Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 25 - Bertahanlah - part 2

Chapter 25 - Bertahanlah - part 2

"Apa, Mi, coba ulangi Mi! Kandungan...?"

"Lho, bukannya..?" Mami menatapku bingung.

"Bukannya apa, Mi?"

"Mami pikir.."

"Pikir apa, Mi?"

"Mmm, Mami pikir kamu berbuat ini karena kamu takut Mami dan Daddy marah kamu hamil.."

"What..? Who said that I'm pregnant, Mami?" tanyaku histeris.

"Dokter yang bilang."

"Oh My God..." ucapku lemah.

Ω Ψ Ω

"Doorr..!" Suara kecilnya mengagetkanku dari lamunan.

"Ya ampun, Erinaa..kemana aja kamu sayang?" Aku berucap lega saat melihatnya tiba-tiba muncul di belakangku sementara aku lelah mencarinya di seluruh penjuru rumah kami.

Ia tertawa cekikikan lalu berlari ke teras belakang dan bermain kembali dengan boneka kainnya. "Tadi nganter Ela pulang dulu, Mi. Oh ya, kata dia salam buat Tante Erin."

Aku mengelus lenganku yang merinding dan menjawab, "Iya, salam balik ya buat Ela."

"Om, jangan berdiri di situ ya! Aku nggak suka kalau Mami jadi takut njemur baju malem-malem di situ!" Erina berdiri berkacak pinggang dan setengah berteriak ke sudut belakang tempatku biasa menjemur pakaian. "Mi, sini deh, Om itu udah pergi. Mami tenang aja ya!" Mimik lucunya mau tak mau membuatku tersenyum geli di antara rasa takutku.

"Sayang, Mami kan udah bilang, Mami nggak bisa ngelihat temen-temen Erina."

Ia balik terkekeh. "Eh iya, Mi, Erina lupa. Hehehe."

"Padahal mereka baik-baik lho sama Erina. Kemaren Erina diajak Ela ke taman bermain yang ada Carousel baguus banget, Mi. Sayang Mami nggak bisa ikut," lanjutnya.

"Oh ya? Bagus mana sama yang waktu Grandpa ajak Erina?"

"Sama-sama bagus, Mami. Tapi yang ini lebih puas, banyak temennya. Terus mereka bilang, udah kamu tinggal di sini aja sama kami, tapi aku nggak mau, Mi. Nggak ada Mami soalnya. Sayang banget deh sama Mami..." Bocah dua tahun itu memeluk dan menciumku.

"Iya sayang. Mami juga sayang Erina." Kubalas menciuminya sampai ia kegelian.

Kembali kuteringat ucapan Daddy waktu itu. "Erin. Daddy wants to tell you something important."

"Ya, Dad. Ada apa?"

Ia menghela nafas berat dan terdiam memandangiku. "She is special," ucapnya sambil menunjuk Erina yang sedang bermain dalam baby walker di ruang tengah bersama Mami, Grandmanya.

"What do you mean, Dad?"

"She has special gift. Seperti kamu waktu kecil."

"Seperti aku waktu kecil? Aku nggak ngerti, Dad."

"Dulu kamu sering ngobrol dengan kawan yang Daddy dan Mami ngga bisa lihat. Just like you talked to yourself," Ia menjawab dengan mata menerawang ke lampu gantung besar di ruang tamu tempat kami mengobrol.

"Really, Dad..?" tanyaku terkejut. "Aku nggak ingat sama sekali."

"Kamu juga pernah menghilang sampai Daddy panggil polisi dan anak buah Daddy di kantor buat cari kamu. Your Mom cried all night. Dan besok paginya kamu muncul di kamarmu, tidur nyenyak."

"I think it's suddenly gone when you're five years old," ucapnya menjawabku yang sedang mencoba mengingat-ingat kejadian itu.

"Dad, how do you know that she is special?"

"Mary told me" dia menyebutkan nama adik perempuannya yang tinggal di Irlandia.

"Oh, Aunt Mary" desisku. Sejak kecil aku selalu kagum sekaligus takut padanya. Aku teringat ketika kecil kami sekeluarga pernah mengunjungi rumah keluarga besar Daddy di dekat kota Armagh, Irlandia Utara. Aunt Mary selalu berpakaian gaun serba hitam dan pernah suatu malam dari kejauhan aku melihatnya memakai jubah bertudung tengah berjalan membawa lentera.

"She does a Druid ritual, since we have Druid blood." Begitu jawaban Daddy yang kuingat.