbak! Aku tidak butuh hal seperti ini." Air mata terasa mulai mengembang di pelupuk mataku.
Mbak Erin melangkah mendekatiku. "I wish i could, Fel." Kemudian ia memelukku. "But i can't."
"Lalu apa gunanya Mbak bicara panjang lebar seperti ini?" Nanta mulai emosi.
"Tenang, Nan. Aku mengajak kalian bicara malam ini memang bukan untuk melepaskan Magic Ray dari Feli karena aku tidak punya kemampuan itu. Erina juga tidak."
"Lalu?"
"Tapi aku ingin membantu kalian dengan pengetahuan yang kami, aku dan Aunt Mary, miliki."
Aku menyela cepat. "Hmmh. Kalau memang ada yang bisa, silahkan saja ambil. Aku nggak keberatan."
"No, Fel. You can loose your life too!"
What?!
"Benarkah?!"
Ia menatapku tajam. "Tidak semudah itu ia terlepas, Fel. Apalagi jika yang mengambilnya punya maksud jahat. Belum lagi efek mengerikan yang akan diakibatkan."
"Mengerikan bagaimana, Mbak?" sahut Nanta.
"Jika Magic Ray sampai dikuasai dan digunakan untuk maksud jahat, ia dapat mengganggu batas antar dimensi."
"Maksudnya?" tanyaku penasaran.
"Sekali digunakan untuk maksud jahat, aura kuat darinya akan lebih kuat memancar dibandingkan kini. Dan akan memancing perebutan tiada henti antar mereka." Tubuh Mbak Erin bergidik. "Bisa terjadi anomali di sana sini, tergantung seberapa dahsyat perebutan yang terjadi."
"Anomali? Seperti apa itu, Mbak?" selaku.
"Kalian ingat waktu kalian terjebak di dimensi lain dan dahsyatnya bertarung dengan makhluk-makhluk di sana, kan?"
"I-iya, Mbak." Kami berdua mengangguk hampir bersamaan.
"Nah, kalian bayangkan makhluk-makhluk itu ramai-ramai menembus batas ke dimensi kita lalu menyerang orang tidak bersalah. Atau sebaliknya, orang yang tidak mengerti apa-apa tiba-tiba tanpa sengaja menyeberang ke dimensi lain."
Ia mengatupkan kedua telapak tangan di depan wajahnya. "Misalkan saja ada seseorang sedang mengemudi di jalan raya lalu tiba-tiba dalam sekejap ia telah berpindah ke dimensi lain. Belum habis kebingungannya, dalam sekejap kemudian ia kembali ke dimensi kita lagi. Bisa terjadi kecelakaan dan kekacauan di tempat anomali itu berlangsung," jelasnya dengan pandangan menerawang.
"Hiii .." Aku bergidik ngeri membayangkan hal itu terjadi.
"Selain itu …"
"Selain itu?" sela Nanta seraya membetulkan posisi duduknya. Antusias sekali ia rupanya.
"Magic Ray akan tidak terkendali. Saat mencapai puncak kekuatannya, ia memiliki daya penghancur luar biasa antar dimensi. Termasuk terhadap pemiliknya sendiri."
Jantungku berdesir mendengar kalimat terakhir itu. "I-itu yang bisa terjadi padaku?!"
Ia meremas pelan punggung tanganku. "Aku tidak mau membohongimu, Fel. Sayangnya, itu bisa terjadi."
"Duh."
"Selama kamu belum bisa mengendalikan kekuatan itu," lanjutnya.
"Ya, Tuhan!" Aku terduduk lemas.
"Tapi aku yakin kamu dapat menguasainya. You are a Destroyer. In a good way, i hope."
"Jika tidak?" kejarku.
"Itu sebabnya tertulis juga akan hadir seorang pejuang pelindung Magic Ray. Dia ditakdirkan melindungi si pemilik dan juga memastikan Magic Ray terjaga dengan baik."
"You are The Warrior, Nanta," lanjut Mbak Erin.
"Uhuk, pffttt!" Minuman jeruk yang baru diteguk Nanta hampir menyembur keluar dari mulutnya.
"Gimana Mbak bisa bilang begitu? Sama seperti Feli, aku juga nggak ngerti apa-apa soal dimensi lain, apalagi punya kemampuan seperti Mbak bilang itu," protesnya.
"Betul, Mbak," tambahku pelan.
Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Mbak Erin sedari tadi, sulit untuk kucerna dengan baik. Aku tahu Nanta pun pasti juga merasakan hal yang sama. Bagaimana mungkin, aku yang sebelumnya tidak pernah tahu hal-hal yang bersinggungan dengan makhluk dimensi lain, tiba-tiba belakangan ini mengalami kejadian demi kejadian yang sulit diterima akal sehat. Ditambah lagi penjelasan yang kudengar malam ini.
Magic Ray?
Inter-dimentional Traveller?
Destroyer?
Warrior?
Aaahh …
"Just like i said before. Aku dan Aunt Mary yakin sekali kalian lah yang dimaksud." Matanya memandang tajam padaku lalu beralih pada Nanta.
"Tapi, kenapa kami?" Bibirku bergetar, hatiku sesak serasa terhimpit beban yang sulit untuk kutanggung. Nanta berdiri dari duduknya, memegang bahuku dari belakang. Sebuah kecupan lembut terasa mendarat di rambutku.
"Aku juga tidak tahu, Fel, Nan. Banyak hal di dunia ini yang tidak kita ketahui dengan pasti. Mungkin nanti waktu yang dapat menjawab." Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan setelah tahu semua ini ?"
"Prepare. Kalian harus bersiap."
"Bersiap? How? And what to prepare?" kejarku.
"Bagaimana caranya bersiap dan apa yang harus dipersiapkan untuk sesuatu yang tidak kami mengerti ?" tambah Nanta.
Pandangan Mbak Erin mengarah ke belakang kami, senyumnya tersungging sebelum ia berkata, "Kita bersiap sama-sama. Right, Master?"
Kepalaku reflek menoleh ke belakang. Seorang pria bertubuh tinggi besar sudah berdiri di belakangku dan Nanta. Ia memakai jaket kulit dan celana serba hitam dengan potongan rambut rapi ala militer. Ah, another mixed-blood.
Mata birunya menatapku sementara bibirnya bergerak mengucap sesuatu. Anehnya, aku tak mendengar apa-apa. Matanya terus menatapku. Tak berapa lama kemudian pandanganku memudar. Hanya kegelapan hitam yang terlihat. Namun sesaat berikutnya pandanganku kembali normal. Kudapati kami duduk di tempat yang sama, masih di kafe yang sama. Tetapi sekeliling ruangan tempat kami sedang duduk melingkari sebuah meja bundar, dalam keadaan gelap gulita. Aku duduk di sebelah Nanta, sementara Mbak Erin dan Erina berurutan di sebelah kami berdua. Tepat di seberangku, duduk pria itu. "Perkenalkan, namaku Armus."