Kutundukkan tubuhku mendekat.
"Kenapa, Sayang?"
"Tapi Mami janji nggak marah?" tatapnya memohon.
Bagaimana mungkin aku marah pada gadis lima tahun yang menggemaskan ini. "Iya, Mami nggak marah."
"Tadi Erina ngelanggar janji. Main sama Ela waktu Mbak Tanti masih di sini."
Kami memang punya perjanjian, Erina hanya boleh bermain dengan "temannya" itu jika Tanti sudah pulang atau tidak di rumah, agar Tanti tidak takut atau menganggapnya anak yang aneh.
"Ooh, kok bisa begitu? Kenapa, Sayang?" tanyaku lembut.
"Tadi Ela cerita, ada teman barunya yang nakal"
"Nakal gimana?"
"Itu, Mi, suka usil sama orang."
"Oh ya? Usil gimana?"
"Suka gangguin orang di rumah, Mi."
"Matanya bolong dan senyumnya lebar banget," tambahnya.
Tunggu! Jangan-jangan..?!
"Hei, kamu! Jangan main di situ!" Erina tiba-tiba membentak ke sesuatu di belakang tubuhku. Bulu kudukku sontak merinding.
"Iih, dibilangin jangan di situ! Aku anter kamu pulang yaa…" tambahnya kesal. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Tenyata hantu bocah dengan bibir sobek tadi tengah berdiri di teras belakang, memandangi kami dengan matanya yang berlubang hitam.
Langsung saja kupeluk Erina. Tetapi aku hanya menjumpai ruang kosong di tempat Erina tadi berada. Duh, dia menghilang lagi. Bersamaan dengan hilangnya hantu bocah tadi. "Erina, Erinaaa..!" panggilku.
Sedetik kemudian, Erina muncul di depanku sambil menggandeng seseorang.
Mbak Lastri..!
Sosok gadis bergaun putih panjang itu berdiri sambil menggandeng…bukan menggandeng, melainkan mencengkeram pergelangan tangan kiri Erina yang meringis kesakitan bercampur takut. Jarang sekali aku mendapati Erina ketakutan kepada makhluk dari dimensi lain seperti sekarang. Wajah cantik Mbak Lastri, yang tak pernah kulupa selama lima tahun ini, memandang dingin kepadaku. Aku diam terpaku.
"Lepasin, Tante..!" Erina memberontak dari pegangannya kemudian lari kearahku.
Teriakan Erina menyadarkanku. Langsung kusambut gadis cilikku dan mengarahkannya ke belakang tubuhku. Terasa sekali tubuhnya gemetar ketakutan. Mungkin ini yang dinamakan naluri keibuan, seluruh ketakutanku seketika lenyap berganti dengan amarah ketika melihat putriku disakiti olehnya di depan mataku sendiri. "Mau apa kamu, Mbak?!" bentakku dengan darah mendidih.
Ia menyeringai bengis. Tangan kanannya terangkat menunjuk tepat ke wajahku. Lalu sekejapan mata kemudian ia menghilang.
"Erina, kamu nggak papa, Sayang?" Aku berlutut sejajar dengannya dan lembut membelai pipinya. Ia mengangguk, masih dengan tubuh gemetaran. Segera kuperiksa pergelangan tangan yang tadi dicengkeram oleh Mbak Lastri, syukurlah tidak ada luka sama sekali.
Aku teringat cerita yang kudengar dari Aunt Mary tentang makhluk dari dimensi lain. Menurutnya pada umumnya mereka tidak dapat secara langsung menyentuh apalagi menyakiti manusia, demikian pula sebaliknya, dikarenakan dimensi yang berbeda. Jangankan menyentuh kita, hanya untuk dapat berpindah dimensi saja membutuhkan energi yang sangat besar, sehingga terkadang dalam kondisi tertentu mereka dapat memanfaatkan tubuh kita untuk dapat masuk ke dimensi manusia, yang sering kita sebut kerasukan atau kesurupan. "But, there is always an anomaly in everything." Ia mengingatkan. Inikah anomali itu?
"Erin..!"
Entah sejak kapan si Tanti telah duduk di kursi meja makan tak jauh dari kami berdua berada. Kepalanya tampak terkulai ke samping dengan mata terpejam.
"Erin..!"
Ah, suara itu.. Mbak Lastri !
Apakah dia merasuki tubuh Tanti?
Erina mendekatkan dirinya padaku dan berbisik, "Itu bukan Mbak Tanti, Mami. Itu Tante Lastri."
Benar dugaanku!
"Iya, Mami tahu. Kamu diem di belakang Mami ya," balasku pada Erina. Sungguh aku belum pernah setakut dan sepanik ini. Tetapi walau bagaimanapun aku harus tetap tenang di depan putriku. "Mbak Lastri..," panggilku.
"Akhirnya kita bertemu, Rin." Tanti menggerakan bibirnya dan terdengar jelas suara Mbak Lastri berbicara padaku. "Selama ini aku sabar menunggu dan akhirnya saat ini tiba juga."
Tubuh Tanti berdiri seketika dari duduknya. Kedua matanya terbuka dengan hanya bagian putihnya saja yang terlihat seraya kedua tangannya menjulur dengan jari-jari terbuka, seperti hendak menerkamku. Tanpa pikir panjang, aku berbalik menggendong Erina dan berlari menghindar. Erina yang ketakutan menyembunyikan wajahnya di leherku.
Aku berlari secepatnya ke pintu depan bermaksud keluar menyelamatkan diri kami namun tiba-tiba tubuh Tanti berkelebat lalu melayang turun tepat di depan pintu menghadang kami. "Aaaaaa..!" Aku berteriak kencang sambil berbalik arah berlari ke belakang. Sudut mataku sempat melihat sosok hantu perempuan dalam tubuh Tanti itu berkelebat mengikuti kami.
Damn!
Dead end..!
Kami terpojok. Hanya selangkah lagi sebelum menyentuh dinding halaman belakang, aku membalikkan tubuh menghadapinya. Diiringi suara geraman, Tanti meloncat menerkam tubuhku. Aku dan Erina terjungkal ke belakang hingga kepalaku dengan keras membentur dinding di belakang kami. Terasa sesuatu mengalir di belakang kepalaku. Darah.
Di antara pudarnya pandanganku, kusadari Erina terpisah beberapa langkah dariku. "Mamiii..!" Ia menangis menggapai diriku. Bibirnya berdarah, mungkin ia juga terbentur sama denganku.
Tanti menengok ke arah sumber suara lalu melangkah menuju Erina yang sedang merangkak mendekatiku. Dengan buas, ia merenggut rambut putriku hingga berteriak kesakitan. "Lihat, Erin! Inilah rasanya sakit yang sudah kamu berikan padaku.."
Melihat putriku berteriak kesakitan, sakit yang kurasakan langsung lenyap. Segera aku bangkit lalu menerjang tubuh Tanti. Namun hanya dengan satu tangan ia mengibasku dengan kekuatan luar biasa hingga terpental kembali ke lantai.
"Tante, sakiiit...lepasin Erina, Tante..!" teriak Erina berulang-ulang. Kedua tangannya sekuat tenaga berusaha melepaskan rambutnya dari cengkeraman Tanti yang dirasuki Mbak Lastri. "Mamiii…toloongg..!"
Namun pandanganku semakin buram. Aku menggapai Erina dengan sia-sia. "Erinaaa..!" teriakku putus asa.
Di saat genting itu, tiba-tiba kurasakan kesadaranku bagai tercabut seketika lalu dihempaskan kembali ke dalam tubuhku sendiri. Rasanya bagaikan aku sedang terjebak di dalam tubuh sendiri, dengan kesadaran penuh namun tanpa fungsi kendali akan seluruh anggota tubuhku. Aku dapat melihat dan merasakan tubuhku berdiri dan melesat ke tubuh Tanti yang saat ini dalam pandanganku telah berubah menjadi Mbak Lastri. Wajahnya terkesiap melihatku yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya dan segera menepis genggamannya untuk melepaskan Erina. Ia mundur beberapa langkah seperti melihat sesuatu yang menakutkan dariku.
"Don't you ever touch my family..!" Kudengar suara Aunt Mary dari mulutku! Erina yang sudah terbebas segera berlari cepat bersembunyi di balik tubuhku.
Sepertinya hanya dua kedipan mata saja Mbak Lastri tertegun, selanjutnya ia kembali merangsek maju menerkam kami.
Lari! Sia-sia saja perintah refleksku pada tubuhku yang seolah hanya berdiri pasrah menerima terjangan dari lawan, benar-benar tak punya kuasa lagi akan diriku sendiri. Ketika cakaran jemarinya hanya berjarak satu kepalan tangan saja dariku, mendadak tubuhnya terhenti seperti membentur dinding yang tak terlihat kemudian terpental ke belakang. Giliran ia yang jatuh tersungkur. Gemetaran ia mencoba bangkit kembali dengan bertumpu pada kedua tangannya, namun sedetik kemudian kembali ambruk di lantai.
Bertepatan dengan itu, kesadaranku pulih sepenuhnya dan kendali akan tubuhku telah kembali utuh. Rupanya Aunt Mary telah pergi. Di hadapanku terlihat dari tubuh Tanti yang tengah tertelungkup pingsan di lantai, sosok tembus pandang dari Mbak Lastri tengah mencoba meninggalkan tubuhnya. Berkali-kali sosok itu mencoba bangkit namun selalu jatuh dan kembali masuk ke dalam tubuh Tanti.
Tiba-tiba terdengar Aunt Mary berbisik jelas sekali di telingaku. "Erin, go touch her now!"
"What? Touch her?" desisku seketika.
"Trust me! She won't hurt you anymore."
Kuturuti bisikannya dan perlahan maju mendekati sosok Mbak Lastri yang sedang berjuang keluar dari tubuh Tanti itu. Dengan takut-takut, kusentuh tangannya. Bagaikan terhisap masuk ke dalam sumur yang sangat dalam, kurasakan tubuhku melayang turun dengan cepat. Tepat saat kumembuka mata, aku tengah berada di sebuah padang rumput yang sangat luas. Terdengar gemericik air sungai dari kejauhan dan kicauan burung merdu berasal dari pepohonan besar berdaun hijau nan rimbun meningkahi suara desir angin yang menyapa lembut pipiku.
"Mami.." Aku menatap tak percaya pada Erina yang berdiri menggandengku. Tidak kulihat lagi darah di bibirnya. Sesaat kemudian ia berlari mengejar kupu-kupu berwarna-warni yang terbang mengitarinya disertai tawa riangnya.
"Erin..!"
Aku berbalik dan menjumpainya lagi. "Mbak Lastri.."
Ia berdiri menatapku dengan matanya yang teduh seraya melemparkan senyum cantiknya. "Maafin aku, Erin."
Suara lembutnya mengingatkanku pada masa-masa kami berkumpul di kos dahulu, bercanda dan tertawa bersama. Air matanya mengalir saat ia berucap, "Aku udah salah sangka ke kamu. Ternyata kamu juga korban si Leon brengsek itu."
"Maafin aku, Erin." Ia langsung memelukku erat dan menangis sesenggukan di pelukanku. Aku pun tak dapat menahan tangisku juga.
"Aku juga minta maaf, Mbak. Seandainya malam itu aku tidak…"
"Nggak. Kamu nggak salah. Leon yang bajingan!"
"Tapi. Mbak tahu dari mana soal itu?"
Ia melepaskan pelukannya dan menatapku. "Saat kamu sentuh aku tadi, semua kulihat jelas dan aku tahu kalau aku selama ini telah salah sangka. Sekali lagi, maafin aku, Erin."
"Mami, Mami nggak papa?" Erina mendekati kami, suaranya terdengar ragu.
Mbak Lastri berlutut dan menyorongkan kedua tangan padanya. "Erina, maafin Tante yaa.."
Erina ragu-ragu melihat ke arahku. Kuanggukan kepalaku padanya sambil tersenyum meyakinkannya. "Tante jangan jahat lagi ya ke aku dan Mami," rengeknya sebelum memeluk Mbak Lastri.
"Iya, Sayang, Tante nggak akan jahat lagi. Malah Tante akan jagain kamu…"
Ia melirikku, membelai rambut Erina lalu berbisik pelan, "Si Pelintas berdarah Druid." Entah apa artinya. Berbarengan dengan selesainya ucapannya, kurasakan tubuhku melayang ke udara dan semakin cepat setiap detiknya. Lalu melesat.
Ω Ψ Ω
"Ibu.. Bu.." Aku tersadar oleh tepukan halus di pahaku dan suara Tanti yang memanggilku berkali-kali. Aku membuka mataku dan melihat raut wajahnya menatapku dengan pandangan bingung.
"Maaf, Bu. Ini kok Ibu dan Erina pada tiduran di teras belakang ya?"
"Hah..?" Aku melihat ke sekeliling dan mendapati Erina tertidur nyenyak di sampingku di lantai teras belakang. Setitik noda bekas darah bertengger di ujung bibirnya.
"Dah, Tante.." Ia mengigau.