Tanpa kuduga, ia menempelkan bibirnya ke bibirku. Lidahnya menggeliat menjelajahi lidahku yang pasrah. Aku berkutat dan berjuang menolak namun akhirnya tak kuasa juga menahan gejolak di dadaku. Aku balik menyerbunya. Ketiga perempuan lainnya pun turut menyambut, menggeluti tubuhku.
Tetapi di saat yang sama, wajah Felicia tiba-tiba kembali berkelebat di pelupuk mataku. Menggapai dengan senyum manis tersungging di bibirnya, menghambur memelukku dengan sepenuh cinta. Astaga! Feli, maafin aku.
"Tidaakk! Lepaskan aku!" teriakku keras. Tanganku sekuat tenaga mendorong tubuh para perempuan itu dari atas tubuhku.
BUUKK..!
Tanpa kuduga, doronganku melemparkan mereka hingga membentur dinding gua sedemikian kerasnya. Aku terbengong-bengong memandangi kedua telapak tanganku, tak menyangka efek yang dihasilkannya akan sedahsyat itu. Mereka cepat bangkit kembali dan memamerkan senyum menyeringai di wajah cantik mereka. Perlahan wajah-wajah mulus itu berangsur berubah menjadi bersisik seperti kulit ular yang berwarna keperak-perakan. Tanpa aba-aba, mereka meloncat maju berbarengan menerjangku. Seorang masing-masing mengapit dari kedua sisi serta dua orang lagi dari arah depan.
Aku melompat mundur dengan cepat hingga terhenti tak dapat bergerak lagi saat punggungku membentur keras dinding batu di belakang. Aku selamat dari sergapan kedua perempuan yang menyerang dari kedua sisi namun serangan dari depan tak kuasa kuhindari. Refleks, kuangkat lutut kiriku hingga hampir menyentuh dada dan kedua tanganku menyilang di atasnya, untuk menahan serangan mereka dari depan.
BUUKK..!
Pukulan mereka keras membentur pertahanan yang terbentuk oleh tangan dan kakiku sehingga diriku seakan-akan terhimpit di antara kerasnya hantaman mereka dan dinding batu di belakangku. Sakitnya bukan kepalang. Sontak timbul rasa kesal dan marah membara di hatiku. Saatnya aku membalas. Entah siapa yang mengajarkan tekniknya, tiba-tiba kakiku telah bergerak mengayun cepat menendang kedua perempuan itu hingga terlempar jauh ke belakang. Bangkit dengan cepat bagaikan tak terpengaruh oleh tendanganku, mereka berempat kembali menyerang dan menerjang dengan beringas.
CRAASS..!
Butiran tanah dan bebatuan dari dinding di belakang kepalaku berhamburan terkepras oleh cakaran tangan seorang dari mereka. Untung saja dengan refleks luar biasa, aku sempat menunduk menghindar. Kali ini seluruh anggota tubuhku seolah bergerak dengan sendirinya merespon setiap serangan yang menuju ke arahku. Melompat, memukul, menendang, menghindar dan membalas serangan keempat perempuan bersisik perak itu tanpa kesulitan berarti.
Jujur, aku sampai terpukau dengan kemampuanku sendiri! Dulu sewaktu SMA aku memang sempat mengikuti olah raga bela diri silat tetapi masih di level awal dan terputus di tengah jalan, kehilangan minat akibat gadis yang kuincar saat itu berhenti latihan. Tak mungkin dengan dasar beladiri setingkat yang kukuasai dapat menandingi mereka sekarang. Namun ternyata bukan saatnya berbangga diri. Dalam sekejap mereka bergerak semakin cepat, berkelebat membentuk lingkaran mengitariku. Tubuh mereka bersinar menimbulkan pancaran hawa panas yang membakar. Semakin cepat mereka bergerak semakin panas pula hawa yang dipancarkan.
"Aaah!" Aku bertahan sekuat tenaga hingga berlutut bersimpuh menahan hebatnya panas yang membakar dan menekan. Tanah di bawah kakiku dan seisi tempat itu bergetar dan berderak hebat. Aku jatuh meringkuk di tanah di pusat pusaran api yang menyala-nyala, menahan rasa pusing luar biasa yang melanda kepalaku akibat kekurangan oksigen yang terhisap oleh panasnya api. Kini bahkan aku sama sekali tak bisa bernafas, sekuat apapun paru-paruku berusaha berjuang mencari udara. Pandanganku mulai mengabur. Aku tak kuasa menahannya lagi. Tolong!
"Belum saatnya. Bangkitlah!" Tiba-tiba sebuah suara berat terdengar di telingaku.
Siapa itu?
"Ayo, bangkitlah!" ucapnya lagi.
Bangkit? Tapi… Bagaimana mungkin? Api itu…
"Pejamkan mata dan kosongkan pikiranmu!"
Apa?
"Kosongkan pikiranmu, kataku!���
Tak ada lagi yang dapat kulakukan selain coba menuruti perintah suara itu. Toh, jika tak berhasil akan sama saja efeknya bagiku. Mati.
Kucoba mengosongkan pikiran. Setahap demi setahap hingga hanya kehampaan yang ada di dalamnya. Ajaib, rasa panas membakar di tubuhku turut berangsur menghilang. "Bagus. Kini pusatkan pikiranmu pada suara yang kau dengar! Sekecil apapun." Suara itu terdengar lagi.
Aku mengikutinya. Di sekelilingku terdengar suara angin memutar mengeluarkan bunyi laksana angin puyuh melanda bumi dan diakhiri oleh suara dahsyat bagaikan ayunan cambuk raksasa yang membelah udara.
WUUT! WUUT! BLAARR..! Begitu berulang-ulang.
"Apa yang kau lihat?"
Bagaimana aku bisa melihat?
Seolah mendengar gerutu dalam hatiku, "Pusatkan pikiranmu dan kau akan melihatnya," jawab suara itu.
Di antara kegelapan yang kulihat dalam pikiranku, tampak jelas para perempuan tadi telah lenyap digantikan sosok seekor ular raksasa bersisik perak dengan ukuran tubuh lebih dari pohon kelapa tengah melayang cepat memutari tubuhku. Derasnya putaran lengkungan tubuhnya yang beradu dengan udara sekitar menimbulkan suara layaknya angin puyuh. Sesekali ekornya yang berbentuk seperti ujung tombak tajam berkilat, mengibas dan menusuk ke pusat lingkaran. Ke arahku!
BLAARR..!
Terjangan ekor ular besar itu membentur sesuatu dan terpental sebelum menyentuh tubuhku. Di saat bersamaan, sekujur tubuhku turut bergetar. Tidak terlalu sakit rasanya, lebih seperti kesemutan. Aku menatap telapak tangan dan lenganku. Tampak aliran energi berwarna kebiruan menyelimutinya. Di depan sana, sejauh raihan bentangan tangan, cahaya berwarna biru menyelimuti tubuhku bak sebuah kubah tembus pandang.
BLAARR..!
Kembali dan kembali ular itu mencoba menyerang. Dan selalu terpatahkan oleh lindungan sinar biru yang mengelilingiku. Tapi untuk berapa lama? Sementara tubuhku bergetar kian kencang setiap kali ia melancarkan serangannya.
BLAARR..!
Kali ini aku hampir terjungkal.
"Blawu Braja. Blawu Braja.�� Suara itu lagi! Kali ini ia berbisik.
Apa maksudnya? Terdengar seperti bahasa Sansekerta.
"Pusatkan seluruh tenagamu di bagian dalam perut, di ulu hatimu!" perintahnya kemudian. Teringat akan dasar-dasar pernafasan tenaga murni yang pernah kuikuti dulu, aku mencoba mengerahkan segenap tenagaku dan memusatkan ke bagian dalam perut seperti yang diperintahkan. Hawa hangat berangsur mengalir memenuhi tubuhku. Bagai tersedot pusaran, aliran tenaga itu terasa mengalir menuju pusatnya.
Telingaku kembali mendengar suaranya. "Ular itu bukan makhluk sembarangan. Hebat, tapi bukan berarti tidak bisa kau kalahkan."
Tiba-tiba ular besar itu menghentikan gerakannya. Tubuhnya bergelung beberapa langkah di hadapanku. Kepala dan bagian atas tubuhnya berdiri tegak. Sepertinya ia mengamati setiap gerak langkahku. Sementara itu, kuatnya aliran tenaga yang terpusat di dalam tubuhku terasa bergolak mendesak ke segala arah. Jika sebelumnya kurasakan panas membara dari luar tubuhku, kini rasa terbakar itu berasal dari dalam. Gawat!
"Tetap tenang! Pusatkan pikiranmu kepada sasaran di hadapanmu!"
Apa?!
"Begitu ia menyerang, hantam dengan kedua kepalan tanganmu!"
Hantam?
Bersamaan dengan kalimat terakhir barusan, ular besar di hadapanku menggeliat cepat. Kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan mencari sasaran.
WUUT..!
Kepalanya bergerak cepat. Mulutnya membuka lebar memamerkan taring-taring besar tajam mencuat mengerikan. Sekejap kemudian ia melesat menyerangku. "Blawu Braja!" teriak suara di kepalaku. Waktu bagaikan berjalan lambat ketika kedua kepalan tanganku bergerak menghantam rahang menganga ular raksasa yang hendak menelanku bulat-bulat itu.