Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 31 - The Calling

Chapter 31 - The Calling

Kriing...! Kriing…! Kriing…!

"Halo, selamat pagi." Suara Fay terdengar kencang sekali dari dalam kamarku. Aku menggeliat meregangkan tubuh sebelum bangkit dari tempat tidurku. Udah pagi ternyata. "Feliii, telpoon!" teriaknya beberapa detik kemudian.

"Aku taruh di meja, ya, Fel. Dah kebelet, nih." Sejenak kemudian terdengar langkahnya berlari disusul suara pintu kamar mandi ditutup dengan kencang.

Waktu telah berlalu sekian hari sejak kejadian malam itu. Semula sempat terbersit perasaan takut jika harus kembali mengalami kejadian menyeramkan lagi di tempat ini namun untuk pindah kos dalam waktu dekat, sepertinya tidak. Selain memang hatiku tidak berminat untuk pindah dari sini, aku juga tak punya cukup uang. Akhirnya aku hanya dapat berpasrah jika sampai terjadi gangguan dari makhluk-makhluk itu lagi. And here I am, pasrah layaknya lirik lagu terkenal milik Doris Day dan James Stewart. Que Sera Sera. Whatever will be, will be.

Untunglah hingga saat ini semua berlangsung normal-normal saja. Tidak ada lagi kejadian aneh dan menakutkan yang terjadi pada diriku. Aku dapat menjalani lagi kehidupanku seperti biasa. Plus bonus, dapat Nanta. Meski harus kuakui dalam benakku masih banyak hal yang belum mendapat jawaban. Hati kecilku pun berkata ini semua belum selesai.

Aku melangkah malas menuju meja telepon. "Halo, selamat pagi."

"Halo, maaf, apa betul saya bicara dengan Feli?" balas seorang wanita di seberang sana.

"Iya, betul. Maaf, dari siapa, ya?"

Sejenak hanya terdengar helaan nafas di speaker telepon. "Mmm, Erin."

"Sorry, siapa?" Aku ingin memperjelas nama yang kudengar tadi.

"Erin," jawab wanita itu. Erin ..?! Erin yang itu?

"Bisa kita bicara, Fel?" lanjutnya.

"Mmm, maaf, i-ini Mbak Erin yang dulu kos di sini?" tanyaku ragu-ragu.

"Iya, betul. Kamu pasti udah denger dari Mbok Jum cerita tentang aku dan Mbak Lastri, kan?" Nada suaranya melembut.

"Mmm. Iya, Mbak"

Dasar perebut cowok orang! Berani-beraninya nelpon kesini. Nyari aku lagi!

"Maaf, Mbak. Ada apa ya kok cari saya?"

Ia terdiam sejenak. "Mmm, gini, Fel. Bisa nggak kita bicara? Mungkin kita bisa janjian dimana gitu?"

"Bicara? Mmm, soal ..?" tanyaku lagi.

"Nanti aku jelasin. Yang jelas penting banget. Bisa, kan?" Nada suaranya terdengar semakin serius.

Entah kenapa suara dalam hatiku berkata untuk mengiyakan ajakannya. "Bisa sih, Mbak. Tapi dimana?"

Penasaran juga, buat apa dia cari aku.

"Kamu ada ide, Fel?"

"Aku ngikut aja, Mbak."

"Mmm. Kalau gitu, kamu tahu Yosh' Cafe?" tanyanya.

Nama kafe itu, aku seperti pernah mendengarnya. Otakku berputar mencoba mengingat-ingat nama dan letak kafe itu. "Oh, kalau nggak salah kafe yang di deket Condong Catur itu ya, Mbak?"

"Nah, iya, bener. Kebetulan kafe itu punya temen. Gimana kalau kita ketemu disana nanti malem jam tujuh?" tawarnya.

"Mmm, tapi boleh ngajak temen kan?"

"Sure. Nanta, right?"

Lho, kok dia tahu?

"Bingung, ya? Ntar juga kamu tahu. Ok, see you both at seven. Bye."

₡ ₡ ₡

NANTA FERDINAND

Jarum jam weker yang tergeletak di lantai dekat radio tape compo di kamarku telah menunjukkan pukul dua dini hari ketika kuhentikan kegiatanku membuat tugas kuliah menyusun perhitungan rencana anggaran biaya proyek. Tugas yang sudah tertunda sekian lama. Bukan karena sibuk dengan tugas kuliah lainnya, tapi sibuk main ke sana-sini. Ditambah "kasus" beberapa waktu lalu bersama Feli.

Capek, dah dua hari belum kelar-kelar. Istirahat sebentar, deh.

Kurebahkan tubuhku, merenung menatap kosong ke plafon kamar di atas sana. Terlihat seekor laba-laba sedang merambati susunan jalinan jaring halus di salah satu sudut pertemuan plafon dan dinding dimana seekor mangsa telah terperangkap, nampak seperti lalat atau kumbang kecil. Alunan musik fusion jazz milik grup Casiopea yang sedari tadi menemaniku memerangi kantuk dan lelah bersama segelas kopi, baru saja berhenti menyisakan bunyi desisan kosong. Sekosong gelas di lantai dekatku, tempat jejak ampas kopi berwarna hitam memenuhi dasarnya. Wajah Felicia yang sedang tersenyum tiba-tiba menyeruak anganku. Tawa riang, harum tubuh, lembut bibirnya, bahkan tangis sedihnya, silih berganti bermain di pikiranku. Tak dapat kupungkiri, hatiku semakin terperosok ke dalam palung cintanya. Miss You, Felicia.

Seiring bayang sosoknya memelukku, rasa kantuk di mataku tak tertahan lagi.

Brrrrr!

Rasa dingin luar biasa bagaikan sedang berbaring di atas tumpukan es, menyadarkanku dari tidur. Dimana aku ..?

Memandang sekeliling, aku terkejut menyadari keberadaanku di dalam sebuah tempat berdinding batu atau tanah. Nyaris gelap gulita. Aroma udara basah dan lembab yang terendus di penciuman memberi sinyal ke otak dan tubuhku bahwa sepertinya kini aku sedang berada di dalam sebuah gua atau semacamnya. Terpaan hembusan hawa dingin kembali datang, membuatku menyilangkan kedua tangan memeluk tubuh. Lho ..?!

Lebih mengejutkan lagi, aku baru tersadar bahwa diriku dalam kondisi tidak berpakaian. Hanya sepotong kain pendek menutupi bagian bawah tubuhku yang sedang duduk bersila di atas sebuah permukaan keras seperti batu besar. Suasana di sekelilingku benar-benar hening dan senyap. Sama sekali tak ada suara apa pun. Apakah aku ada di alam lain lagi?!

"Hihihi …" Suara tawa seorang perempuan tiba-tiba terdengar. Berasal dari balik kegelapan di hadapanku. "Hihihi …" Ternyata bukan hanya satu. Sepertinya ada beberapa perempuan yang tertawa di sana. Ketika kucoba memicingkan mataku mencoba menembus kegelapan ke tempat tawa itu berasal, tiba-tiba kurasakan ada sensasi hangat yang merapat ke tubuhku. Terasa jelas seseorang tengah memelukku dari belakang dan dilanjutkan masing-masing seorang lagi di sisi kanan dan kiriku.

"Ikut kami, Tuan." Suara manja nan merdu beriring desahan nafas memburu terdengar di telingaku, bercampur aroma harum luar biasa yang belum pernah kutemui sebelumnya. Aku merinding luar biasa, antara bingung, takut dan sensasi lain yang tak dapat kugambarkan. Kukerjapkan mata menyesuaikan pandangan dengan kegelapan sekitar yang menyelimuti.

"Salam, Tuan." Menembus kegelapan, terlihat seraut wajah gadis cantik menawan dengan busana balutan kain berwarna perak mengucap salam. Ia duduk bersimpuh sekitar satu meter di hadapanku. Sekujur tubuhnya seolah memendarkan cahaya sehingga pandanganku bebas menelusuri keindahan sosok tubuh di hadapanku.

"Siapa kamu? Dimana aku ini?" Jantungku berdegup tidak karuan. Gadis itu hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku. Ia bangkit dan melangkah. Balutan kain tubuhnya terjatuh ke lantai, membiarkan tubuh indahnya terekspos bebas. Seluruhnya…

Nafasku memburu melihat pemandangan luar biasa indah itu. Ditambah lagi gerakan-gerakan dari tiga perempuan lain yang bergerak liar di sekelilingku. Mereka meraba, mencium dan menggeliat diiringi deru nafas dan keharuman yang menggelorakan angan pria normal manapun.

Tanpa kuduga, ia menempelkan bibirnya ke bibirku. Lidahnya menggeliat menjelajahi lidahku yang pasrah. Aku berkutat dan berjuang menolak namun akhirnya tak kuasa juga menahan gejolak di dadaku. Aku balik menyerbunya. Ketiga perempuan lainnya pun turut menyambut, menggeluti tubuhku.