Ruang perpustakaan dimana aku sedang berada ini berukuran cukup besar dengan langit-langit yang tinggi, menghadirkan suasana lapang dan sejuk di dalamnya. Sudah lebih dari satu jam aku duduk di sini, menghabiskan waktu menunggu Nanta yang sedang kuliah, sembari membaca buku. Suasana perpustakaan cukup sepi dan hening. Hanya ada beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang ikut duduk bersamaku di kelompok deretan bangku dan meja panjang yang sama. Selesai dengan buku biografi seorang tokoh perang dunia di depanku, aku bangkit untuk mengembalikan buku tersebut dan bermaksud memilih buku lainnya. Perlahan aku berjalan menyusuri lorong di antara rak buku yang tingginya jauh melebihi tubuhku. Sepi sekali perpus sebesar ini. Serem juga …
BUKK..!
Suara buku yang terjatuh di lantai di dekat tempatku berdiri sontak mengejutkanku. Baru aku hendak melangkah untuk mengambil buku itu, yang tergeletak di lorong rak di depanku, tiba-tiba muncul seorang gadis berkulit putih dari persimpangan lorong rak. Ia langsung menunduk memungutnya. Setelan baju berwarna biru tua dengan model kuno yang dikenakannya mengingatkanku akan adegan dalam film-film yang mengisahkan masa Perang Dunia Kedua tahun empat puluhan, ditambah tatanan rambut pirangnya yang dikepang dua ke samping.
Hmm, ada juga bule di sini. Tapi bajunya kok old fashion banget, ya?
Rupanya ia menyadari kalau aku tengah mengamatinya. Ia tersenyum manis padaku. Aku melambai pelan. "Hai.."
Sekejap kemudian, aku hanya bisa terpaku ketika melihat gadis pirang di depanku itu berjalan menembus rak buku. Iya, betul, MENEMBUS!
What?!
Sontak kuurungkan langkahku. Setengah berlari aku berbalik menuju barisan meja baca yang baru saja kutinggalkan. Kujatuhkan tubuhku yang gemetaran di kursi. Mataku menatap barisan meja di depanku di mana sepasang mahasiswa sedang asyik membaca sambil bercanda dengan berbisik-bisik. Si mahasiswi asyik bercerita tentang sesuatu dan si mahasiswa, sepertinya kekasihnya, menyimak sambil sesekali menimpali. Ibu petugas perpustakaan yang duduk bersama asistennya di dekat pintu masuk, hanya melirik sejoli itu kemudian bergumam menggerutu tidak jelas. Sementara di ujung lain, seorang mahasiswa tampak terkantuk-kantuk menopang kepala dengan kedua tangannya yang bertumpu di meja.
Am i dreaming or what? Pandanganku kembali ke buku yang kupegang di meja dan sudut atas mataku menangkap sesuatu. Ternyata…
Gadis bule pirang tadi, sudah duduk di sana! Tepat di kursi yang berhadapan denganku. Wajahnya putih pucat. Kedua matanya menatapku tanpa ekspresi. Aku spontan berteriak namun anehnya tak ada satu pun suara yang keluar dari mulutku. Bagaikan dihipnotis, aku hanya bisa duduk terpaku menatap balik gadis itu sementara kurasakan tubuhku semakin gemetar ketakutan. Apa aku mengalaminya lagi..?!
Tolong!
Di sudut mataku, sepasang sejoli di meja depan terlihat masih tetap asyik mengobrol seperti tidak ada suatu apapun yang terjadi padaku. Sekejap kemudian, gadis itu mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah lorong rak yang tadi kutinggalkan. "Aaaahh!" pekikku ngeri.
Di tempat yang ditunjuknya itu, terlihat jelas seorang pria kulit putih berseragam militer jaman penjajahan dulu sedang berdiri tegak dengan mata tertutup kain hitam. Di sampingnya turut berdiri seorang wanita pirang bertubuh agak subur dan juga seorang gadis berambut pirang. Ketiganya berbusana model sekian puluh tahun lalu. Tubuh mereka bertiga gemetar ketakutan dan mereka berkata seperti memohon belas kasihan dalam bahasa asing, Belanda kurasa.
Beberapa langkah di hadapan mereka, berdiri sederet pria berseragam tentara dengan moncong senapan terhunus ke depan. Sekejap kemudian tubuh pria kulit putih itu ambruk oleh serentetan tembakan yang menghantam tubuhnya diiringi sorakan berbahasa asing, seperti bahasa Jepang dalam film perang yang pernah kutonton. Kemudian dengan brutal para pria berseragam tentara Jepang itu menyeret si wanita dan si gadis. Kehormatan mereka berdua dinodai beramai-ramai. Pekik dan tangisan mereka tak menyurutkan sama sekali kebengisan para pria itu. Tanpa rasa iba, kekejian mereka diakhiri dengan tembakan beruntun dari senapan mereka ke tubuh wanita dan gadis malang yang telah tak berdaya itu.
Ya Tuhan …
Dadaku sesak melihat itu semua.
Sedetik kemudian pemandangan tragis itu menghilang. Lorong itu terlihat kembali seperti semula dengan rak-rak buku tinggi berdiri berderet mengapitnya.
Kemudian aku menyadari sesuatu.
Dia ..?!
Wajah gadis yang kulihat terbunuh barusan adalah wajah sosok gadis pirang di hadapanku saat ini. Rasa takutku lenyap seketika berganti dengan rasa iba dan simpati. Air mataku meleleh tanpa dapat kutahan lagi.
Perlahan kuulurkan tangan memegang tangan gadis Belanda itu. Terasa dingin sekali bagai menggenggam es. "Maaf, ya, kamu sampai mengalami hal sekeji itu. Sekarang kamu sudah damai, nggak merasakan sakit lagi," ucapku lirih menahan tangis.
Hantu gadis Belanda itu menatapku seolah mengerti kalimat yang kuucapkan. Diiringi anggukan perlahan, ia menyunggingkan senyum manisnya sebelum kemudian sosoknya lenyap meninggalkanku sendiri di tengah pandangan aneh dari sepasang sejoli di meja seberang sana. "Apa lihat-lihat?!" hardikku. Mereka berdua hanya saling memandang lalu mengangkat bahu melihat sikapku.
"Hai, Fel. Sorry, nunggu lama, ya?" Tiba-tiba seseorang muncul menepuk bahuku dari belakang. Aku refleks menengok ke arah suara.
"Oh, kamu, Nan. Nggak, kok."
"Udah bete, ya?"
"Not at all. Malah dapet temen baru," jawabku.
"Heh? Temen?" Nanta celingukan. "Yang lagi pacaran itu?" lanjutnya.
Aku menggeleng cepat. "Bukan."
"Terus?"
"Ah, udah, yuk. Kita cari makan lagi. Laper nungguin kamu," ajakku mengalihkan penasaran Nanta. Dengan cepat kugandeng ia meninggalkan ruang perpustakaan itu, diiringi tatapan kedua sejoli tadi yang berbisik-bisik memandang kami. "Cewek gila."
Bodo amat.
Sebelum keluar dari pintu, aku menengok ke lorong di antara rak buku tadi. Tampak di sana, hantu gadis Belanda itu sedang berdiri melambaikan tangan. Kali ini bersama papa dan mamanya yang berdiri mengapit di kedua sisinya. Mereka turut tersenyum dan melambai padaku.
"Kamu senyum sama siapa sih, Fel?" Nanta yang sedang menggandeng tanganku menghentikan langkah sejenak, kepalanya ikut menoleh ke belakang.
"I'll tell you later ."
"Wah, jangan-jangan han-…"
"Nanta!" hardikku memotong kalimatnya. Aku terus melangkah menyeret tangannya. "Ayo! Laper, nih."
"Si-siap, Nona." Kakinya melangkah cepat mengikuti tarikan tanganku.
Fiuuhh.